Thursday, March 22, 2012

IMAN MEMBUTUHKAN PENGETAHUAN: TANTANGAN BAGI ROHANIAWAN DAN ORANG TUA KRISTIANI


Suatu ketika saya membaca status yang dibuat seseorang di jejaring sosial Facebook kurang lebih demikian, “Kenapa saya menjadi seorang Muallaf (orang yang berpindah menganut agama Islam)? Karena setiap saya bertanya atas apa yang tidak saya mengerti kepada Pendeta, mereka hanya menjawab, “imani saja!”. Pernyataan tersebut semakin meyakinkan saya bahwa banyak rohaniawan Kristen (tidak semua) mengabaikan pemberitaan atau penjelasan mengenai pokok-pokok kepercayaan iman Kristen (Ibr, Emunah/Arb, Akidah). Saya masih ingat bagaimana beberapa puluh tahun silam saya pun sempat merasakan keraguan akan iman Kristen dan tidak mendapatkan jawaban baik dari orang tua maupun pendeta. Kalaupun mendapatkan jawaban, penjelasan yang disampaikan terasa begitu rumit sehingga harus ditutup dengan kalimat, “imani saja”[1].

Saya yakin, masih banyak orang Kristen lainnya yang memiliki kegelisahaan sebagaimana orang yang telah membuat status di Facebook tersebut. Siapa yang bertanggungjawab atas hilangnya kepercayaan orang-orang Kristen tersebut? Semua orang beriman termasuk para rohaniawan Kristen akan mempertanggungjawabkan kehidupan yang sudah kita jalani selama di dunia sebagaimana dikatakan, “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Mesias, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat” (2 Kor 5:10). Mungkin beberapa rohaniawan asyik masyuk dengan doktrin “sekali selamat tetap selamat” dan kepastian akan jaminan keselamatan di dalam Yesus Sang Mesias, sehingga mengabaikan pengajaran yang mendasar mengenai Emunah Meshikit atau Akidah Mashihiyah.

Data Statistik Pemahaman Akidah Orang Kristen

Dan yang mengejutkan kita akan melihat berbagai data statistik mengenai pemahaman orang Kristen mengenai akidahnya khususnya di belahan dunia Barat yang sudah dilandai Sekularisme, Materialisme, Liberalisme.

Menurut The State of the Bible 2011 (American Bible Society) dikatakan bahwa 3 dari 4 orang laki-laki dewasa di Amerika (76%) dapat menyebut dengan benar nama Kitab Kejadian sebagai kitab pertama dalam daftar Kitab Suci.

Menurut laporan USA Today, 14 Maret 2007 dikatakan bahwa sebanyak 60% orang-orang Amerika tidak hafal kelima hukum dalam Sepuluh Perintah YHWH dan sebanyak 50% anak-anak lulusan Sekolah Menengah Atas beranggapan bahwa Sodom dan Gomorah menikah satu sama lain

Menurut laporan NPR (8 Februari 2008) dilaporkan bahwa 50% orang Amerika bahkan orang-orang Kristen, tidak hafal keempat Injil Sinoptik.

Menurut laporan Bibel Literacy Project, Inc, 2005 dilaporkan bahwa 22% anak-anak remaja Amerika beranggapan bahwa Musa adalah salah satu dari 12 murid Yesus, nama Firaun Mesir serta nama salah satu malaikat[2]

Dalam laporan Gallup dikatakan bahwa 3 dari 10 orang Amerika meyakini bahwa Kitab Suci adalah Firman Tuhan[3] . Dalam kesimpulan artikelnya dikatakan, “The percentage of Americans taking a literal view of the Bible has declined over time, from an average of 38% from 1976-1984 to an average of 31% since”[4] (Persentasi orang-orang Amerika yang memiliki pandangan literal mengenai Kitab Suci semakin menurun sepanjang waktu, dari kisaran 38% dari tahun 1976-1984 menjadi kisaran 31% sampai saat ini).

Survey yang dilakukan Pew Forum on Religion and Public Life  terhadap kaum Ateis (tidak bertuhan) dan Agnostik (tidak tahu apakah Tuhan ada atau tidak) menghasilkan data yang mengejutkan. Dari hasil uji menjawab 32 pertanyaan mengenai agama, mereka memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan orang-orang yang beragama. Survey tersebut melibatkan orang beragama, Ateis dan Agnostik. Dari 32 pertanyaan, orang-orang Ateis dan Agnostik justru paling banyak memberikan jawaban benar dengan prosentase 20,9% dan penganut agama Yudaisme 20,5% diikuti agama Mormon 20,3%. Sementara itu Kristen Protestan mendapat skor 16% serta Katolik sebanyak 14,7%[5]. Para peneliti menganalisis apa faktor penyebab prosentasi pemahaman yang berbanding terbalik tersebut. Semua sepakat mengatakan bahwa kaum Agnostik dan Ateistik berasal dari lingkungan beragama dan mereka selalu melakukan berbagai syudi dan pengkajian hingga mereka sampai pada posisi demikian. Sebaliknya, orang-orang beragama, khususnya orang Kristen berpuas diri dan berhenti belajar[6].

Sayang sekali kita belum mendapatkan informasi yang kaya dan akurat mengenai pemahaman orang Kristen di Indonesia, baik dalam hal Emunah (Akidah), Avodah (Ibadah), Halakah (Akhlaq).

