Jika kita membaca tokoh-tokoh dalam Kitab Suci – mulai dari raja, nabi, negarawan, hakim, petani dll – sebutlah Abraham, Musa, Daud, Salomo, Yehezkiel, Daniel, Samson dan masih banyak lagi, kita bukan hanya memperoleh kisah-kisah heroik dan dramatik di mana Tuhan memakai hamba-hamba-Nya untuk mempengaruhi nasib dan sejarah sebuah kota dan bangsa Israel khususnya. Namun dibalik itu kita mendapati banyak kisah bagaimana tokoh-tokoh tersebut adalah manusia seperti kita yang terkadang diliputi kekecewaan dan kemarahan, keraguan dan kekuatiran bahkan ketidakpercayaan diri.
Kita tentu masih ingat kemarahan
Musa saat mendapati dirinya turun dari Gunung Sinai mendapati bangsa Israel
malah terjatuh dalam penyembahan berhala sebagaimana dikatakan, Dan ketika ia dekat ke perkemahan itu dan
melihat anak lembu dan melihat orang menari-nari, maka bangkitlah amarah Musa;
dilemparkannyalah kedua loh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki
gunung itu (Kel 32:19)
Kita tentu masih ingat dengan kejatuhan
Daud dalam pelanggaran moral dengan mengambil istri Uria, hambanya menjadi
istrinya sebagaimana dikatakan, Sekali
peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya,
lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu
seorang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya. Lalu Daud menyuruh orang bertanya tentang
perempuan itu dan orang berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri
Uria orang Het itu." Sesudah itu
Daud menyuruh orang mengambil dia.
Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengan dia (2 Sam 2:2-4)
Bukankah Nabi Elia yang diberikan
kepercayaan mukjizat yang luar biasa toch pernah mengalami kepanikan dan
ketakutan sehingga harus menghindari hukuman istri Raja Ahab yaitu Izebel
sebagaimana dikatakan, Maka takutlah ia,
lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba,
yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana. Tetapi ia
sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah
sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya:”Cukuplah itu! Sekarang, ya
YHWH, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek
moyangku.” (1 Raja-Raja 19:3-4)
Bahkan Musa nabi besar yang
memimpin Israel dari tanah perbudakan melintasi laut Teberau yang terbelah
sebelumnya sempat meragukan kemampuan dirinya saat hendak diutus Tuhan YHWH
dengan berkata, Bukankah aku ini seorang
yang tidak petah lidahnya, bagaimanakah mungkin Firaun akan mendengarkan aku?
(Kel 6:30)
Demikian pula tokoh Kitab Suci
kita kali ini yaitu Gideon sebagai salah satu hakim Israel. Istilah hakim dalam
kitab ini bukan menunjuk orang yang mengambil keputusan hukum melainkan
orang-orang yang memimpin bangsa Israel di suatu masa saat belum memiliki
seorang raja.
Kitab Hakim-Hakim menjadi mata
rantai utama sejarah di antara zaman Yosua dengan zaman raja-raja Israel.
Periode para hakim mulai dari sekitar tahun 1375 sampai 1050 sM, ketika Israel
masih merupakan perserikatan suku-suku. Kitab ini memperoleh namanya dari
berbagai tokoh yang secara berkala dibangkitkan Tuhan untuk memimpin dan
membebaskan orang Israel setelah mereka mundur dan ditindas oleh bangsa-bangsa
tetangga. Para hakim (berjumlah 13 dalam kitab ini) datang dari berbagai suku
dan berfungsi sebagai panglima perang dan pemimpin masyarakat; banyak yang
pengaruhnya terbatas pada sukunya sendiri, sedangkan beberapa orang memimpin
seluruh bangsa Israel. Samuel, yang pada umumnya dipandang sebagai hakim
terakhir dan nabi yang pertama tidak termasuk dalam kitab ini.
Dibalik kisah kehebatan Gideon
yang diutus Tuhan YHWH mengalahkan bangsa Midian hanya dengan 300 pasukan (Hak
7:5-6) ternyata Gideonpun adalah orang yang sempat memiliki keraguan akan
kemampuan dirinya. Ketika Gideon dipilih Tuhan YHWH untuk membebaskan bangsa
Israel dari kekuasaan bangsa Midian dan malaikat YHWH menjumpainya untuk
memberitakan perutusannya, apa jawab Gideon? Tetapi jawabnya kepada-Nya: "Ah Tuhanku, dengan apakah akan
kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di
antara suku Manasye dan akupun seorang yang paling muda di antara kaum
keluargaku (Hak 6:15).
