Midrash Shabat, 1 Petrus 1:1-25
Nats 1 Petrus 1:15
MAKNA KEKUDUSAN
Berbicara mengenai kekudusan bagi segolongan orang dianggap sebagai sebuah pola hidup yang steril dan ekslusif, baik dalam pergaulan dan hal-hal yang berkaitan dunia sekelilingnya. Ada yang mengartikan kekudusan dengan tidak boleh menggunakan assesoris dan bersolek, ada yang mengartikan kekudusan dengan tidak boleh menonton tayangan ini dan itu. Sementara dilain pihak ada yang mengartikan kekudusan sebagai sebuah konsep ideal yang mustahil untuk dipenuhi oleh manusia yang berdosa. Bagi orang-orang yang ada di wilayah pemikiran sedemikian, mereka mengartikan kekudusan hanyalah sesuatu yang bisa dikerjakan olehYesus Sang Mesias belaka.
Kedua pandangan mengenai kekudusan di atas, mewakili pemahaman ekstrim yang terjadi dalam Kekristenan. Apakah kedua pandangan tersebut firmaniah? Kita akan menyelidiki terlebih dahulu kata “kudus” yang berasal dari bahasa Ibrani “Qadosh” dari akar kata “Qadash” yang artinya “dipisahkan” atau “disendirikan” atau “dikhususkan”.
Dalam Kitab Suci kata “Qadash” muncul dibeberapa tempat dalam pengertian sbb:
Keadaan yang kudus karena penyucian imam Lewi (Qadash)
“Haruslah kauambil sedikit dari darah yang ada di atas mezbah dan dari minyak urapan itu dan kaupercikkanlah kepada Harun dan kepada pakaiannya, dan juga kepada anak-anaknya dan pada pakaian anak-anaknya; maka ia akan kudus (קדשׁ), ia dan pakaiannya, dan juga anak-anaknya dan pakaian anak-anaknya” (Keluaran 29:21)
Tindakan menyucikan (Qiddashto)
“Lalu berkatalah Musa kepada (YHWH): "Tidak akan mungkin bangsa itu mendaki gunung Sinai ini, sebab Engkau sendiri telah memperingatkan kepada kami, demikian: Pasanglah batas sekeliling gunung itu dan nyatakanlah itu kudus (קדשׁתו)." (Kel 19:23)
Pembuktian kekudusan melalui penghakiman (Niqdashti)
“Dan katakanlah: Beginilah firman Tuhan (YHWH): Lihat, Aku menjadi lawanmu, hai Sidon, dan Aku menyatakan kemuliaan-Ku di tengah-tengahmu. Dan mereka akan mengetahui bahwa Akulah (YHWH), pada saat Aku menjatuhkan hukuman atasnya dan menunjukkan kekudusan-Ku (נקדשׁתי) terhadap dia” (Yekhz 28:22)
Dari beberapa kutipan ayat di atas, nampaklah pada kita bahwa kata “Qadash” berhubungan dengan suatu tindakan pemisahan, pemisahan agar tidak mengalami pencemaran (Band. Kel 3:5’ 19:6; 29:29).
Kata “Qadash” berhubungan dengan kata “Badal” yang artinya ”memisahkan” atau ”membedakan” atau ”memilah-milah” sebagaimana dikatakan dalam beberapa ayat berikut:
“ulahavdil beyn haqodesh uveyn hakhol uveyn hatame uveyn hatahor”
“Haruslah kamu dapat membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, antara yang najis dengan yang tidak najis” (Im 10:10)
“Imam-imamnya memperkosa Torah-Ku dan menajiskan hal-hal yang kudus bagi-Ku, mereka tidak membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, tidak mengajarkan perbedaan yang najis dengan yang tahir, mereka menutup mata terhadap hari-hari Sabat-Ku. Demikianlah Aku dinajiskan di tengah-tengah mereka” (Yekhezkiel 22:26).
Bertitik tolak dari pemahaman teks di atas, maka makna kalimat, “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,…” bermakna bahwa kita harus memisahkan dan membedakan diri kita dari hal-hal yang najis dan menajiskan hidup kita. Apa sajakah yang menajiskan hidup kita?
