Meditasi dan Refleksi Desember 2017
Kita telah sampai di penghujung tahun 2017 dan besok kita akan memasuki tahun 2018. Waktu demi waktu telah kita lewati. Hari demi hari telah kita lalui. Bulan demi bulan telah kita masuki. Setiap tahun yang lama akan berakhir dan tahun baru akan hadir kita selalu diingatkan akan satu kata yaitu “waktu”.
Pengkotbah 3:1 mengatakan perihal masa dan waktu sbb, לכל זמן ועת לכל־חפץ תחת השׁמים - Lakol zeman weeth lekol khefets takhat hashamayim (Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya). Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa setiap peristiwa yang terjadi memiliki siklus (perputaran) yang tetap. Oleh karenanya dilanjutkan, עת ללדת ועת למות עת לטעת ועת לעקור נטוע – ‘et leledet we’et lamut ‘et la ta’at, we’et la’aqur natua’a (Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam (Pengkht 3:2) dst.
Kearifan Jawa mengistilahkan “urip koyo cakra manggilingan” (hidup seperti perputaran roda).
Jika kita telah sampai pada pemahaman dan kesadaran bahwa hidup itu bersifat
siklus, maka tiada perlu mengharap memiliki segala sesuatu yang abadi selama
tinggal di dunia ini, baik itu keluarga maupun benda-benda karena semua akan
lenyap namun suatu saat akan datang.
Setiap peristiwa bukan hanya memiliki siklus namun tujuan sebagaimana dikatakan, את־הכל
עשׂה יפה בעתו גם את־העלם נתן בלבם - et
hakkol asyah yafe be’itto, gam et ha’olam natan belibam (Ia membuat segala sesuatu indah pada
waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka..., Pengk 3:11).
Jika kita sudah sampai pada pemahaman bahwa perputaran waktu bertujuan
memberikan kebaikkan pada waktunya maka berserahlah pada-Nya saat kita menemui
kebuntuan dalam hidup karena kita berharap bahwa waktu pertolongannya tepat
diberikan pada kita.
Sayangnya, tujuan Tuhan dari siklus waktu yang telah
ditetapkannya ini tidak dipahami dengan baik oleh umat manusia sebagaimana
dikatakan, מבלי אשׁר לא־ימצא האדם את־המעשׂה אשׁר־עשׂה
האלהים מראשׁ ועד־סוף – Mibeli asyer lo yimsta haadam et hamaasye
asher asya ha Elohim (Tetapi manusia
tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Tuhan dari awal sampai akhir, Pengkh
3:11). Frasa Ibrani “lo
yimtsa” (tidak menemukan) mengindikasikan kelemahan mendasar umat manusia
pada umumnya. Manusia terlalu larut dan menyibukkan dirinya dalam rutinitas dan
aktifitas sehingga tidak bisa membuat jarak dengan kehidupan yang dijalaninya
sehingga gagal memahami waktu yang memiliki siklus dan tujuan.
Marilah kita lebih berusaha lagi memahami Waktu Tuhan
agar dapat menghitung moment keindahan saat Tuhan menyatakan kebaikkannya dalam
hidup kita dan tidak larut dalam anonimitas (dalam perspektif Filsafat
Eksistensialisme dan Fenomenologi, istilah “anonimitas” bukan sekedar “ketidakbernamaan”
melainkan menggambarkan cara berada manusia yang tidak otentik dan tidak
memiliki kedirian sehingga larut dan ditentukkan kehidupannya oleh orang lain
dan lingkungan semata. Dalam bahasa Heideger disebut das Man dan dalam bahasa Soren Kierkegaard disebut Inauthentic Existence) dan kolektifitas
yang meniadakan identitas dan kesadaran kita akan Tuhan Sang Pemilik Waktu.
Menjadi mahluk yang religius bukan sekedar memperlihatkan gesture dan percakapan yang mencerminkan kesalehan formal baik di
dalam interaksi sosial maupun interaksi melalui media sosial, melainkan mampu
menjaga jarak dengan realitas kehidupan sehari-hari dan menghayati serta
melakukan refleksi terhadap berbagai peristiwa yang lalu lalang dalam kehidupan
keseharian dan menemukan pesan-pesan keilahian dibalik semua peristiwa yang
bertabrakkan dengan eksistensi kedirian kita.
Selamat Menutup Tahun 2017 dan meninggalkan jejak-jejak kebaikkan yang memberikan manfaat bagi kemanusiaan sebagai wujud memuliakan Tuhan.
Selamat Menutup Tahun 2017 dan meninggalkan jejak-jejak kebaikkan yang memberikan manfaat bagi kemanusiaan sebagai wujud memuliakan Tuhan.
No comments:
Post a Comment