Dalam salah satu promosi untuk menghadiri kegiatan
Kebaktian Rohani terpampang kalimat “KKR
Mukjizat dan Akhir Zaman, Tuhan Yesus Penyembuh, Sembuh Dari Penyakit, Hubungan
Keluarga, Kemiskinan dan Usaha”. Ada yang menarik untuk dicermati dari judul
dan fenomena keagamaan dalam Kekristenan kontemporer yang berkiblat kepada
Western Christianity tersebut. Dari pemilihan tema dapat dilihat bahwa beberapa
kelompok denominasi tertentu telah memperlakukan kemiskinan setara dengan
penyakit yang dapat dan harus disembuhkan dengan cara non medis dalam hal ini
melalui upaya supranatural yaitu doa-doa yang diucapkan pendeta atau pengkotbah
dalam kegiatan keagamaan tersebut. Pertanyaannya adalah, benarkah kemiskinan
adalah suatu penyakit yang harus disembuhkan dan dengan mudah diusir dalam nama
Yesus Sang Mesias layaknya mengusir roh-roh jahat dan sakit penyakit jahat
mematikan? Sebelum menjawab apakah kemiskinan setara dengan sakit penyakit yang
dapat dan harus disembuhkan melalui doa-doa pelepasan, mari kita simak terlebih
dahulu bagaimana misi pelayanan Yesus dan para Rasul-Nya sebagaimana dilaporkan
dalam Kitab Perjanjian Baru.
Saat Yesus berada di Sinagog dan beribadah Sabat dan
tiba saatnya beliau mendapatkan kehormatan untuk membaca gulungan Kitab, beliau
membacakan Yesaya 61:1-2 sebagaimana dilaporkan Injil Lukas sbb, “Roh YHWH ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia
telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat YHWH telah datang” (Luk
4:18-19). Frasa
“mengurapi” (Ibr: mashakh, Yun: echrismen) dihubungkan dengan
pelaksanaan tugas sebagai Mesias baik pelayanan kepada orang miskin,
penyembuhan, pelayanan mukzizat, menegakkan keadilan sosial. Kita akan menyoroti dan
mempertajam frasa “menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin” (Ibr: lebasyer
anawim, Yun: euanggelisasthai ptochoi).
Pelayanan mukzizat, kesembuhan dan fenomena supranatural yang akhir-akhir ini
didemontrasikan oleh penginjil televisi adalah bagian dari pelayanan Mesias
namun bukan satu-satunya pelayanan Mesias. Pelayanan mukzizat dan kesembuhan
tidak boleh dilepaskan dengan pelayanan yang terkait bahkan diurutkan pertama
yaitu pemberitaan Kabar Baik kepada orang-orang miskin. Pelayanan yang holistik
dan terpadu adalah pelayanan yang menekankan secara berimbang kesemua
aspek-aspek tersebut.
Anatomi Kemiskinan: Perspektif Teologis
Bagaimana kemiskinan dipandang dari sudut iman
Kristiani yang berlandaskan Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim) dan Kitab
Perjanjian Baru? Kitab TaNaKh mendeskripsikan beberapa faktor penyebab
terjadinya kemiskinan yaitu: kelambanan
alias tidak cekatan (Ams 10:4), kemalasan (Ams 20:13), kebiasaan peminum (Ams
23:21), penindasan (Am 4:1), kebijakan penguasa, persaingan bisnis,
mismanajemen, kutuk nenek moyang, korban peperangan dll. Adalah keliru jika ada
gereja yang mengajarkan bahwa kemiskinan hampir selalu disebabkan oleh
satu-satunya faktor spiritual yaitu kutukan atau bahkan diperlakukan
setara dengan sakit penyakit.
