Pemahaman
Mengenai Hakikat Yesus Sang Mesias:
Antara Yang
Ilahi dan Yang Manusiawi
Yesus adalah Sang Firman yang menjadi manusia, demikian
Yohanes 1;14 memberikan kesaksian kepada kita. Konsekwensi logisnya, Yesus
memiliki aspek keilahian dan sekaligus aspek kemanusiaan. Aspek keilahian
tersebut dinampakkan bahwa hakikat Yesus adalah Sang Firman yang setara,
sehakikat, melekat dengan Tuhan (Yoh 1:1). Firman tidak diciptakan melainkan
daya cipta Tuhan yang menjadikan segala sesuatu ada (Kej 1:3, Mzm 33:6, Yoh
1:3).
Karena Firman tidak diciptakan maka Firman itu kekal
adanya. Firman bukan yang begitu saja serupa dengan Tuhan sebagaimana terungkap
dalam frasa, “Firman itu bersama
dengan Tuhan” (Yoh 1:1) namun serentak bahwa Firman bukan yang berbeda dengan
Tuhan hal itu terungkap dalam frasa “Firman itu adalah Tuhan” (Yoh 1:1). Frasa “bersama” menunjukkan perbedaan dan
frasa “adalah” menunjukkan kesatuan.
Sang Firman
yang menjadi manusia demi tugas penyelamatan dunia dan manusia, demi
memperdamaikan perseteruan antara manusia dengan Tuhan itu, tidak lahir dalam
ruang kosong yang bersifat metahistoris. Dia datang dalam suatu lingkup
kehidupan, peradaban dan kebudayaan serta peradaban Yahudi dan Yudaisme.
Dengan
menyatakan aspek Keyahudian Yesus, bukan berarti kita meniadakan aspek
Ontologis Yesus sebagai Sang Firman yang menjadi manusia, namun kita hendak
mendalami aspek Anthropologis Yesus sebagai Firman yang menjadi Manusia.
Manusia Ilahi itu lahir dalam konteks ruang dan waktu, yaitu Yerusalem yang
dijajah dan dikuasai Pemerintahan Romawi. Konteks kebudayaan dan keagamaan
tertentu, yaitu Yahudi dan Yudaisme.
Kekristenan lebih menekankan aspek Ontologis
Yesus sehingga mengabaikan aspek Antropologis Yesus. Hal itu berdampak
mendistori hakikat dan ajaran Yesus. Hal ini dapat kita lihat dalam sejumlah
doktrin yang memfokuskan segala sesuatu pada Yesus Sang Mesias. Ketika seorang
Kristen ditanya, “siapa Tuhan Anda?” Selekas mungkin Kekristenan akan menjawab,
“Yesus Kristus”. Padahal Yesus bersabda, “Tuhan
adalah roh barangsiapa hendak menyembah-Nya
haruslah menyembah dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4:24). Dalam kesempatan lain
Yesus bersabda, "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Tuhan, percayalah juga kepada-Ku” (Yoh 14:1).
Dan dikatakan pula dalam percakapan berikutnya, “Inilah
hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Tuhan yang benar, dan mengenal Yesus Sang Mesias yang
telah Engkau utus” (Yoh 17:3).
Kasus di atas hanyalah salah satu contoh
bagaimana Kekristenan menempatkan secara keliru kedudukan Yesus sebagai Anak
Tuhan, Mesias, Rabbi, Juruslamat justru menempatkannya sebagai Tuhan Pencipta
yang menjadi manusia. Padahal Yesus adalah Firman Tuhan yang menjadi manusia.
Dan sebagai Firman yang menjadi manusia, Yesus menjadi jalan menuju Sang Bapa
sebagaimana dikatakan, “Akulah jalan
dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6).
Oleh karenanya, kajian berikut ini hendak
mengingatkan Kekristenan bahwa Yesus yang memiliki aspek Ilahi juga memiliki
aspek kemanusiaan. Sebagai manusia, Yesus lahir sebagai seorang Yahudi dan
menganut Yudaisme.