Melestarikan Iman dan Menambahkan Pengetahuan pada Iman

Semua kasus di atas (pernyataan seseorang mantan Kristen di facebook dan berbagai data statistik) memberikan sebuah pelajaran penting pada kita khususnya para orang tua dan para rohaniawan Kristiani mengenai pentingnya dua hal yaitu:

Pertama, mengawetkan dan meneruskan iman kepada anak-anak kita.  Rasul Yohanes menuliskan, “Aku sangat bersukacita, bahwa aku mendapati, bahwa separuh dari anak-anakmu hidup dalam kebenaran sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa” (2 Yoh 1:4). Tugas para rohaniawan dan orang tua Kristiani adalah mengawetkan dan meneruskan iman kepada anak-anak mereka. Orang tua Kristen harus memahami pokok-pokok keimanan (Akidah), tata laksana peribadahan (Ibadah) serta gaya hidup atau perilaku moral Kristiani (Akhlaq). Itulah yang harus dipelihara dan diteruskan pada anak-anak mereka baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

Anak-anak kita harus dididik bukan hanya untuk percaya kepada Yesus Sang Mesias yang telah mati dan bangkit untuk memberikan hidup kekal pada setiap mereka yang percaya namun kita dituntut dalam batas-batas tertentu mampu menjawab mengapa Tuhan melakukan itu melalui Yesus? Mengapa kita percaya akan keilahian Yesus? Mengapa ada sebutan Bapa-Anak-Roh Kudus? Mengapa ada dosa yang harus dihapuskan oleh darah Anak Domba Tuhan? Mengapa dan mengapa lainnya yang menuntut kita harus belajar dan menemukan jawabannya sehingga mereka tidak mencarinya di luar pada tempat yang keliru.
Kedua, menambahkan pada iman kita pengetahuan yang memperkaya iman. Kekristenan sudah terlanjur menisbatkan dirinya sebagai agama yang berfokuskan pada iman tinimbang sinergi antara iman dan perbuatan. Akibatnya, iman terlepas dari unsur-unsur lainnya yang melengkapi.

Rasul Petrus mengingatkan kita demikian, “Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus sang Mesias, Junjungan Agung kita. Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan” (2 Ptr 1:5-9).

Wednesday, March 21, 2012

CHRISTIANITY AS RELIGION AND RELATIONSHIP


Kita kerap mendengar semboyan “Christianity is not Religion”. Pernyataan ini kerap keluar dari bibir tokoh-tokoh Kristen baik di Barat maupun di Asia. Dengan semboyan tersebut mereka hendak menegaskan diferensiasi (perbedaan) antara Kekristenan dengan agama-agama yang ada disekelilingnya. Kekristenan adalah sebuah relasi atau hubungan antara manusia dengan Tuhan. Benarkah pemahaman di atas? Apa dampak pemahaman di atas terhadap cara pandang kita mengenai Kekristenan?

Benarkah Kekristenan Bukan Agama?

Tulisan-tulisan yang hendak menegaskan ada diferensiasi antara Kekristenan dengan agama-agama, bertebaran mulai dari tulisan Luther, karya Filosof Eksistensialis Denmark bernama Soren Kierkegard dalam buku Attack  on Christendom, karya Teolog Jerman Dietrich Boenhoefer berjudul Letters and Papers from Prison sampai buku Church Dogmaticsnya karya Karl Barth.

Untuk memahami gagasan bahwa Kekristenan bukan agama, kita akan menelaah salah satu tulisan karya James A. Flower dengan judul Christianity is not Religion. Beliau berargumentasi sbb:

Religion emphasizes precepts, propositions, performance, productions, programs, promotion, percentages, etc. Christianity emphazises the Person of Jesus Christ and His life lived out through the receptive Christian believer.

Religion has to do with form, formalism and formulas; ritual, rules, regulations and rites; legalism, laws and laboring. The good news of Christianity is that it is not what we do or perform, but what Jesus has done and is doing in us....Christianity is not religion! Christianity is Chroist! Christianity is ‘Christ-in-you-ity’. Christianity is the personal, spiritual presence of the risen and living Lord Jesus Christ, manifesting His life and character in Christians, i.e. ‘Christ-ones’” (www.christinyou.net, 1998, p.20-21)

Terjemahannya: “Agama menekankan berbagai peraturan, proposisi, penampilan, produksi, program, persentase dll. Kekristenan menekankan Pribadi Yesus Sang Mesias dan kehidupannya yang muncul melalui orang Kristen yang menerimanya.

Kekristenan berkaitan dengan bentuk, formalisme serta berbagai formula; ritual, hukum, aturan, uoacara; legalistik, hukum serta usaha manusia. Kabar Baik dari Kekristenan adalah bukan apa yang kita kerjakan atau tampilkan melainkan apa yang Yesus telah dan sedang kerjakan dalam diri kita...Kekristenan bukanlah agama! Kekristenan adalah Kristus! Kekristenan adalah ‘Kristus berada di dalam dirimu’. Yesus Sang Mesias tidak mendirikan agama untuk mengingat dan mengulang ajarannya. Kekristenan adalah kehadiran pribadi dan rohani dari kebangkitan dan kehidupan Yesus Sang Mesias yang mengejawantahkan kehidupannya dan karakternya di dalam orang-orang Kristen, yaitu Kristus menyatu” .

Letak kekeliruan argumentasi di atas adalah keliru memahami arti agama dan arti kehadiran Yesus ke dunia. Kita akan telaah satu persatu.

Keliru memahami arti agama

Kata Agama berasal dari bahasa Sansekerta “A” yang bermakna “Tidak” dan “Gama” yang artinya “Kacau”. Dengan kata “Agama” bermakna “Tidak kacau”.

Persamaan dalam bahasa Inggris adalah “Religion” yang berasal dari bahasa Latin “Religo” yang artinya “to tie or fasten” (mengikat atau menghubungkan atau mengikat) – (J.R.V. Marchant and J.F. Charles, Cassell’s Latin Dictionary, p.478).

Saya tidak akan mempersoalkan terlalu teknis mengenai makna kata “Religion” (agama) karena ada banyak buku yang mengupas berdasarkan kajian etimologis maupun historis sehingga menimbulkan keragaman pendapat. Secara umum, istilah Agama atau “Religion” dipakai untuk menamai pemahaman dan perilaku seseorang berkaitan dengan suatu kepercayaan tertentu terhadap sesuatu yang mengatasi dirinya, ibadah yang tertentu serta perbuatan moral yang tertentu.

