Sebelumnya, para imam dilarang menawarkan berkat dalam
pernikahan sejenis. Mereka menghadapi tindakan disipliner jika mereka tidak
taat. Ini semua telah berubah berkat sesuatu yang disebut “Motion 29”, yaitu
sebuah resolusi yang mengakui “Ajaran Gereja
tentang sifat perkawinan (yang) adalah untuk menegaskan perkawinan seperti
antara seorang pria dan seorang wanita”; tetapi memungkinkan para imam
untuk menawarkan “layanan non-formularium”.
Bereaksi terhadap resolusi tersebut,
Sekretaris Jenderal Persekutuan Anglikan, Dr. Josiah Idowu-Fearon, mengatakan,
“Telah ada proses doa yang panjang di
provinsi ini untuk mencapai titik ini dengan keyakinan yang dipegang teguh di
kedua sisi perdebatan. Saya berharap dan percaya bahwa resolusi ini mengakui
bahwa perbedaan tanpa pembagian itu mungkin”.
Menurut Premier, Sinode Gereja Anglikan Aotearoa, Selandia Baru, dan
Polinesia memberikan suara bagi para imam untuk diizinkan memberkati pernikahan
sipil gay atau serikat sipil selama tidak dilakukan di gereja. Sikap oposisi
terhadap sikap baru Anglikan tentang pernikahan gay diperlihatkan oleh Vikaris St. Stephen's Shirley di Christchurch, yaitu
Jay Behan. Dia adalah salah satu orang
yang tidak senang dengan resolusi baru ini, menurut Christian Today. Dia mengatakan dia tidak bisa “hidup dengan itu”.
Vikaris itu menambahkan bahwa, “Masalah
ini tidak pernah terjadi untuk kaum konservatif, tentang kefanatikan, atau
tentang pengecualian, atau tentang kebencian. Ini perbedaan pendapat tentang
bagaimana Anda mencintai”. Demikian juga, Anglican News melaporkan Diocese dari Polynesia, yang mencakup
Samoa, Tonga, dan Fiji, juga menentang resolusi baru ini.
Namun, keuskupan
telah mengeluarkan sebuah gerakan terpisah yang mengatakan bahwa itu tidak akan
menjadi. Sementara itu, dua gereja persekutuan besar Anglikan, Gereja Episkopal
yang berbasis di AS dan Gereja Episkopal Skotlandia, sekarang menawarkan pemberkatan
bagi pasangan sesama jenis selain mengubah definisi pernikahan mereka untuk
menyertakan pasangan gay.
Terlepas kita harus melindungi hak-hak sipil
orang-orang terkategori LGBT yang semakin melakukan pengarusutamaan gaya hidup
mereka, namun kerap mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat yang tidak menyetujui dengan melakukan persekusi, tidak berarti kita harus merubah ketetapan Ilahi bahwa hanya melalui seorang lelaki bernama Adam dan seorang wanita bernama Hawa lahirlah peradaban manusia.
Pandangan Kristiani tidak berubah bahwa pernikahan sesama jenis adalah
perbuatan berdosa sebagaimana Rasul Paul mengontraskan antara phusiken
chresin (persetubuhan wajar) dengan phusiken
phusin (persetubuhan tidak wajar) dalam suratnya kepada jemaat Roma sbb, "Karena itu Tuhan menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka. Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Tuhan, maka Tuhan menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas" (Rm 1:26-28).
No comments:
Post a Comment