Torah mengajarkan banyak hal mengenai hal-hal yang dapat menajiskan diri kita seperti orang yang sudah mati, bangkai hewan, kotoran manusia, kondisi niddah (menstruasi) dll. Larangan di atas jika dipahami secara mendalam mengajarkan hal-hal yang dapat menajiskan secara jasmani. Namun ada hal yang dapat menajiskan secara rohani yaitu perzinahan, pembunuhan, suap, korupsi, ketidakadillan, penindasan, pencurian, memuaskan hawa nafsu jahat, dll. Bukankah hal-hal tersebut dapat menajiskan bukan hanya tubuh kita namun pikiran dan roh kita. Oleh karenanya Yesus Sang Mesias mengingatkan bahwa yang menajiskan dan sungguh-sungguh menajiskan yang kerap tidak kita sadari adalah hal-hal yang keluar dari hati dan tindakan kita sebagaimana beliau mengatakan, “Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mark 7:18-23).
LUAS PENGARUH KEKUDUSAN
Kajian 1 Petrus 1:15 memerintahkan kita agar kudus bukan hanya di rumah atau di saat kita beribadah secara individu kepada Tuhan atau saat kita berkumpul di tempat ibadah bersama saudara-saudari seiman sementara dalam kehidupan di luar kita menihilkan kekudusan. Sebaliknya dikatakan εν παση αναστροφη γενηθητε (en pase anastrophe genestethe) atau בכל־דרכיכם (bekol darkekem) yaitu ”dalam seluruh perilakumu”. Terjemahan LAI, ”dalam seluruh hidupmu”. Kekudusan itu harus mengimbas dalam seluruh perilaku hidup kita. Perilaku kita dikuasai oleh hati kita. Jika hati kita tidak kudus, kita tidak akan mampu melakukan tindakan yang kudus sebagaimana dikatakan oleh Yahshua Sang Mesias, ”Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat (Tuhan)” – (Mat 5:8)
Kita harus menjabarkan kekudusan itu di luar rumah dan di luar tempat ibadah yaitu di tempat kita bekerja, dalam usaha dan bisnis kita, dalam pergaulan sosial. Mungkin ada yang bertanya, jika saya seorang pengusaha atau pedagang, apakah saya tidak boleh mengambil untung (laba) dikarenakan kita harus mempraktekan kekudusan dalam dunia dagang? Tidak! Tidak demikian. Sebagai pengusaha atau pedagang, kita boleh mengambil untung namun jangan sampai merugikan orang lain. Imamat 25:14 dan 17 memberikan petunjuk demikian: ”Apabila kamu menjual sesuatu kepada sesamamu atau membeli dari padanya, janganlah kamu merugikan satu sama lain.... Janganlah kamu merugikan (אל־תונו=al tonu) satu sama lain, tetapi engkau harus takut akan Tuhanmu, sebab Akulah YHWH, Tuhanmu”. Demikian pula dikatakan dalam Imamat 19:36 sbb: ”Neraca yang betul, batu timbangan yang betul, efa yang betul dan hin yang betul haruslah kamu pakai; Akulah YHWH Tuhanmu yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir”
Bagaimana dengan mereka yang bukan pengusaha atau pedagang? Bagaimana menerapkan konsep kekudusan? Ambil contoh pegawai pemerintah dan calon pegawai pemerintah. Kita pernah mendengar berbagai laporan di masyarakat bagaimana aksi makelar kepegawaian mencari mangsa terhadap calon-calon pegawai baru dengan mengimingi mereka akan mendapat status kepegawaian dengan imbalan tinggi. Apa yang dikatakan Kitab Suci? Keluaran 23:8 mengatakan, ”Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”. Dikatakan pula dalam Ulangan 16:19 sbb: ”Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar”. Orang yang menyuap (שׁחד=shokhad) dan menerima suap menanggung dosa yang sama. Orang yang memperoleh suatu status dari hasil suap, akan bekerja dengan mentalitas suap dan meminta suap dari orang lain.
Bagaimana kekudusan diterapkan dalam kehidupan keluarga? Imamat 18:6 mengatakan sbb: “Siapa pun di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk menyingkapkan auratnya; Akulah YHWH”. Nenek moyang kita yang belum m engenal Torahpun sudah menyadari dampak pernikahan sedarah sehingga mengeluarkan larangan turun temurun.