Kekristenan, sebagaimana Yudaisme, Islam, Hindu, Budha, Taoisme, Konfusianisme dll bisa saja disetarakan sebagai sebuah agama karena di dalamnya memiliki kesamaaan umum yaitu pemahaman dan perilaku seseorang berkaitan dengan suatu kepercayaan tertentu terhadap sesuatu yang mengatasi dirinya, ibadah yang tertentu serta perbuatan moral yang tertentu.

Jika Kekristenan bukan agama, lalu untuk menamai kesamaan umum antara Kekristenan dengan Yudaisme, Hindu, Budha, Taoisme, Konfusianisme dll dalam hal pemahaman dan perilaku seseorang berkaitan dengan suatu kepercayaan tertentu terhadap sesuatu yang mengatasi dirinya, ibadah yang tertentu serta perbuatan moral yang tertentu, dengan nama apa?

Jika kita bertemu dengan seseorang dan ketika dia mengatakan dirinya beragama Islam, Hindu, Budha, Yudaisme, Taoisme, Konfusianisme, lalu apakah kita akan menolak bahwa diri kita beragama? Kondisi tidak beragama di Indonesia adalah Ateis. Maka kita tidak akan pernah bisa menghindar dari istilah agama, suka atau tidak suka kita mempergunakannya.

Toch seandainya kita menolak istilah Agama bagi Kekristenan, kita tidak bisa mangkir ketika kita ditanya oleh seseorang “apakah agamanmu” atau “apakah kepercayaan yang Anda anut?”, mau tidak mau kita akan menjawab Kristen (jika kita seorang Kristen).

Keliru memahami arti agama dan arti kehadiran Yesus ke dunia

Kekeliruan berikutnya adalah mengartikan kehadiran Yesus adalah menghapus berbagai ritual ibadah sebelumnya yaitu Yudaisme. Bukan hanya Yesus bahkan rasul-rasul khususnya Paul dianggap telah memposisikan dirinya menentang kehadiran agama.

Pertanyaannya adalah apakah Yesus seorang Kristen? Bukan! Faktanya Yesus secara antropologis adalah manusia perwujudan Sang Firman. Manusia Yesus terlahir dari suku Yehuda (Ibr 7:14) dan Yesus mempraktekan kehidupan saleh dan beribadah yaitu Yudaisme. Yesus disunat atau upacara Brit Millah (Lukas 2:21-24), Yesus menjalani upacara Bar Mitswah yaitu upacara khatam membaca Torah dan dianggap sudah dewasa (Lukas 2:41-52),Yesus beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16,31), Yesus melaksanakan Tujuh Perayaan atau Sheva Moedim (Luk 2:41-42, Yoh 7:1-13) yang diamarkan dalam Imamat 23:1-44).

Yesus tidak meniadakan ibadah Yudaisme yang bersumber dari Torah. Yesus tidak meniadakan Sabat, tidak pula meniadakan sunat, tiada pula membatalkan Tujuh Hari Raya. Sebaliknya Yesus bersabda, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:17-19). Yesus tidak melakukan abolisi (penghapusan) terhadap Torah dan segala aspeknya. Bahkan Yesus mengatakan barangsiapa yang mengajarkan demikian, kedudukannya rendah dalam Kerajaan Sorga.

Yang menarik Yesus bersabda pada ayat 20, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”. Jika karya Mesianis Yesus menghapuskan eksistensi agama dan menjadikan kehadiran dirinya sebagai lawan dari agama, lalu mengapa Yesus mengatakan bahwa jika murid-muridnya memiliki standar keagaamaan yang lebih rendah dari Ahli Taurat maka mereka tidak masuk dalam Kerajaan Sorga?

PERAN ROHANIAWAN KRISTEN DALAM PENEGAKKAN KEADILAN SOSIAL


Dalam sebuah artikel surat kabar dituliskan, “Sayang, harus diakui, tampaknya tidak banyak tokoh agama yang tertarik pada isu-isu ketenagakerjaan. Banyak tokoh agama yang hanya suka berkutat pada masalah-masalah yang terkait dengan dogma, akidah atau ajaran agama. Padahal para buruh sebenarnya mengharapkan ada tokoh seperti mendiang Paus Yohanes Paulus II yang berani memback up perjuangan Serikat Buruh Solidaritas dalam menghadapi rezim komunis Polandia pada akhir dekade 1980-an” (Endang Suarini, Buruh Berjuang, dimana Agamawan, Kompas, 19 Maret 2012, hal 4). Pernyataan di atas sangat menggelitik dan menyadarkan semua kaum agamawan/rohaniawan khususnya Kristiani bahwa persoalan keadilan sosial dan isu-isu sosial kemasyarakatan termasuk persoalan kaum buruh, seharusnya menjadi pokok perhatian yang tidak kurang pentingnya setelah fundasi iman (Emunah, Ibr/Akidah, Arb).

EKONOMI TORAH UNTUK KAUM EVYON (MISKIN)


Kemiskinan kata penyair W.S. Rendra adalah “musuh” dan “lingkaran setan”. Indonesia, masih bergelut terus menerus dengan persoalan kemiskinan.

Koran SINDO edisi 2 Agustus 2007 melaporkan, “Jumlah penduduk miskin D.I.Y. per Maret 2007 mengalami peningkatan 7.240 jiwa. Info BPS D.I.Y dalam Survey Sosial Ekonomi 2007 mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2007 sebanyak 633.040 jiwa. Jumlah ini naik sekitar 18,99% dibandingkan data Juli 2005 sebanyak 625.800 jiwa. Sementara itu jumlah penduduk miskin atau di bawah garis kemiskinan di jateng pada posisi Maret tahun ini mencapai 6,55 juta orang. Jumlah ini cenderung dibandingkan Juni 2005 yang hanya 6,53 juta orang”.