Memang benar bahwa Torah menuliskan bahwa Tuhan YHWH
bisa mengubah berkat material seseorang diubah menjadi kutuk, namun jika
dicermati lebih jauh bahwa kutukkan yang terjadi bukan sebab tetapi akibat dari
penolakkan dan pengabaian terhadap perintah Tuhan sebagaimana dikatakan: “Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu
tidak memberi perhatian untuk menghormati nama-Ku, firman YHWH semesta alam,
maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu
menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak
memperhatikan” (Mal 2:2). Perhatikan frasa weshilakhti bakem et hameerah wearoti et birkotekem (maka Aku akan
mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk)
hanya sebuah akibat dari sebuah sebab yaitu im
lo tishme’u weim lo tashim’u ‘al lev latet lishmi (Jika kamu tidak
mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati nama-Ku).
Dalam ayat lainnya bahkan “kutuk” dan “berkat” yang
diterima secara individu atau kolektif dihubungkan dengan sebuah keputusan dan
pilihan yang dilakukan oleh seseorang untuk mematuhi atau melanggar perintah-perintah
Tuhan sebagaimana dikatakan: “Aku
memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu
kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan,
supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi YHWH
Tuhanmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti
hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan YHWH dengan
sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk
memberikannya kepada mereka” (Ul 30:19-20). Frasa haberakah wehaqelalah (berkat dan kutuk) hanya dapat diperoleh
diantara keduanya melalui sebuah keputusan dan pilihan individu atau kolektif
dan Tuhan memerintahkan, bakharti
bakhayim lema’an tihyeh (Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup).
Tuhan YHWH melalui Torah-Nya tidak pernah
memperlakukan kemiskinan dan orang-orang
miskin sebagai penyakit. Torah tidak mengajarkan kepada kita untuk memperdebatkan faktor
penyebab kemiskinan melainkan bagaimana kita memperlakukan orang yang jatuh
miskin dan orang yang mewarisi kemiskinan dari keluarganya. Torah mengajarkan
agar kita membantu dengan kemampuan kita jika ada saudara kita yang jatuh
miskin karena berbagai penyebab (Im 25:25, 35). Torah mengajarkan agar kita
membagi harta kita dan membantu mereka yang benar-benar miskin dengan
meminjaminya jika mereka membutuhkan (Ul 15:6-11). Torah mengajarkan agar orang
yang memiliki harta berlebih jangan meminjamkan uang kepada orang miskin dengan
mengambil bunga (Kel 22:25). Torah mengajarkan agar jangan meminjamkan dengan
mengambil gadaian terhadap orang miskin (Ul 24:10-13).
Orang-orang miskin memiliki hak untuk mendapatkan
apa yang mereka perlukan seperti sandang, pangan, papan yang tidak bisa mereka
peroleh dengan kemiskinan mereka sebagaimana dikatakan:“Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan mengumpulkan
hasilnya, tetapi pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya dan
meninggalkannya begitu saja, supaya orang miskin di antara bangsamu dapat
makan, dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang
hutan. Demikian juga kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu” (Kel 23:10-11)
“Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu
habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan
dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua
kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi
semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah
YHWH Tuhanmu” (Im
19:9-10).
Komunisme tidak akan lahir jika orang Kristen
memberlakukan ketentuan dan perintah Torah terkait orang-orang miskin.
