Dalam kolom Opini-nya,
Majalah Tempo membuka dengan pernyataan,
“Annus horribilis. Ini tahun yang mengerikan dalam hal penyebaran kabar sesat.
Pemerintah perlu sunguh-sungguh menanggapi hal itu karena daya rusak kabar
palsu ini semakin merisaukan. Prasangka, hasutan, kebencian, ketidakpercayaan,
meluas masuk ke ruang-ruang privat. Informasi sesat berseliweran di berbagai
media sosial” (Tempo, 2-8 Januari
2007, hal 25).
Mengapa kita menyukai hoax atau kabar bohong? Riset yang
dilakukan oleh Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts
menunjukkan bahwa kebohongan memiliki keterkaitan dengan kepercayaan diri. Saat
kepercayaan diri kita terancam seseorang akan dengan mudah berbohong. Riset
Feldman ini dimuat dalam Journal of Basic
and Applied Psychology.
Setidaknya 60% dari orang yang diriset oleh
Feldman ini berbohong dalam setiap perbincangan yang dilakukan. Hal serupa juga
terjadi pada internet, kita kerap menambahi kabar yang belum pasti dengan
kebohongan sehingga menghasilkan hoax berantai. Feldman menyebut orang kerap
berbohong secara refleks ketika berbicara, mirip dengan perilaku membual.
Kebohongan, menurut Feldman, lahir karena banyak orang yang ingin diterima dan
membuat orang lain terkesima pada diri kita. Kita membuat dan menyebar
kebohongan agar diterima dan membuat orang lain menjadi suka.
Sayangnya
penelitian Feldman ini hanya terbatas pada 121 pasangan responden dan tak bisa
menjadi representasi populasi masyarakat saat ini. Namun kolumnis The Daily Dot, Cabell Gathman punya
pendapat lain kenapa di era media sosial kita gemar menyebarkan kebohongan. Menurut
Cabell, saat ini banyak orang di media sosial tak lagi membaca konten yang
mereka bagikan. Orang-orang di media sosial kerap hanya membaca judul yang
mereka pikir benar.
David Gibson, profesor sosiologi dari University of Notre
Dame, menyebut bahwa kabar bohong dibuat dalam satu jaringan sosial untuk
menjaga kepentingan. Kadang secara sadar seseorang menyebarkan kebohongan untuk
membantu agenda yang dibuat (https://tirto.id/mengapa-kita-suka-hoax-bFhl).
Masih segar dalam ingatan bagaimana Divisi Siber Bareskrim Mabes Polri menangkap tiga tersangka penyebaran ujaran kebencian yang masuk dalam sindikat bernama Saracen. Kasubag Satgas Patroli Siber Bareskrim AKBP Susatyo Purnomo mengatakan, berdasarkan temuan proposal penawaran pembuatan konten ujaran kebencian Saracen dimulai dari Rp75 juta sampai dengan Rp100 juta. Sindikat ini cukup cerdas untuk melihat suatu tren media, tidak hanya mengerjakan ujaran kebencian lewat berita-berita hoax alias bohong, tapi mereka juga menggunakan meme untuk menyebarluaskannya. Kadang sajiannya juga berupa fakta yang dikemas dengan ditambahkan unsur SARA. Postingan yang mereka buat dan mengandung ujaran kebencian kemudian disebarkan melalui 800 ribu komplotannya. Hal ini dilakukan demi memviralkan ujaran tersebut sehingga bisa mempengaruhi masyarakat (Saracen Terima Order Ujaran Kebencian Hingga Rp100 Juta, https://tirto.id/saracen-terima-order-ujaran-kebencian-hingga-rp100-juta-cvdo).
Jika dahulu orang menyebar dusta dan fitnah dengan
berjalan ke sana kemari (Im 19:16) maka saat ini cukup melalui jaringan media
sosial internet. Berita bohong alias hoax menjadi komoditas (bernilai jual) dan menghasilkan keuntungan ratusan juta rupiah bagi sejumlah orang.
Tuhan YHWH telah bersabda, לא־תלך רכיל בעמיך (lo telek raqil beameka - Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu, Im 19:16). Dikatakan pula, (lo tisha shem'a saw - לא תשׂא שׁמע שׁוא (lo tisha shem'a saw - "Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong, Kel 23:1). Janganlah orang benar membenci dusta (Ams 13:5) karena tidak ada dusta
berasal dari kebenaran (1 Yoh 2:21). Marilah kita melakukan sebagaimana apa yang diperintahkan rasul-rasul Mesias, "Buanglah dusta dan berkatalah benar dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota" (Ef
4:25).
No comments:
Post a Comment