Bagaimana Torah mengatasi kemiskinan? Kitab Imamat 25:35-55 Memberikan solusi cerdas meminimalisir kemiskinan. Ayat 35 dibuka dengan kalimat, “Apabila saudaramu jatuh miskin”. Dalam teks Ibrani dikatakan, “we ki yamuk akhika”. Kata “yamuk” merupakan bentuk kata kerja imperfek orang ketiga tunggal dari kata “muk” yang artinya “menjadi kekurangan”. Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita sbb: Pertama, bahwa kemiskinan merupakan suatu realita yang mendapat perhatian dari Yahweh melalui Torah-Nya. Kedua, kemiskinan dapat terjadi pada siapapun dan dikarenakan banyak faktor. Berbeda dengan ajaran Succesfull Theology (Teologi Sukses) atau Prosperity Gospel (njil Kemamkmuran) yang banyak diajarkan oleh gereja-gereja tertentu yang memandang bahwa kemiskinan adalah kutuk nenek moyang yang harus dibuang dan untuk menjadi anak Tuhan harus hidup dalam kelimpahan materi, maka Torah mengajarkan bahwa seseorang dapat mengalami kemiskinan dan Torah mengatur apa yang harus dilakukan terhadap orang miskin.

Istilah “miskin” dalam TaNaKh digunakan beberapa kata yang berbeda, al: Evyon (Ul 15:11), A’niy (Kel 22:24), Dallim (Ams 10:15), Rash (Ul 10:4). Kitab Perjanjian Baru naskah Yunani menggunakan istilah miskin dengan sebutan Ptokhos (Mrk 12:42), Tuphlos (Mat 9:7), Gumnos (Kis 19:16), Eleinoteros (1 Kor 15:19).

Kata “miskin” memiliki makna denotatif maupun konotatif. Makna denotatif dari miskin adalah kondisi ketidakmampuan secara ekonomi sehingga gagal untuk memenuhi sejumlah kebutuhan tertentu yang diperlukan dalam perputaran kehidupan. Sementara kata miskin dalam pengertian konotatif adalah kondisi yang lemah dan tidak berdaya [Mzm 40:18; 70:6, Mat 5:3, Gal 4:9].

Apa yang menyebabkan terjadinya kemiskinan? Kita akan melihatnya dari tiga sudut pandang. Pertama dari sudut Teologis, kedua dari sudut Ekonomis dan ketiga dari sudut Politis. Marilah kita lihat satu persatu.

Dari sudut Teologis, Kitab Amsal dan Kitab Amos memberikan penjelasan mengapa terjadi kemiskinan yaitu:

Tangan yang lamban alias tidak gesit (Ams 10:4)

Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya

Menyukai tidur alias kemalasan (Ams 20:13)

Janganlah menyukai tidur, supaya engkau tidak jatuh miskin, bukalah matamu dan engkau akan makan sampai kenyang

Menyukai minuman keras (Ams 23:21)

Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping

Tidak menyukai pendidikan (Ams 13:18)

Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mengabaikan didikan, tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati”

Penindasan ekonomi pihak lain (Am 2:6-7)

Beginilah firman Yahweh: "Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku: Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut; mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara; anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama-Ku;…”

Dari sudut Ekonomi, kemiskinan dapat dikarenakan, ketidak adilan sosial, kemalasan, tidak berpendidikan, bencana alam. Topik ini secara mendalam dan menarik diulas oleh Eko Prasetyo dalam kedua bukunya, “Orang Miskin Dilarang Sekolah” (Yogyakarta: Resist Book, 2005) dan “Orang Miskin Dilarang Sakit” (Yogyakarta: Resist Book, 2004). Sementara dari Sudut Politis, kemiskinan dapat dikarenakan oleh adanya peperangan antar negara dan pengaruh kebijakan negara. Ulrich Duchrow dalam bukunya, “Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan Alkitabiah Bagi Aksi Politis”, menyatakan bahwa biang kekacauan ekonomi dan munculnya kemiskinan yang tiada berakhir khususnya di negara berkembang adalah sistem ekonomi Kapitalis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000).

Setelah kita memiliki pemahaman umum mengenai istilah kemiskinan dan berbagai faaktor penyebabnya, marilah kita mendalam apa yang dikatakan Torah jika ada saudara kita yang mengalami kemiskinan dikarenakan sesuatu sebab-sebab tertentu. Torah tidak mengajarkan kepada kita agar melecehkan mereka dan mengatakan telah mengalami kutuk dari Yahweh atau sebagai orng tidak memiliki iman dalam kehidupannya.

Sebaliknya, Torah mengajarkan beberapa prinsip sbb: Pertama,wehekhezaqta bo ger we toshav” [ay 35]. Hendaklah engkau menopang atau mengokohkan dia seperti layaknya sebagai “orang asing” dan “pendatang”. Apa yang dimaksud dengan “orang asing” dan “pendatang” itu? Istilah Ibrani Ger maupun Toshav memiliki makna orang asing yang bukan Israel yang masuk dan hidup mengiuti prinsip dan aturan ditengah-tengah Israel. Kitab Keluaran 12:49 mengatakan, “Torah akhat yihyeh laezrakh welagger haggar betokkem(Satu Torah berlaku bagi penduduk asli dan bagi orang asing yang tinggal ditengah kamu sebagai orang asing). Kitab Imamat 19:33 mengatakan, “We ki yagur itka ger beartsekem, lo tonu oto(Apabila orang asing tinggal ditengah kamu sebagai orang asing, janganlah kamu menindas dia) Berarti ketika ada saudara, teman, sahabat kita yang sedang mengalami kesusahan dan kemiskinan, langkah yang harus dilakukan adalah membantu apa yang dia perlukan, layaknya orang asing dan pendatang yang telah masuk dalam lingkungan komunitas kita.