Ya, Gideon mengatakan bahwa
kaumnya “paling kecil” (הדל - hadal) dan
dirinya “paling muda” ( הצעיר - hatsair)
sehingga Gideon meragukan kemampuannya untuk menjadi seseorang yang akan
mengubah sejarah bangsanya. Dan apa jawab Tuhan YHWH melalui Malak YHWH yang
diutusnya? ויאמר אליו יהוה כי אהיה עמך והכית את־מדין כאישׁ אחד - Wayomer elaiw YHWH ki Ekhyeh
imak hikita et Midyan keish ekhad - Berfirmanlah
YHWH kepadanya: "Tetapi Akulah yang menyertai engkau, sebab itu engkau
akan memukul kalah orang Midian itu sampai habis.” (Hakim-hakim 6:15-16).
Terjemahan literalnya seharusnya Berfirmanlah
YHWH kepadanya: "Tetapi Aku Ada menyertai engkau, sebab itu engkau akan
memukul kalah orang Midian hingga hanya menjadi satu orang.
Menarik, Tuhan YHWH menggunakan kata ganti אהיה - Ehyeh (Aku Ada) sebagaimana Dia saat menemui Musa dalam bentuk api di semak dan mengutus Musa (Kel 3:13-15). Kata Ehyeh merupakan bentuk kata kerja dari akar kata hayah yang maknanya menjadi, hadir, bertindak. Tuhan yang mengutus Gideon bukan patung Baal sebagaimana yang disembah ayahnya namun Tuhan yang hidup dan bertindak dalam sejarah. Tuhan yang berkarya aktif dalam kehidupan umat-Nya yang setia kepada-Nya.
Setelah Gideon meminta sejumlah
tanda untuk mengonfirmasi bahwa dirinya benar-benar diutus Tuhan YHWH yaitu
dengan melihat roti yang dibuatnya disambar api hingga habis dan rumput yang
berembun serta guntingan bulu domba yang berembun (Hak 6:21,36-40) maka kisah
selanjutnya kita mengetahuinya bersama bahwa Gideon dengan gagah perkasa
memimpin pasukannya yang berjumlah 300 orang mengalahkan pasukan Midian (Hak
7:1-25)
Apa yang dapat kita pelajari dari
kisah Gideon bagi kita? Banyak diantara kita yang kerap disandera oleh
ketidakpercayaan diri karena kita bukan orang kaya, bukan orang berpengaruh,
bukan orang berpendidikan tinggi, bukan berasal dari keluarga terpandang
sehingga kita terus menerus mengatakan kepada diri kita bahwa kita hanya harus
menerima nasib sebagaimana yang kita terima hari ini?
Sebagai orang beriman kita harus
menempatkan Tuhan sebagai variabel utama yang menentukan arah hidup dan
kebehasilan masa depan kita selain kemampuan diri serta pengetahuan yang kita
peroleh. Tanpa penyertaan Tuhan maka tidak ada keajaiban ditengah kesulitan dan
penderitaan. Bersama Tuhan maka segala keterbatasan kita akan diubah menjadi
ketidakterbatasan.
Kita bisa mengubah arah hidup
kita yang gelap, kita bisa mengubah nasib buruk, kita bisa keluar dari
kemiskinan, kita bisa menjadi orang yang berguna bagi banyak orang lain jika
ada penyertaan Tuhan dalam setiap upaya dan jerih payah kita.
Supaya penyertaan Tuhan efektif
dan terjadi dalam hidup kita yang diperlukan adalah menjauhkan apa yang jahat
di mata Tuhan dan bekerjasama senantiasa dengan Tuhan. Kita melakukan apa yang
menjadi bagian kita dan Tuhan melakukan apa yang menjadi bagian-Nya. Roma 8:28
berkata, Kita tahu sekarang, bahwa Tuhan
turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Tuhan.
Kata Yunani συνεργει - sunergei artinya bekerja
bersama-sama. Dari kata Yunani ini berawal kata Inggris sinergy yang biasa kita dengar dalam bahasa Indonesia sinergi yang
artinya bekerja sama.
Marilah kita menyongsong dan
memasuki tahun 2022 yang beberapa jam lagi akan kita alami dengan sebuah
keyakinan bahwa sebagaimana Tuhan YHWH, Bapa Surgawi di dalam Yesus Sang
Putra dan Juruslamat kita menyertai kita di tahun 2021 maka penyertaannya akan
kita alami di tahun 2022. Agar kita mengalami penyertaan-Nya dan dimampukan
melakukan perubahan kehidupan yang lebih baik dari hari kemarin, hendaklah kita
menjauhkan apa yang jahat di mata Tuhan dan tetaplah bekerjasama bersama Tuhan,
Amen.
No comments:
Post a Comment