Yesus
Bukan Kristen:
Yesus
Adalah Seorang Yahudi dan Penganut Yudaisme
Yesus bukan seorang Kristen dan tidak
mendirikan agama Kristen. Kristen berasal dari kata Yunani Christos yang
merupakan bentuk terjemahan terhadap kata Ibrani Mashiakh yang artinya “Yang Diurapi”. Pengikut Yesus
dari golongan Yahudi dijuluki Nazarane/Netsarim/Nazoraios (Kis 24:5) sementara
pengikut Yesus dari golongan non Yahudi dijuluki Christianoi/Kristen (Kis
11:26)
Apakah
bukti-bukti bahwa Yesus
adalah seorang Yahudi dan penganut Yudaisme ?”
Pertama, garis silsilah Yesus (Mat 1:1-17, Luk 3:23-28). Silsilah
yang dilaporkan oleh Matius mengambil garis Yesus dari Salomo anak Daud, Raja
Israel (Mat 1:6) dan jika ditarik terus ke atas, sampailah pada leluhur Mesias,
yaitu Yahuda yang merupakan anak Yakub, anak Ishak, anak Abraham, sebagai anak
pewaris perjanjian kekal Yahweh dengan keturunan Abraham. Sementara silsilah
yang dilaporkan Lukas mengambil garis dari Natan anak Daud yang lain (Luk
3:32), hingga sampai Avraham dan terus sampai kepada Adam. Asal-usul kesukuan Yesus ditegaskan kembali dalam Ibrani 7:14, “Sebab
telah diketahui semua orang, bahwa (Junjungan Agung) kita berasal dari suku
Yahuda dan mengenai suku itu Moshe tidak pernah mengatakan suatu apa pun
tentang imam-imam”.
Kedua,
gaya berpakaian yang mencirikan seorang
Yahudi. Dilaporkan dalam Matius 9:20, “Pada waktu itu seorang perempuan
yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan (zavat dam) maju
mendekati Yahshua dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya”. Apa yang
dimaksudkan dengan “jumbai jubah-Nya?” Itulah ujung tepi jubah dimana terikat
Tsit-tsit yang mencirikan seorang laki-laki Yahudi berpakaian. Kita tidak tahu
apakah perempuan ini seorang Yahudi atau non Yahudi, namun nubuatan Zakaria
secara tidak langsung genap dalam diri Yesus.
Ketiga,
mengalami prosesi Brit Millah atau Sunat pada hari ke delapan, sesuai Torah, sebagai bagian dari
tanda fisik perjanjian antara keturunan Avraham dengan YHWH Semesta Alam. Lukas
2:21-24 melaporkan, “Dan ketika genap delapan hari dan Dia harus disunatkan,
Dia diberi nama Yahshua, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Dia
dikandung ibu-Nya. Dan ketika genap waktu pentahiran , menurut Torah Musa,
mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Yahweh, seperti
ada tertulis dalam Torat YHWH: "Semua anak laki-laki sulung harus
dikuduskan bagi Tuhan", dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang
difirmankan dalam Torat YHWH, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak
burung merpati.
Keempat,
mengalami prosesi Bar Mitswah dalam
Lukas 2:41-52, di mana Yahshua mulai muncul pada usia 12 tahun dan kemunculan
di usia 12 tahun itu dimulai di Bait Suci, saat kedua orang tuanya melaksanakan
perayaan tahunan Pesakh.
Kelima,
membaca Torah dan beribadah Sabat.
Dikatakan dalam Lukas 4:16, ”Dan datang ke Nazaret tempat Dia
dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Dia masuk ke Sinagog,
lalu berdiri hendak membaca dari Gulungan Kitab”. Yesus melakukan Aliyah
(menaikkan Torah) di Sinagog Yahudi yang jatuh pada tiap hari Shabat.
Keenam,
melaksanakan Sheva Moedim atau Tujuh
Hari Raya yang ditetapkan YHWH. Sheva Moedim artinya Tujuh Hari Raya yang
merupakan ketetapan Yahweh (Imamat 23:1-44). Sheva Moedim bukan hanya merupakan
perayaan panen, namun suatu perayaan momentum perbuatan Yahweh bagi umat-Nya di
masa lalu serta perayaan yang bersifat propetik Mesianik. Nama ketujuh Hari
Raya tersebut adalah: Pesakh , Hag ha
Matsah (Roti Tidak Beragi), Hag
Sfirat ha Omer (Buah Sulung),
Hag Shavuot (Pentakosta), Hag
Rosh ha Shanah/Yom Truah (Tahun Baru/peniupan Sangkakala), Hag Yom Kippur (Pendamaian) dan Hag Yom Sukkot (Pondok Daun)
Dari ketujuh Hari Raya tersebut, ada
tiga Hari Raya besar yang diperingati setiap tahun dengan berkumpul di
Yerusalem, yaitu Pesakh, Shavuot
dan Sukkot (Ulangan 16:16-17).