Kedua,Al tiqqakh meitto neshek wetarbit weyareat Yahweh(ay 36-38). Janganlah kamu mengambil uang riba maupun bunga melainkan takutlah akan Yahweh. Mengapa kita dilarang mengambil “neshek” dan “tarbit”?

Merugikan sesama (Yehkz 22:12)

Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku kaulupakan, demikianlah firman Adonai Yahweh

Menimbun kekayaan pribadi (Ams 28:8)

Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah

Ketiga, “Wenimkkar lak, lo ta’avod bo a’vodat e’ved(ay 39). Jika dia menjual dirinya kepadamu, janganlah kamu membuat dia bekerja sebagai seorang hamba. Torah bukan menginjinkan perhambaan atau perbudakan, namun Torah mengatur bagaimana selayaknya memperlakukan seorang hamba aatau budak, dikarenakan konteks budaya dan hukum disekitar Israel adalah demikian. Dan saudara, teman, sahabat kita yang mengalami kemiskinan janganlah diperlakukan secara semena-mena layaknya seorang hamba atau budak. Jika kita melakukan hal demikian, berarti kita telah merendahkan martabatnya dan membunuh karakternya.

Thursday, March 1, 2012

IMANKU, IBADAHKU, GAYA HIDUPKU



Jika kehidupan Kristiani diibaratkan sebagai fundasi dan bangunan, maka kehidupan Kristiani terdiri atas susunan fundasi dasar Pokok Keimanan. Di atas dasar Pokok Keimanan ada fundasi kedua yang berdiri sebagai pilar penopang yaitu Ibadah. Dan bangunan di atas pilar tersebut adalah Gaya hidup.

Saya menyebutnya dengan istilah Ibrani Emunah (pokok keimanan) dan Avodah (ibadah) serta Halakah (gaya hidup). Persamaannya dalam bahasa Arab, Akidah (pokok kepercayaan), Ibadah (peribadatan) serta Akhlaq (gaya hidup, perilaku). Persamaan dalam Gereja Orthodox diistilahkan dengan Orthodoxia (pokok ajaran), Ortholatria (peribadatan) serta Orthopraxia (gaya hidup, perilaku).

Namun demikian tentu akan ada yang bertanya pada saya, jika demikian benar adanya, lalu mengapa Kekristenan tidak memahami hal demikian? Bukankah istilah-istilah seperti Emunah, Avodah serta Halakah adalah istilah khas milik Yudaisme? Mengapa kita sebagai orang Kristen menggunakan istilah tersebut?

Sebelum saya mengkaji perihal apa saja yang menjadi pokok keimanan dan ibadah serta gaya hidup seorang Kristen, maka saya akan menjelaskan terlebih dahulu konsep mengenai Judeochristianity.

Pemahaman Mengenai Judeochristianity

Apa itu Judeochristianity? Secara istilah, Judeochristianity berarti Kristen Yahudi. Dalam sejarah penggunaan istilah Judeochristianity, kata ini telah mengalami perkembangan dan pergeseran makna. Istilah ini pertama kali muncul Oxford English Dictionary pada tahun 1899 dan 1910 bermakna orang-orang Kristen mula-mula yang masih menjadi bagian dari Yudaisme. Artinya, pengikut Yesus yang mula-mula adalah terdiri dari orang Yahudi. Istilah ini muncul kembali dalam sebuah surat kabar New English Weekly  di bawah judul Holocaust in American Life oleh Peter Novick.

Dalam perkembangannya, istilah Judeochristianity kerap ditunggangi dengan unsur-unsur politis di Amerika. Saya sendiri lebih mendefinisikan Judeochristian atau Yudeo Kristen sebagai, Kekristenan yang menghargai dan mewujudkan nilai-nilai Yudaisme dan budaya Semitik sebagai akar Kekristenan mula-mula. Nilai-nilai Yudaisme tersebut diwujudkan dalam pokok kepercayaan, dalam ibadah dan dalam etika[1].

Yudaisme manakah yang dimaksudkan sebagai akar Kekristenan? Yudaisme Klasik atau Yudaisme Modern? Bukan Yudaisme Modern yang telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi berbagai teori yang menolak Yesus sebagai Mesias, melainkan Yudaisme Klasik yang dimulai sejak orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada Abad VI SM[2].

Dengan pernyataan Yudaisme sebagai akar awal Kekristenan menimbulkan pertanyaan berikutmya. Apakah Yesus seorang Kristen? Bukan! Yesus secara kemanusiaan terlahir sebagai orang Yahudi (Ibr 7:14) dari orang tua Yahudi (Mat 1:1-17; Luk 2:1-5) dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi serta melayani dalam bingkai Yahudi dan Yudaisme al., beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16), merayakan perayaan Yahudi (Luk 2:41-42, Yoh 7:1-13), mengajar dengan gaya rabbi Yahudi (Mat 5:1-48).

Apakah bukti bahwa Yesus seorang Yahudi? Yesus disunat pada hari kedelapan (Lukas 2:21-24), Yesus mengikuti upacara Bar Mitswah (Lukas 2:41-52), Yesus menggunakan pakaian khas Yahudi dengan Tsit-tsit (Matius 9:20), Yesus mengajar dengan gaya khas seorang rabbi Yahudi –perumpamaan, cerita, amsal, dll (Mat 5:1-48)[3].

Apakah Yudeo Kristen adalah percampuran ajaran Yudaisme dan Kristen? Bukan! Yudeo Kristen tetap membedakan antara Yudaisme dan Kekristenan. Yudaisme berpusat pada Yahweh dan Torah. Kekristena berpusat pada Yesus dan Injil. Yudeo Kristen berpusat pada Yahweh dan Torah sekaligus pada Yesus dan Injil.

Dengan istilah Judeochristianity atau Yudeo Kristen saya maksudkan sebagai bentuk respon dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan diantara orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau Yahshua atau Yehoshua serta Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya Ibrani.