Seandainya Karl Marx membaca perintah Torah tersebut, maka dia tidak perlu
membuat teori Pertentangan Kelas antara Borjuis dan Proletar dan tidak perlu
membuat teori Revolusi Sosial mendirikan pemerintahan Diktator Proletariat
setelah merebutnya dari kaum Borjuis. Torah tidak membenturkan antara kaya dan
miskin. Torah memerintahkan keseimbangan dan kesadaran orang-orang kaya untuk
menolong orang-orang miskin dan memberikan apa yang menjadi hak mereka. Kita
tentunya pernah mendengar kalimat yang begitu populer dari Karl Marx bahwa
“agama adalah candu rakyat”. DR. J. Verkuyl memberikan gambaran yang lebih
lengkap sbb: “Pemandangan Marx terhadap
agama dapat kita ketahui sebaik-baiknya dari bukunya: ‘Die Heilige Famile’ dan
dari sebuah karangannya dalam Deutsch Franzosische Jahrbucher. Katanya:
‘Manusia, negara dan masyarakat itulah yang menghasilkan agama. Agama adalah
teori umum dari dunia, tempat manusia itu hidup. Jadi melawan agama adalah
melawan dunia itu secara tidak langsung. Kekacauan dalam agama adalah lukisan
kekacauan yang sebenarnya dan sementara itu suatu sanggahan pula atas kekacauan
itu. Agama adalah keluh kesah mahluk yang ditimpa sengsara, adalah perasaan
dunia yang tidak mengenal belas kasihan dan adalah jiwa keadaan yang tidak
berjiwa lagi. Agama adalah racun candu bagi rakyat. Supaya rakyat itu
sungguh-sungguh berbahagia, hendaklah agama dihapuskan, karena ia hanya bahagia
semu saja”[1] Pandangan sinis Karl Marx lebih dikarekan agama dan para pejabat
gereja kerap membela kepentingan-kepentingan orang kaya yaitu kaum kapitalis
dan berdiam diri terhadap ketimpangan sosial di dalam struktur kelas. Agama dan
para pejabat gereja hanya berbicara mengenai surga yang jauh di sana dan tidak
memberikan jawaban terhadap berbagai penderitaan orang-orang miskin akibat
penindasan orang-orang kaya dan hanya mengajak orang-orang menghibur diri
mereka tentang upah bagi orang-orang yang teraniaya di sorga kelak.
Pelayanan Yesus tidak pernah bertentangan dengan
Torah. Yesus selaras dengan Torah karena Yesus pernah bersabda, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang
untuk meniadakan Torah atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik
pun tidak akan ditiadakan dari Torah, sebelum semuanya terjadi. Karena itu
siapa yang meniadakan salah satu perintah Torah sekalipun yang paling kecil,
dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang
paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan
mengajarkan segala perintah-perintah Torah, ia akan menduduki tempat yang
tinggi di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:17-19). Pelayanan Yesus yang
ditujukan kepada mereka yang miskin, papa, berkekurangan, terpinggirkan,
terampas hak-haknya.
Bagaimana dengan rasul-rasul Yesus Sang Mesias?
Merekapun meneladan dan meneruskan apa yang telah dikerjakan Sang Guru. Rasul
Paul menuliskan, “Tetapi sekarang aku
sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan kepada
orang-orang kudus. Sebab Makedonia dan Akhaya telah mengambil keputusan untuk
menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di
Yerusalem”(Rm 15:25-26). Dalam suratnya yang lain, Rasul Paul menuliskan, “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang
miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya” (Gal
2:10).
Rasul Yakobus menuliskan agar jemaat Mesias
menjauhkan diri dari sikap membeda-bedakan status dan kelas sosial seseorang
dengan menuliskan sbb, “Saudara-saudaraku,
sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Junjungan Agung kita yang
mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada
seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah
dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu
menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya:
"Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang
yang miskin itu kamu berkata: "Berdirilah di sana!" atau:
"Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!", bukankah kamu telah
membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran
yang jahat?” (Yak 2:1-4).
Apakah keberpihakkan dan perlakuan terhadap orang
yang jatuh miskin dan orang yang mewarisi kemiskinan dari keluarganya
sebagaimana diperintahkan dalam Torah, ajaran Yesus dan rasul-rasulnya
merupakan bentuk pembiaran dan dukungan terhadap permanenisasi kemiskinan dan
menghalangi seseorang untuk keluar dari kemiskinan? Tidak! Torah menjanjikan
bagi barangsiapa yang mendengar dan melakukan sabda Tuhan akan mendapatkan
ganjaran berkat termasuk berkat finansial dan kekayaan (Ul 28:1-14). Namun
mereka yang telah diberkati dengan kekayaan tidak boleh melupakan perbuatan
Tuhan dan diperintahkan untuk menyucikan hartanya dengan membagi terhadap
mereka yang membutuhkan (Ul 15:6-11).
