Yudas (ιουδας) adalah bentuk Yunani dari Yahudah/Yehudah (יהודה). Siapakah Yudas yang dimaksudkan dalam surat ini? Penulisnya hanya mengidentifikasi dirinya sebagai “hamba Yesus Sang Mesias dan saudara Yaakov” (Yun: Iesou Chroistou doulos adelphos de Iakoobou/Ibr: Eved Yeshua ha Mashikah we Akhi Ya’akov).
Yudas dalam surat ini bukan menunjuk Yudas murid yang mengkhianati Yesus Sang Mesias melainkan menunjuk pada saudara Yesus dan Yakobus sebagaimana dikatakan dalam Matius 13:55-56 sbb: Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?" Sekalipun demikian, banyak sarjana dan peneliti Kitab Perjanjian Baru meragukan apakah penulis surat Yudas adalah saudara Yesus dan Yakobus.
Dalam suratnya, Yudas memperingati para pembacanya, “supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus” (Yud1:3). Kata Yunani ἐπαγωνίζομαι (epagoonizomai) bermakna “berjuang dengan kesungguhan”. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan secara dinamis “berjuang untuk mempertahankan iman”. Iman apa yang dimaksudkan untuk dipertahankan? “iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus”.
Kita umat beriman yang hidup di Abad XXI telah menerima iman yang disampaikan kepada orang kudus zaman dahulu melalui orang tua atau pemberitaan Injil yang dilakukan orang lain. Di atas semuanya, iman itu telah disampaikan melalui tulisan kudus yaitu Kitab Suci yang telah kita pegang sebagai warisan rasuli.
Kembali kepada Yudas 1:3 yang merupakan nats kita. Sebagai orang beriman yang telah mengikuti firman dan perintah Yesus Sang Mesias, Juruslamat dan Junjungan Agung kita, hendaknya kitapun melakukan hal yang sama sebagaimana dituliskan oleh Yudas, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus. Iman yang telah kita terima harus dirawat dan dijaga bahkan dipertahankan agar tidak mengalami “osteoporosis” (pengeroposan) yang berujung pada kemurtadan. Kita harus mewaspadai berbagai hal yang dapat merusak iman kita al., “keduniawian”, “tekanan ekonomi”, “penganiayaan karena mengikut Yesus Sang Mesias”, “lingkungan yang buruk”, “perpindahan keyakinan dan meninggalkan iman kristiani”
Prof. DR. J.A.B. Jongenel, pakar Missiologi Utrecht Universiteit, dalam diskusi di depan pendeta-pendeta Jakarta di kantor PGI pada tanggal 11 September 1995 mengatakan sbb: “Eropah kini menjadi semakin sekuler dan negara yang paling sekuler adalah negeri Belanda...penduduk Amsterdam, Ibukota Nederland yang 200 tahun lalu hampir seluruhnya beragama Kristen (99%) sekarang tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja, kebanyakan mereka tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler” (Sekularisasi, Ancaman Bagi Semua Agama, Berita Oikumene, September 1995).
Sebuah studi yang dilakukan di Inggris oleh United Kingdom Christian Handbook, pada tahun 1998/1990 menghasilkan statistik bahwa di antara orang-orang dewasa, 11% menjadi pengunjung gereja secara teratur, 15% adalah anggota gereja, 62% melihat siaran TV Kristen sedikitnya sekali sebulan, 65% Kristen nominal, 69% percaya bahwa agama dapat memberikan standar hidup masyarakat dan 73% kecewa melihat bahwa standar moral sudah merosot (Ir. Herlianto,MTh., Gereja Modern: Mau Kemana? Bandung: YABINA, 1995).
Menurut survey yang dilakukan Pew Research Center selama 2015-2017 di 34 negara, Eropa memiliki angka terendah kepedulian paling rendah terhadap agama. Jika di Eropa Timur, menjadi Kristen (baik Katolik atau Ortodoks) merupakan komponen penting dari identitas nasional mereka. Sebaliknya, di Eropa Barat, kebanyakan orang tidak merasa bahwa agama adalah bagian utama dari identitas nasional mereka. Di Prancis dan Inggris Raya, misalnya, kebanyakan orang mengatakan bahwa tidak penting menjadi Kristen untuk menjadi orang Prancis atau Inggris sejati (https://www.pewforum.org/2018/10/29/eastern-and-western-europeans-differ-on-importance-of-religion-views-of-minorities-and-key-social-issues/)
Bagaimana dengan kondisi kekristenan di Indonesia?Hasil riset dalam sebuah buku berjudul “Dinamika Spiritualitas Generasi Muda Kristen Indonesia” yang dirilis oleh Bilangan Research Center pada tahun 2018 menyatakan bahwa 50 persen generasi milenial beragama Kristen di Indonesia meninggalkan gereja. Lalu diungkapkan bahwa ada tiga alasan utama generasi muda ini yang dulunya rajin ke gereja namun sekarang tidak lagi ke gereja, yaitu: (1) Kesibukan sekolah (21,4%), (2) Program ibadah kaum muda tidak menarik/tidak berguna/tidak relevan (13,9%), (3) Tidak memiliki teman-teman sejati di gereja (11,2%) - https://www.jawaban.com. Ini belum dikaitkan dengan sejumlah fakta mengenai kepindahan keyakinan akibat pernikahan atau pemberitaan agama lain melalui saluran media sosial dan teknologi lainnya.
Sebagaimana tadi telah dikatakan bahwa banyak variabel yang berkontribusi membuat pengeroposan dan kerusakan terhadap iman al., “keduniawian dan sikap hidup hedonisme”, “tekanan ekonomi”, “penganiayaan karena mengikut Yesus Sang Mesias”, “lingkungan yang buruk”, “perpindahan keyakinan dan meninggalkan kekristenan”. Maka “berjuang mempertahankan iman” menjadi sebuah keniscayaan.
No comments:
Post a Comment