Karena Messianic Judaism adalah sebuah gerakan yang tumbuh dilingkungan Yudaisme dan Yahudi, maka saya merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic Judaism sekalipun saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi Messianic Judaism. Saya bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang Kristen.

Saya membuat jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian teologi serta devosi (ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan Judeochristianity atau Yudeo Kristian. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah Kristen Semitik atau Kristen Rekonstruksi.

Sebagaimana telah saya katakan dalam artikel Akar Itu Yang Menopang Kamu sbb, “Meskipun kembali ke akar iman bukan bermakna “menjadi Yahudi” dan sejenisnya, namun pemahaman tentang “Keyahudian” atau “Keisraelan” dan berbagai ekspresi ibadah, pengajaran serta tradisi-tradisi mereka, perlu dipelajari dalam terang kehadiran Yesus Sang Mesias. Hasil pemahaman mengenai “kembali ke akar Ibrani”, perlu diaktualisasikan dalam berbagai bidang penghayatan Kristiani. Berikut beberapa bentuk aktualisasi pemahaman kembali ke akar Ibrani dalam kehidupan iman Kristiani: Dalam Ibadah (Avodah), dalam Teologi (Elohut), dalam Etika (Halakah)”.[4] Dengan kata lain, visi Back to Hebraic Root  atau Kembali ke Akar Ibrani yang diusung oleh Messianic Judaism saya respon dengan mendefinisikan diri sebagai Judeochristianity atau Yudeo Kristen sebagai bentuk refleksi teologis atas pengajaran Messianic Judaism dalam Teologi dan Devosi serta Etika.

Istilah Yudeo Kristen juga saya pergunakan untuk merespon kehadiran Gereja Ortodok Timur yang juga mengekspresikan budaya Semitik dan peribadatan dengan mempergunakan bahasa Aramaik serta Arab. Baik Messianic Judaism maupun Gereja Ortodox Timur memang membawa misi untuk mengingatkan Kekristenan mengenai akar tradisi iman dan budaya mereka yaitu dari Timur khususnya budaya Semitik Yudaik.

Saya merasa lebih nyaman mempergunakan istilah Yudeo Kristen sebagai bentuk berdiri diantara Teologi Messianic Judaism dan Gereja Orthodox.

Setelah saya menjabarkan konsep mengenai apakah Judeochristianity, maka saya akan menguraikan dalil-dalil mengenai Emunah, Avodah, Halakah dari Judeochristianity tersebut.

Pokok Keimanan Kristiani (Emunah)

1 Timotius 4:6 mengatakan, “Dengan selalu mengingatkan hal-hal itu kepada saudara-saudara kita, engkau akan menjadi seorang pelayan Mesias Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kauikuti selama ini”. Ayat ini menegaskan pada kita bahwa sebagai seorang pengikut Mesias, kita harus terdidik dalam soal-soal pokok keimanan.

Jika seorang Kristen tidak memiliki pokok keimanan yang kokoh, maka rusaklah ibadahnya dan rusaklah gaya hidupnya akibat pemahaman dasar yang salah. Mazmur 11:3 mengatakan, “Apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu?”. 


Dengan demikian, pokok keimanan menempati bagian yang paling dasar dari kehidupan Kristiani. Jika dasar kehidupan Kristiani hancur, maka hancurlah ibadah dan gaya hidupnya.
Rasul Paul Yudas (Yahuda) mengatakan bahwa iman harus diperjuangkan dan rasul Paul mengatakan agar iman diteruskan serta diwariskan.

Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (Yud 1:3).

Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu” (2 Kor 11:2).

 “Tetapi kami berpesan kepadamu, saudara-saudara, dalam nama Junjungan Agung Yesus Sang Mesias, supaya kamu menjauhkan diri dari setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya dan yang tidak menurut ajaran yang telah kamu terima dari kami” (2 Tesalonika 3:6)

Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2 Tes 2:15)

Satu Tuhan dan Satu Junjungan Agung Yang Ilahi

Apakah yang menjadi pokok keimanan kita? Rasul Paul meringkas dengan susunan kredo berikut ini,” namun bagi kita hanya ada satu Tuhan saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Junjungan Agung Ilahi saja, yaitu Yesus Sang Mesias, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”. Karena dalam perspektif Judeochristianity nama Allah tidak tepat untuk menerjemahkan kata Yunani Theos dan kata Ibrani Elohim, maka semua kata Allah baik dalam TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru dituliskan dengan Tuhan[5]

Kredo di atas dengan tegas mengatakan ADA SATU TUHAN dan ADA SATU JUNJUNGAN AGUNG ILAHI. Tuhan itu disapa Bapa. Siapakah nama Tuhan dan Bapa Surgawi itu?

Siapakah Sang Bapa itu?

Yesaya 64:8 mengatakan, “We’atta YHWH Avinu…” (dan  sekarang Engkaulah YHWH Bapa kami). Mengapa kita tidak mengenal YHWH sebagai Bapa? Karena orang Yahudi paska pembuangan enggan mengucapkan nama YHWH dan diganti dengan ungkapan euphemisme HA SHEM (Sang Nama) dan ADONAI (Tuhan). Kebiasaan ini berlanjut ketika Septuaginta (terjemahan TaNaKh dalam bahasa Yunani) menuliskan nama YHWH dengan sebutan KURIOS yang setara dengan Adonai. Kemudian Vulgata (terjemahan TaNaKh dalam bahasa Latin) menuliskan nama Tuhan dengan DOMINI. Kebiasaan ini berlanjut ketika bangsa-bangsa menerjemahkan TaNaKh dalam bahasa masing-masing, maka tradisi Yahudi paska Babilon dilestarikan yaitu mengganti nama Tuhan Yahweh dengan sapaan penghormatan. Dalam bahasa Inggris LORD, dalam bahasa Indonesia TUHAN.

Siapakah YHWH itu?

