Jika kita membaca narasi
Matius 23:1-39, sebanyak delapan kali Yesus mengatakan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” (Mat
23:13-16, 23,25,27,29). Mengapa Yeshua mengecam demikian? Apakah Yesus sedang
memposisikan bahwa diri-Nya hendak meniadakan Torah? Apakah Yesus hendak
mengatakan bahwa Torah adalah sebuah kuk perhambaan yang bertentangan dengan
diri-Nya?
Jika kita memiliki pemahaman demikian, maka kita berada dalam
kekeliruan yang fatal. Yesus adalah seorang Rabi (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2). Ketika seseorang disebut
Rabi atau Rabuni, dalam kultur Yahudi dan konteks agama Yudaisme, maka dia
adalah pengajar Torah bukan pengajar secara umum. Yesus adalah seorang Rabi
(Yohanes 13:13) dan pengajar Torah (Matius 5:17-20) serta pelaku Torah (Matius
5:48).
Maka tidak mungkin pernyataan
Yesus terhadap orang Farisi dan Ahli Torah dimaksudkan sebagai sebuah
perlawanan terhadap Torah sementara beliau sendiri mengajarkan Torah. Yang
terjadi adalah Yesus mengecam kemunafikan dan pengabaian
nilai yang utama dari Torah sebagaimana dikatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan
kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu:
keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang
lain jangan diabaikan” (Mat 23:23).
Benarkah orang Farisi dan Saduki serta Soferim (Ahli Taurat) adalah orang-orang munafik? Pertama, Farisi, Saduki, Soferim hanyalah nama mazhab dalam Yudaisme. Ada banyak mazhab dalam agama Yudaisme dan Farisi, Saduki hanyalah salah satu mazhab. Sekalipun terlihat ketat dan kaku dalam menjalankan aturan agama dan peribadatannya, ternyata dalam literatur kelompok Esseni yang hidup di era sebelum Masehi dan naskah-naskahnya ditemukan dalam bentuk gulungan papirus dan perkamen di gua Qumran di Laut Mati (dikenal dengan istilah Dead Sea Scroll of Qumran), justru orang-orang Farisi dituding sebagai, doreshe halakhot alias orang yang menjalani kehidupan agama yang lebih mudah dan kurang ketat dibandingkan komunitas di Qumran, sebagaimana disitir oleh Geza Vermes dalam The Complete of Dead Sea Scroll in English (2004) saat mengulas naskah 4Q169.
Bahkan Rabi Eleazar seorang Farisi pun menentang bentuk-bentuk kemunafikkan sebagaimana dikatakan, “dimanapun kemunafikan dapat ditemukan, akan menurunkan amarah Tuhan pada dunia” (b.Sotah 41b). Yesus tetap merintahkan untuk mengikuti ajaran orang Farisi namun jangan mengikuti perbuatan mereka yang munafik (Mat 23:2). Bahkan Rasul Paul yang menjadi rasul bagi orang non Yahudi pun seorang Farisi yang ketat (Fil 3:5).
Melaksanakan syariat
yang diperintahkan Tuhan dalam Torah harus berbanding lurus dengan perintah
yang lain yaitu menegakkan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Itulah
sebabnya dikatakan, “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan’. Sabda ini menggemakan kembali kecaman Amos terhadap
ibadah Israel yang tidak berbanding lurus dengan kehidupan keseharian.
Kesalehan individual seharusnya berdampak pada kesalehan sosial yang salah
satunya adalah keadilan, kesetiaan, belas kasihan (Am 5:21-24).
Fokus kecaman
Yesus adalah kemunafikkan. Kemunafikkan ada di setiap penganut agama bahkan
mazhab-mazhab dalam sebuah agama sebagaimana dikatakan Brad. H. Young, “Hypocrisy is a problem for all religious
faith communities” (Meet the Rabbis: Rabbinic Thought and the
Teaching of Jesus, 2007:8). Beberapa orang Farisi dan Saduki
memperlihatkan kemunafikan dibalik kesalehannya agar kita mewaspadai dan
membuang kemunafikan.
Shalom pak Teguh. Boleh saya minta bapak membahas topik tentang perumpamaan perumpamaan Yesus?
ReplyDelete