Setiap karya dan pelayanan yang ditujukan terhadap
orang-orang miskin, papa, terpinggirkan, baik secara individual maupun komunal,
bukan sekedar memanjakan dan memperlakukan mereka sebagai orang yang tidak
berbuat apa-apa secara permanen. Lebih dari itu, setiap karya dan pelayanan
yang ditujukan kepada golongan-golongan yang dikategorikan miskin adalah untuk
membebaskan mereka dari kemiskinan baik kemiskinan fisik maupun kemiskinan
mental. Dengan
menolong dan berbagi, kita bukan menanamkan kemalasan. Sebaliknya kita
memperlakukan mereka sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Oleh
karenanya, tidak cukup hanya menolong dan memberikan apa yang mereka butuhkan,
namun juga mentransferkan pemikiran dan ajaran Yesus Sang Mesias yang
memerdekakan dan membebaskan (Yoh 8:32). Kita bisa terlibat menanamkan
kejujuran, kerja keras, ketekunan, kesungguhan, kesalehan sekalipun status
sosial mereka miskin. Dan kita harus mendorong bahwa orang miskin bisa keluar
dari kemiskinan jika dia mau bekerja keras dan melibatkan Tuhan untuk mengubah
nasibnya.
Anatomi Kemiskinan: Perspektif Sosiologis
Revrisond Baswier dalam
bukunya, Pembangunan
Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menjelaskan
kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu Kemiskinan
Natural,
Kemiskinan
Kultural
serta Kemiskinan
Struktural.
Menurutnya, “Kemiskinan natural adalah
keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi
sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebakan terjadinya
proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan
sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia
seperti kebijakkan perekonomian yang
tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan
kolusi serta tatanan perekonomian international ayng lebih menguntungkan negara
tertentu”[2]
Ambil contoh kemiskinan yang terjadi di Papua. Apakah
kemiskinan yang terjadi semata-mata disebabkan lemahnya sumber daya manusia
atau proses pelemahan sumber daya manusia melalui proses kemiskinan struktural
yang disebabkan sejumlah kebijakkan yang tidak berkontribusi terhadap
peningkatan pendapatan dan mobilitas sosial vertikal orang papua? Berkaitan dengan keberadaan PT. Freeport,di Papua menarik membaca
minusnya kontribusi Freeport untuk kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana
dikatakan: “Sudah
hampir setengah abad Freeport mengeruk kekayaan alam kita, terutama di Papua.
Selama itu pula mereka mengeruk jutaan ton tembaga dan ratusan juta ton emas.
Menurut catatan Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di
Papua per hari mencapai Rp 114 miliar. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa
mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau Rp 3,534 triliun. Namun,
di balik keuntungan yang spektakuler itu, rakyat Indonesia justru tidak
mendapat manfaat apapun. Rakyat kita di Papua sana, yang notabene berada di
sekitar pertambangan Freeport, juga tidak mendapat efek keuntungan yang menetes.
Sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan. Indeks keparahan
kemiskinan tetap melekat pada rakyat Papua. Cerita tentang kelaparan juga tak
henti-hentinya berhembus di Papua.Ironisnya, bukannya merasakan efek keuntung an yang menetes, rakyat Papua
justru merasakan efek politik dan sosial akibat nafsu serakah Freeport untuk
mengamankan dan melanggengkan eksploitasinya di bumi Papua. Praktek kekerasan
dan pelanggaran HAM sangat massif dilakukan oleh militer Indonesia, yang
notabene jadi pasukan pengawal Freeport, di tanah Papua. Tak hanya itu, rakyat
Papua juga merasak dampak kerusakan ekologis yang sifatnya jangka-panjang. Kontribusi Freeport untuk
penerimaan negara juga nyaris tidak ada. Pemerintah Indonesia hanya menerima
royalti emas 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5-3,5%. Sudah begitu, Freeport
juga sering membandel untuk membayar dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal,
pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport
mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar”[3]. Pernyataan
senada dikatakan Hendri F. Isnaeni “Meskipun
Freeport telah menjadi penyumbang utama bagi kemakmuran Indonesia – menyediakan
sekitar $ 33 miliar dalam laba langsung dan tidak langsung selama periode
1992-2004 – dampaknya tidak sepositif itu pada tingkat lokal. Laba langsung
kepada Indonesia berjumlah total $ 2,6 juta dari 1992 sampai 2004. Freeport
melaporkan bahwa mereka membayar Indonesia lebih dari $ 1 Miliar dalam pajak,
royalti dan dividen pada tahun 2005”[4]
Kembali kepada pembicaraan awal perihal kemiskinan
yang oleh beberapa pengkotbah Kristen denominasi tertentu kerap disalahpahami
sebagai buah kutuk dan disetarakan dengan penyakit sehingga dapat dengan mudah
dalam sekejap menjadi sembuh dan tidak miskin. Pemahaman demikian bukan saja
tidak biblikal bahkan mengabaikan faktor-faktor sosial eksternal berupa
kebijakkan-kebijakkan baik dari kalangan penguasa (pemerintah pusat maupun
lokal) maupun pengusaha dalam berkolaborali memenangkan sebuah perijinan untuk
dibukanya sebuah proyek dan usaha baru yang bisa jadi menimbulkan kemiskinan
pada kelompok masyarakat tertentu yang disebut kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural ini tidak bisa dilawan dan diubah melalui doa-doa semacam
mengusir roh-roh jahat atau doa-doa kesembuhan dari sakit penyakit. Kemiskinan
struktural ini harus dianalisis dan dilawan dengan berbagai strategi yang
mengombinasikan pendekatan agama dan pendekatan ilmu sosial kritis sebagai
dalil epistemologis dan dalil praksis.
Ironisnya beberapa pengusaha atau penguasa (tidak
semua) tertentu yang telah menimbulkan kemiskinan struktural terkadang justru
menjadi anggota jemaat gereja yang mengotbahkan bahwa kemiskinan adalah setara
penyakit dan kutuk, tanpa pengkotbah dan penguasa serta pengusaha tersebut
mengetahui bahwa akar penyebab kemiskinan yang dialami kelompok masyarakat
tertentu yang disetarakan dengan orang-orang sakit dan terkena kutuk justru
disebabkan oleh kebijakkan-kebijakkan yang mereka putuskan. Berita baiknya,
tidak semua pengusaha Kristen melakukan tindakan paradok sebagaimana di katakan
di atas. Dalam acara Doa Akbar Sedunia (World Prayer
Assembly/WPA) yang
diselenggarakan di Jakarta, sejak 14 Mei 2012 lalu, sejumlah ekonom dunia dari
kelompok Kristen Protestan menentang keserakahan kapitalisme. Pengusaha
diminta lebih berpihak kepada orang miskin demi mewujudkan dunia yang lebih
baik[5].
Jika demikian yang terjadi, maka masih pantaskah para
pengkotbah kebaktian kebanggunan rohani serta para penginjil televisi
mengotbahkan Injil yang lain yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah setara
penyakit dan kutuk yang akan musnah sekejap hanya melalui doa-doa tanpa sebuah
upaya melakukan operasi dan anatomi sebuah kemiskinan yang dialami seseorang?
[1] DR, J.
Verkuyl, Komunisme, Kapitalisme dan Injil
Kristus, BPK 1951, hal 26
[2] Teguh
Hindarto, Kemiskinan Struktural Sebagai
Masalah Sosial di Era Globalisasi
https://www.academia.edu/9699938/KEMISKINAN_STRUKTURAL_SEBAGAI_MASALAH_SOSIAL_DI_ERA_GLOBALISASI
[3] Ambil Alih Freeport Untuk
Memulihkan Kedaulatan Bangsa
[4] Op.Cit., Indonesia, Wilieaks & Julian Asange,
hal 135
[5] Pelaku Ekonomi Indonesia Diminta Tak Serakah Jalani Kapitalisme
http://www.beritasatu.com/makro/49437-pelaku-ekonomi-indonesia-diminta-tak-serakah-jalani-kapitalisme.html
No comments:
Post a Comment