Siapakah YHWH (Yahweh) itu? Keluaran 3:15 mengatakan, “Selanjutnya berfirmanlah Tuhan kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: YHWH, Tuhan nenek moyangmu, Tuhan Abraham, Tuhan Ishak dan Tuhan Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun”. Dalam Yesaya 40:28 dikatakan, “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? YHWH ialah Tuhan kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya”. Menurut eksposisi ayat di atas, YHWH adalah Tuhan Pencipta dan Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub serta keturtunanya.

Apakah Makna penyapaan YHWH dengan sebutan Bapa? Setiap huruf dalam bahasa Ibrani memiliki makna sebagaimana semua rumpun bahasa Semitik. Kata Ibrani untuk Bapa adalah AV (אב) terdiri dari Alef (א) dan Bet (ב). Huruf Alef merupakan huruf pertama dalam rangkaian abjad Ibrani. Huruf Alef melambangkan yang pertama ada, sumber segala sesuatu. Sementara huruf Bet merupakan huruf yang pertama kali muncul dalam Kitab Kejadian 1:1 Bereshit bara Elohim et ha shamayim we et haarets” (Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi). Huruf Bet adalah huruf penciptaan, sang causa prima, pengada yang pertama. Makna sebutan Av (אב) adalah Dialah Sang Pengada pertama yang menyebabkan segala sesuatu ada. Dialah sumber segala sesuatu.


Mengapa Yesus mengajarkan untuk menyapa-Nya dengan sebutan Bapa? Sebenarnya penyapaan YHWH dengan sebutan Bapa Kami (Avinu) bukan hal baru sama sekali. Dalam Siddur (Buku Doa Yudaisme) ada beberapa doa yang memulai dengan sapaan AVINU. Orthodoks Judaism menyapa YHWH dengan ADONAI. Kaum Kabalist (esoterisme Yahudi) menyapa YHWH dengan EIN SOF (Tiada Akhir). Sapaan AVINU oleh Yesus hendak memberikan makna kerapatan hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya secara lebih egaliter[6].


Dan Rasul Paul meneruskan (paradosis) apa yang telah diajarkan oleh Yesus untuk menyapa YHWH (Yahweh) dengan sebutan Bapa. Jika YHWH adalah Sang Bapa dan Tuhan Pencipta maka siapakah Yesus Sang Mesias itu?

Yohanes mengatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Tuhan dan Firman itu adalah Tuhan...Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:1)

Dari aspek hakikat (ontologi), Yesus adalah Sang Firman. Sang Firman bukanlah mahluk yang diciptakan Tuhan melainkan oleh Firmanlah segala sesuatu diciptakan (Kej 1:3, Mzm 33:6, Yoh 1:3). Keilahian Yesus terletak dari hakikat Yesus sebagai Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia. Oleh karenanya Rasul Paul mengatakan, “...yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1 Kor 8:6).

Mengapa Yesus disebut Junjungan Agung Yang Ilahi?

Namun mengapa saya menerjemahkan dengan “Junjungan Agung Yang Ilahi” terhadap Yesus? Bukankah ini menolak aspek Ketuhanan Yesus dan hanya menyamakannya dengan manusia lainnya yang memiliki gelar serupa?

Dalam keseluruhan Kitab Perjanjian Baru Yesus disapa oleh muridnya dan siapapun yang berbicara dengan beliau dengan sapaan Kurios (bhs. Yunani) atau Maran (bhs. Aram). Kata Kurios sendiri memiliki makna Tuan atau Majikan atau sebutan penghormatan sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat berikut ini:

Sekarang apa yang akan dilakukan oleh tuan (kurios) kebun anggur itu? Ia akan datang dan membinasakan penggarap-penggarap itu, lalu mempercayakan kebun anggur itu kepada orang-orang lain” (Mrk 12:9)

Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya (kurios) melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang” (Luk 12:43)

Istilah Kurios bisa ditujukan pada manusia (majikan, pemilik usaha, raja, pejabat dll) dan bisa terhadap Tuhan dan malaikat sebagaimana ayat-ayat berikut ini:

Sebab itu segala malapetakanya akan datang dalam satu hari, yaitu sampar dan perkabungan dan kelaparan; dan ia akan dibakar dengan api, karena YHWH Tuhan (kurios ho theos), yang menghakimi dia, adalah kuat” (Why 18:8)

Ia menatap malaikat itu dan dengan takut ia berkata: "Ada apa, Tuan? (kurios)" Jawab malaikat itu: "Semua doamu dan sedekahmu telah naik ke hadirat Tuhan dan Tuhan mengingat engkau” (Kis Ras 10:4).

Didasarkan pada analisis diatas, maka sebutan Kurios bagi Yesus dalam naskah
Yunani Perjanjian Baru, seharusnya diterjemahkan dengan sebutan “Tuan” atau “Junjungan Agung”.  Maka pernyataan, “Legei hautoi Kurie houte antlema ekheis kai to phrear estin bathu phosen houn ekheis to udoun to zoon” (Yokh 4:11) seharusnya diterjemahkan "Tuan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?”. Demikian pula pernyataan, “Hosakis gar ean esthiete ton arton touton kai to poterion ton thanaton tou kuriou kataggelete akhris hou elthe (1 Kor 11:26) seharusnya diterjemahkan, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuan . Maka pernyataan, “Eiselthousai de oux euron to soma tou Kuriou Iesou” (Luk 24:3) pun seharusnya diterjemahkan, ““dan setelah masuk mereka tidak menemukan mayat Tuan Yesus”.

Konsekswensi logis dari pemahaman di atas, bahwa “Tuan Yesus dapat mengalami kematian sebagai manusia”, “Tubuh Tuan Yesus yang mati, dapat dikafani”. Artinya, Sang Firman yang telah menjadi manusia itu yang dijuluki “Tuan”, benar-benar logis jika mengalami kematian dan mayatnya dikafani. Namun jika “Tuhan mati” atau “mayat Tuhan dikafani”, maka akan menimbulkan pelecehan terhadap Tuhan Semesta Alam dan merendahkan hakikat-Nya yang kekal dan tidak nampak.

