Kematian, sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Seniscaya seorang manusia yang akan menjadi renta dimakan usia. Kematian tidak
dapat ditolak dan dinegosiasikkan. Mungkin seseorang mengalami second chance (kesempatan kedua) berupa,
terluput dari amukkan bencana alam yang nyaris merenggut nyawanya, mengalami
intervensi Ilahi berupa mukjizat kesembuhan dari penyakit berbahaya yang
memastikkan batas kemampuan tubuh menahannya, dapat melewati masa kritis dan
koma saat terjadi kecelakaan dst.
Namun pada akhirnya seseorang tidak dapat
menghindari kenyataan yang disebut dengan kematian. Kematian itu menunggu kita
dalam rentetan kisah kehidupan yang kita jalani. Setiap orang mengambil sikap
yang berbeda terhadap kematian.
Ada yang tidak peduli dan mengabaikannya karena
mengingatnya hanya menimbulkan rasa kuatir dan takut. Ada yang secara filosofis
menyangkalnya dan menganggap sebagai sebuah tidur panjang tanpa kesadaran dan
tanpa kelanjutan. Ada pula yang secara religius menyongsongnya dengan
melibatkan diri dalam sejumlah gerakan radikal keagamaan berupa aksi meledakkan
diri sendiri terhadap orang, kelompok yang dianggap sebagai musuh. Ada pula
yang secara religius memaknainya sebagai sebuah peringatan akan pertanggung
jawaban di hari kemudian sehingga setiap orang selalu diingatkan dengan
kematian agar membuat setiap orang menjadi takut berbuat dosa dan kejahatan.
Perspektif Kristiani yang melandaskan diri pada Kitab TaNaKh (Torah, Neviim,
Ketuvim) - yang lazim disebut Perjanjian Lama oleh umat Kristen – dan Kitab
Perjanjian Baru memahami kematian sebagai sebuah keniscayaan akibat masuknya
dosa dalam kehidupan manusia (Rm 6:23).
Setiap benih kehidupan dalam diri
manusia mengandung potensi kematian, entah karena sakit, kecelakaan, bencana,
pembunuhan dll. Kefanaan melekat dalam kehidupan manusia. Kematian bukanlah
akhir dari segalanya. Secara kemanusiaan tentu menyisakkan duka dan kesedihan
berpisah dengan orang-orang yang dikasihi.
Namun jika mengingat sabda Yesus Sang Mesias dan Anak Tuhan bahwa barangsiapa percaya dan menerima diri-Nya maka
memperoleh kehidupan dan kebangkitan sebagaimana dikatakan:
"Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup" (Yoh 5:24)
"Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati" (Yoh 11:25)
Membaca
teks di atas, sudah seharusnya kita menghadapi kematian dengan lapang dada dan
kebesaran hati sebagaimana diajarkan para rasul, "Selanjutnya kami
tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang
meninggal supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak
mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan
telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam
Yesus akan dikumpulkan Tuhan bersama-sama dengan Dia" (1 Tes
4:13-14). Ayat ini jangan dimaknai bahwa kita orang Kristiani tidak
boleh mengucapkan dukacita lantas mengucapkan selamat bersukacita kepada orang
yang sedang berdukacita. Ayat ini hanya mengingatkan orang beriman bahwa ketika
kita berdukacita, "jangan seperti orang-orang lain yang tidak
mempunyai pengharapan". Bagi orang Kristiani, dibalik kematian orang
yang kita kasihi ada pengharapan bahwa keselamatan dan kehidupan kekal yang
dijanjikan Sang Juruslamat sedang diwujudnyatakan/direalisasikan.
No comments:
Post a Comment