Jika kita membaca Torah, maka kata “musuh”
dan “perlawanan” serta “binasa” menjadi begitu dominan dituliskan sebagai respon
seseorang terhadap mereka yang berlaku jahat terhadap dirinya, keluarganya atau
bangsanya, sebagaimana dikatakan, “Lima
orang dari antaramu akan mengejar seratus, dan seratus orang dari antaramu akan
mengejar selaksa dan semua musuhmu akan tewas di hadapanmu oleh pedang”(Im
26:8 - Band. Kej 24:60, Bil 14:42, 1 Sam 12:1). Bahkan dalam Mazmur banyak
tertulis doa-doa Daud yang meminta Tuhan membinasakan musuhnya antara lain, “Yahweh telah mendengar permohonanku, Yahweh
menerima doaku. Semua musuhku mendapat malu dan sangat terkejut; mereka mundur
dan mendapat malu dalam sekejap mata” (Mzm 6:11). Lantas bagaimana kita
menyelaraskan teks perihal musuh dan respon perlawanan terhadap musuh serta
doa-doa memohon kebinasaan terhadap musuh dengan sabda Yesus Sang Mesias
perihal mengasihi musuh?
Tuesday, November 22, 2016
Wednesday, November 16, 2016
MEMPERTAHANKAN KESETIAAN DAN KEBENARAN
Pada bagian akhir sebuah film berjudul Crime of the Century dipetik sebuah
surat seorang terdakwa mati bernama Richard Hauftman yang dituduh dan
diputuskan bersalah telah membunuh seorang bayi sekalipun dirinya telah
berusaha membuktikan tidak terlibat dan tidak bersalah. Demikian petikkan
suratnya, “Aku senang hidupku di dunia
ini yang tidak memahamiku telah berakhir. Sebentarlagi aku akan pulang dengan
Tuhanku. Karena aku sayang Tuhanku aku mati sebagai orang tidak bersalah.
Mereka pikir saat aku mati, kasus ini juga akan mati. Mereka pikir ini seperti
buku yang akan ditutup. Tapi buku itu tak akan pernah tertutup”.
MENGAKHIRI PERTANDINGAN DENGAN BAIK
Jika
kita menghadiri upacara pemakaman di kalangan mereka yang beragama Islam, kerap
muncul ujaran yang kurang lebihnya demikian, “Kiranya saudara A matinya dalam
keadaan “khusnul khotimah”, lalu akan ditimpali para hadirin , “Amin”. Apakah
makna kata “khusnul khatimah?” Artinya “akhir yang baik”. Seseorang yang
meninggal diharapkan meninggal dalam keadaan yang baik. Menurut kepercayaan
Islam mereka yang meninggal dalam keadaan baik memiliki sejumlah ciri al.,
mampu mengucapkan kalimat sahadat saat sakratul maut alias menjelang kematian.
Sebaliknya, mereka yang mengakhiri kehidupan dengan buruk disebut “shu’ul
khatimah” yang merupakan kebalikkan dari “khusnul khatimah”.
NUBUAT YANG DIBUAT
Praktik
manipulasi nubuat demi kepentingan pribadi dan kelompok rupanya sudah menjadi gejala
yang tua usianya dan bukan hanya menjadi karakter kehidupan beragama di era
modern belaka. Terbukti di masa kerajaan Israel dipimpin Ahab yang lalim, dia
selalu menginginkan nubuat-nubuat yang baik dan menyenangkan hati serta
mendukung berbagai tindakan dan keputusan yang dilakukannya tinimbang
benar-benar mendengar suara dan petunjuk Tuhan.
BIARA KEHIDUPAN
Di
kalangan gereja Ortodox dan Katolik dikenal kehidupan biara dan pertapaan
Kristen. Kehidupan membiara ini dikenal dengan sebutan Monastikisme. Akar
kehidupan membiara berasal dari tradisi Yudaisme sebagaimana dijalankan oleh
kaum Esseni di kawasan Qumran, Laut Mati dan kehidupan Yohanes Pembaptis yang
tinggal di padang gurun. Tercatat dalam sejarah kekristenan, tokoh-tokoh
pertapa Kristen pertama al., Antonius dari Thebes Mesir memulai kehidupan
membiara pada tahun 269 Ms, dilanjutkan oleh Benediktus di tahun 540 dst.
Thursday, November 3, 2016
AGAMA DAN KOMODITAS
Setiap
barang selalu memiliki dua nilai dalam dirinya yaitu “nilai guna” dan “nilai
jual” atau “nilai ekonomi”. Nilai guna berbicara perihal fungsi dan kegunaan
sebuah barang atau benda. Pisau berfungsi dan berguna untuk mengupas,
menguliti, menyobek dll. Nilai ekonomi berbicara perihal harga sebuah barang
dalam kegiatan ekonomi dan pasar. Ini yang disebut dengan istilah “komoditas”
alias barang yang dapat diperjualbelikan. Pisau memiliki nilai jual karena ada
orang yang membelinya dan membutuhkannya sementara si pembeli tidak memiliki
pisau. Namun ternyata bukan hanya benda dan barang yang memiliki nilai guna dan
nilai jual, bahkan sejumlah situasi, kondisi, tindakan, peristiwa serta
perilaku keagamaan dapat menjadi sebuah nilai jual atau nilai ekonomi.
Kemiskinan sebagai kondisi bisa diubah menjadi nilai ekonomi oleh orang-orang
yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.