Apakah dengan menyebut Yesus sebagai “Tuan” atau “Junjungan Agung”, kita merendahkan hakikat Yesus yang adalah “Firman Tuhan?” apakah kita menyangkal Ketuhanan-Nya? Sekali-kali tidak! Dengan menyebut Yesus sebagai “Tuan”, kita menegaskan bahwa Dia merupakan pribadi atau sosok yang berkuasa, baik di bumi maupun di Sorga. Dengan menyebut Dia “Tuan”, kita menempatkan secara tepat panggilannya dalam kaidah tata bahasa. Dengan menyebut Yesus “Tuan”, kita menghilangkan skandalon (batu sandungan) terhadap komunitas Islam yang memiliki anggapan bahwa beberapa orang Kristen telah menyamakan begitu saya Isa dengan Allah yang dianggap sebagai Tuhan Pencipta[7].

Makna Kata Kurios Bagi Yesus

Kata Kurios berkaitan dengan kata Kuriotes yang artinya “kekuasaan”. Kata Kuriotes muncul beberapa kali dalam Yudas 1:9, “Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan Tuhan (kurioteta) serta menghujat semua yang mulia di sorga”. Demikian pula dalam Kolose 1:6 sbb: “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa (kuriotetes): segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Dan akhirnya dalam Efesus 1:21 sbb: “Jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa (kuriotetos) dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang”.

Dari kajian ayat di atas, Yesus disapa dengan Kurios (Tuan/Junjungan Agung Yang Ilahi) bermakna bahwa Dia memiliki pengaruh dan kuasa yang dinyatakan dalam ajaran dan tindakan penyembuhan dalam karya Mesianis-Nya[8].

Inilah pokok keimanan kita. Ada satu Tuhan yaitu YHWH Sang Bapa Sorgawi dan ada satu Tuan/Majikan/Penguasa/Junjungan Agung Yang Ilahi yang bernama Yesus atau Yahshua/Yeshua Sang Mesias.

Konsep Keesaan Tuhan dalam Kekristenan

Dalam perkembangannya ketika ajaran Jemaat Mesias (Gereja/Qahal) keluar dari Yerusalem dan berhadapan dengan kebudayaan pagan Yunani Romawi dengan kekuatan Filsafatnya, maka Jemaat Mesias non Yahudi mulai menggunakan alat Filsafat untuk menjawab dan menjelaskan pokok keimanan. Munculah konsili-konsili (sudang Gereja) yang berusaha menjawab berbagai permasalahan dalam doktrin dan ibadah. Dari tujuh Konsili ada 3 Konsili yang terkenal yaitu Konsili Nicea (325 Ms), Konsili Kontantinopel (381 Ms) dan Konsili Chalchedon (451 Ms).

Muncullah istilah Tritunggal rumusan Tertulianus dalam menjelaskan keesaan Bapa, Anak, Roh Kudus yaitu YHWH, Firman dan Roh-Nya yang berkarya dalam penciptaan dan penyelamatan. Pengakuan Iman atau Sahadat Rasuli yang kerap diucapkan baik di Gereja Katolik, Ortodox maupun Protestan merupakan bentuk final pengakuam iman Gereja akan Tuhan yang berkarya melalui Sang Putra dan Sang Roh Kudus.

Dari perspektif Judeochristianity, saya tidak mempergunakan istilah Tritunggal sekalipun tidak menolak kesehakikatan essensi Bapa, Anak, Roh Kudus. Saya tetap mempergunakan istilah Keesaan Tuhan sebagaimana Mesias dan para rasul menggunakan istilah tersebut.

Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus kembali mengutip Shema (Mrk 12:29). Berulang kali, dalam suratnya, Rasul Paul mengungkapkan sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20), demikian pula Rasul Yohanes menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45) serta rasul Yudas (Yud 1:25).

Secara literal, istilah “Keesaan” adalah Firmaniah atau Scriptural. Kedua, makna Keesaan dalam sudut pandang Scriptural adalah bahwa orang beriman harus menyembah kepada satu-satunya Tuhan yang benar, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus serta bukan kepada Tuhan yang lain. Hanya Dia lah fokus ibadah (Ul 6:13), fokus kasih (Ul 11:1), fokus doa (Mzm 143:1), fokus pujian (Mzm 66:2). Jadi, kata “Ekhad”, bukan bermakna aritmetis semata namun bermakna metafisik. Tuhan yang mengatasi ruang dan waktu dan yang satu-satunya berhak menerima penyembahan. Ketiga, baik Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah sehakikat, setara dalam kekekalan. Bapa, Putra dan Roh Kudus, keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42, Yoh 15:26)[9]

Ibadah Kristiani (Avodah)

1 Timotius 4:7-8 mengatakan, “Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang”.

Kata  “beribadah” dalam bahasa Ibrani dipergunakan kata Avodah. Kata Avodah muncul dalam Kitab Torah, Neviim, Kethuvim (TaNaKh atau Kekristenan lazim menyebutnya dengan Perjanjian Lama) sebanyak 145 kali. Dalam bahasa Yunani dipergunakan kata Latreuo.

Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan kata Avodah dan Latreuo dengan “melayani”, “budak”, “mengerjakan”, “beribadah”.

“…tetapi supaya mezbah itu menjadi saksi antara kami dan kamu, dan antara keturunan kita kemudian, bahwa kami tetap beribadah (avodat) kepada YHWH di hadapan-Nya dengan korban bakaran, korban sembelihan dan korban keselamatan kami. Jadi tidaklah mungkin anak-anak kamu di kemudian hari berkata kepada anak-anak kami: Kamu tidak mempunyai bagian pada YHWH” (Yos 22:27).