Bagaimana kekudusan dalam sidang pengadilan? Imamat 18:15 sbb: ”Janganlah kamu berbuat curang (לא־תעשׂו עול=lo taashu awel) dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran”
Bagaimana kekudusan diterapkan oleh seorang pimpinan perusahaan? Imamat 19:13 mengatakan sbb: ”Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian (לא־תלין פעלת שׂכיר=lo talin pe’ullat sakir) sampai besok harinya”
Bagaimana kekudusan diterapkan dalam hal-hal lahiriah? Kasus bersentuhan dengan orang mati, Bilangan 19:11-13 mengatakan sbb: ”Orang yang kena kepada mayat (במת=bemet), ia najis tujuh hari lamanya. Ia harus menghapus dosa dari dirinya dengan air itu pada hari yang ketiga, dan pada hari yang ketujuh ia tahir. Tetapi jika pada hari yang ketiga ia tidak menghapus dosa dari dirinya, maka tidaklah ia tahir pada hari yang ketujuh. Setiap orang yang kena kepada mayat, yaitu tubuh manusia yang telah mati, dan tidak menghapus dosa dari dirinya, ia menajiskan Kemah Suci (YHWH), dan orang itu haruslah dilenyapkan dari Israel; karena air pentahiran tidak disiramkan kepadanya, maka ia najis; kenajisannya masih melekat padanya”. Karena kita tidak memiliki pola hidup Teokrasi yang berpusat pada Bet ha Miqdash, maka aturan tersebut saat ini dipahami dengan cara membasuh tangan dan kaki saat pulang dari rumah orang yang mengalami kematian.
Kasus makan darah, Imamat 17:10-11 mengatakan sbb: ” "Setiap orang dari bangsa Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka, yang makan darah apa pun (יאכל כל־דם=yokal kol dam) juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya. Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya (כי נפשׁ הבשׂר בדם הוא= ki nefesh habashar badam hiw) dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa”
ALASAN UNTUK HIDUP KUDUS
Alasan kita untuk hidup kudus dalam segala aspek kehidupan, karena Tuhan kita kudus. YHWH itu kudus, Mesias itu kudus, oleh karenanya umatnya harus kudus.
Oleh karena YHWH Bapa Surgawi kudus, maka kita yang menyapanya dengan sebutan Bapa kita pun harus hidup dalam takut dan hormat pada-Nya karena pada saatnya Dia akan menghakimi sebagaimana dikatakan dalam 1 Petrus 1:17, ”Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini”. Kata yang diterjemahkan ”ketakutan” dalam bahasa Yunaninya εν φοβω (en phoboi) yang artinya ”rasa takut”. Kata ini tidak akan dipahami dengan baik jika kit tidak menempatkannya dalam konteks pemahaman Ibrani. Dalam pemahaman Ibrani, istilah יראה (yirah) ketika dihubungkan dengan YHWH akan bermakna sikap tunduk, taat, patuh pada YHWH bukan ketakutan yang didasari rasa bersalah dan berdosa, sebagaimana dikatakan dalam Keluaran 1:17 sbb: ”Tetapi bidan-bidan itu takut akan Tuhan (ותיראן המילדת את־האלהים=watirena ha meyaldot et ha Elohim) dan tidak melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup” dan juga dikatakan dalam Ulangan 6:13 sbb: ”Engkau harus takut akan YHWH Tuhanmu; (את־יהוה אלהיך תירא=et YHWH Eloheika tira) kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah”.
Berulang kali Rasul Paul menghubungkan menyinggung mengenai pengadilan atau Tahta Mesias dimana semua orang akan menghadapinya. Berulng kali pula “perbuatan baik” dihubungkan dengan kekekalan sekalipun perbuatan baik bukan prasyarat untuk masuk dalam kekekalan sebagaimana dikatakan: “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman” (Rm 2:6-8). Demikian pula dikatakan dalam 2 Korintus 5:10 sbb: “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan (Mesias) supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat”. Perbuatan baik sebagai bagian dari pengamalan kekudusan akan diperhitungkan sebagai upah bagi orang beriman dalam kekekalan.
Akhir dari midrash ini, saya akan kutipkan kembali 1 Petrus 1:22 sbb: ”Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”. Marilah kita lebih bersungguh-sunggu saling mengasihi dan melakukan Firman Tuhan. Kata ”bersungguh-sungguh” dipergunakan kata Yunani εκτενως (ektenos) yang artinya ”terus menerus” atau ”meningkat”. Kitapun harus semakin meningkatkan kasih dan kekudusan kita bagi Tuhan dan sesama kita.
No comments:
Post a Comment