ANTARA SUAP DAN FENOMENA LUPA
Editorial Media Indonesia edisi 23 Februari 2012 dengan Topik “LUPA YANG MULIA”, memberikan deskripsi sbb:
“RUANG publik lagi-lagi disuguhi dagelan konyol di panggung pengadilan. Saksi dan terdakwa kasus korupsi kerap dengan enteng melontarkan jurus tidak tahu, tidak ingat, tidak kenal, dan lupa untuk menghindar dari jeratan hukum.
Kiat berkelit seperti itu juga diperlihatkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kala bersaksi dalam sidang kasus suap di Kemenakertrans di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan terdakwa Dadong Irbarelawan dan I Nyoman Suisnaya, Senin (20/2).
Dadong dan Nyoman, dua pejabat di Kemenakertrans, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Agustus silam karena menerima uang suap Rp1,5 miliar dari kuasa perusahaan PT Alam Jaya Papua, Dharnawati, terkait dengan proyek dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi”[1]
Fenomena lupa nampaknya semakin menggejala akhir-akhir ini terhadap mereka yang terkategori penjabat yang bermasalah karena disangkakan atau didakwakan korupsi, termasuk mereka yang masih berstatus tersangka.
“Ketua Komsisi X DPR, Mahyudin lebih sering menjawab ‘lupa’ saat majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mencecarnya. Mahyudin dihadirkan sebagai saksi untuk tersangka Muhammad Nazaruddin”[2], demikian laporan Oke Zones.
Apa yang dapat kita pelajari dari Kitab Suci mengenai tugas seorang Hakim, Jaksa, Saksi serta persoalan Suap ?
Mengenai Para Hakim
Torah tidak hanya berbicara mengenai aspek ibadah melainkan aspek akhlaq (perilaku) dan muamalah (urusan kemasyarakatan, pergaulan, perdata, dll). Torah memberikan peringatan perihal kualitas yang harus dimiliki oleh seorang hakim sbb: “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran” (Im 19:15)
Kata Ibrani AWEL dalam לא־תעשׂו עול במשׁפט (lo taasyu awel bemishpat) bermakna TINDAKAN YANG TIDAK BENAR. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan dengan CURANG. Satu kali kata Awel diterjemahkan dengan LALIM di Zefanya 3:5. Ayat ini mengandung makna bahwa institusi peradilan pun bukan institusi yang netral dari berbagai pengaruh dan tekanan sehingga Torah memberikan penguatan (enforcement) dengan memerintahkan para hakim untuk mengambil keputusan dengan tegas dan tidak tebang pilih dengan frasa Lo taasyu awel.
Janganlah para hakim memberikan pembelaan yang berlebihan atas mereka yang berstatus sosial yang dikategorikan miskin dengan membebaskan mereka atas sebuah kesalahan yang mereka lakukan. Namun jangan pula Hakim menjadi ciut nyalinya untuk menjerat dan memvonis seorang yang berpengaruh secara ekonomi dan sosial.
Sudah banyak kasus mereka yang memiliki kedudukan sebagai Hakim dan Jaksa yang terjerat kasus hukum karena mereka tidak berani melawan pengaruh orang-orang kuat secara ekonomi[3].