Kitab Perjanjian Baru mencatat tiga perayaan penting tersebut dihadiri oleh Yesus, baik saat Yesus mulai beranjak remaja maupun sudah mulai dewasa dan
melakukan karya Mesianik-Nya. Yesus menghadiri Perayaan Pesakh bersama kedua
orang tua-Nya (Luk 2:41-42). Yesus merayakan Sukkot bersama murid-murid-Nya
(Yoh 7:1-13).
Nilai
Pengkajian Keyahudian dan Keyudaismean Yesus
Bagi
Kekristenan
Seseorang memberikan pernyataan, “Apa pentingnya sich
kita mengetahui bahwa Yesus adalah seorang Yahudi dan penganut Yudaisme?”,
“Apakah itu berpengaruh pada keselamatan jiwa kita?” Ini bukan soal selamat
atau tidak selamat. Ini bukan soal kehidupan kekal di sorga atau kehidupan
kekal di neraka. Ini soal pemahaman yang berimbang terhadap Yesus Sang Mesias
Juruslamat dan Junjungan Agung Ilahi kita.
Berulangkali Kitab Perjanjian Baru menegaskan
kemanusiaan Yesus dengan berkata, “Karena Tuhan itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Tuhan dan manusia, yaitu manusia Mesias Yesus” (1 Tim 2:5). Dan dikatakan pula, “Demikianlah
kita mengenal Roh Tuhan setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Sang Mesias telah datang sebagai manusia, berasal dari Tuhan”
(1 Yoh 4:2).
Kajian ini menolong kita memahami aspek kemanusiaan
Yesus yang Yahudi dan Yudaisme. Pengabaian aspek kemanusiaan Yesus yang Yahudi
dan Yudaisme, membawa sejumlah konsekwensi serius dibidang Akidah-Ibadah-Akhlak
Kristiani. Apakah itu?
Dampak
Pengabaian
Keyahudian
dan Keyudaismean Yesus Sang Mesias
Memutuskan hubungan
sejarah bahwa Yesus adalah Bangsa Yahudi, bahwasnya Kekristenan berakar dari
Yudaisme, menimbulkan konsekwensi teologis yang mendalam, berupa kehilangan
orientasi dan kesatuan iman dan tata
ibadat.
Nelly Van Doorn-Harder,
MA., menjelaskan kenyataan di atas sbb: “…proses melupakan warisan keyahudian
ini berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen diluar tanah asalnya
sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan
dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat
Yunani…Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa
gereja keluar jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu
budaya yang berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil dari Renaisance.
Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang
senantiasa berdialog secara konstan dengan (Tuhan) yang penuh simbol dan
misteri, sama sekali hilang dari kehidupan liturgi Protestan dan diganti oleh
penekanan ala Protestan yakni doktrin…anti Yahudi telah memberi andil terhadap
paham (ide) bahwa Kekristenan adalah sebuah agama yang betul-betul asli dan
tidak menggunakan unsur Yudaisme apapun. Melupakan akar-akar keyahudian,
memberikan konsekwensi-konsekwensi
serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak
lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi
mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai
perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya
perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”[1].
Kiranya pengkajian singkat ini dapat
menuntun kita untuk lebih dekat lagi melihat sosok Yesus secara berimbang baik
dari sudut pandang keimanan yang berdasarkan Kitab Suci maupun berdasarkan
sudut pandang sejarah berdasarkan berbagai literatur-literatur di luar Kitab
Suci yang meneguhkan keimanan.
[1] Akar-akar Keyahudian dalam Liturgi Kristen,
dalam : Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, no 53, Yogyakarta: 1998, hal 72-73
No comments:
Post a Comment