Ketika negara Indonesia belum lahir dan masih bernama Hindia Belanda, maka yang memerintah negeri ini tentu adalah orang-orang berkebangsaan asing dan bukan bangsa Indonesia. Tercatat dalam sejarah beberapa bangsa yang pernah menguasai negara yang kelak bernama Indonesia ini adalah Portugis (1511 - 1642), Spanyol (1521 - 1529), Belanda (1602 - 1942), Prancis (1808 - 1811), Inggris (1811 - 1816), Jepang (1942 – 1945).
Tentu saja negara yang berkuasa lama di Indonesia adalah Belanda. Sekalipun masih kontroversial usia kekuasaan Belanda di Indonesia apakah 350 tahun dan sudah banyak disanggah sejarawan namun secara umum kekuasaan Belanda paling lama di bandingkan negara-negara lain yang pernah berkuasa di Indonesia.
Dalam situasi dikuasai bangsa asing, betapapun situasi sosial
ekonomi dan sosial politik berhasil mencapai kestabilan melalui sejumlah
pendekatan keamanan, namun tetap saja kita menjadi warga kelas dua yang tidak
memiliki kedaulatan terhadap nasib dan masa depan serta pengelolaan kekayaan
alam. Itulah sebabnya muncul gerakan-gerakan yang menjadi benih-benih
kemerdekaan, mulai dari perjuangan yang bersifat kekerasan bersenjata maupun
bersifat politis melalui parlemen.
Menjelang kemerdekaan Indonesiapun masyarakat terbagi menjadi dua yaitu antara
mereka yang menginginkan menjadi bangsa merdeka dari kekuataan asing dan mereka
yang merasa belum waktunya merdeka dan tetap dalam kekuasaan tuan-tuan kulit
putih.
Bagi mereka yang menyatakan belum siap untuk merdeka memiliki
argumen bahwa di bawah kekuasaan asing kita mengenal sistem pendidikan modern
dan telah tersedia pula lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik pemerintah atau swasta
Belanda. Namun bagi mereka yang menginginkan kemerdekaan, dibalik ketersediaan
pekerjaan dan pendidikan tetap saja bangsa Indonesia menjadi warga kelas dua
dan tidak memiliki kedaulatan mutlak terhadap tanah airnya.
Demikianlah situasi yang sama dialami bangsa Israel saat
hendak dimerdekakan dan diminta untuk keluar dan meninggalkan Mesir sebagai
sebagai tempat perbudakan (בית עבדים - bet avadim).
Bangsa Israel yang sudah berada di Mesir selama 430 tahun (Kel 12:40) dan
beranak pinak serta bekerja sebagai budak tentu menikmati sejumlah kenyamanan
tertentu dan menganggap situasi perbudakan adalah bentuk kenormalan. Mereka
tidak menganggap perbudakan atas diri mereka adalah sebuah persoalan penting
yang harus dihentikan.
Namun bukan berarti tidak ada yang gelisah dengan situasi
perbudakan tersebut karena banyak juga yang mengeluh dengan situasi demikian
dan berseru kepada Tuhan YHWH meminta kemerdekaan (Kel 2:23). Lahirnya Musa
akan menjadi tokoh sentral pembebas bangsa Israel dari perbudakan sebagai
jawaban keluh kesah dan doa mereka.
Ketika tiba waktu penentuan nasib Bangsa Israel untuk
meninggalkan Mesir dan melewati laut Teberau menuju tanah perjanjian, keteguhan
dan tekad bangsa Israel diuji saat Firaun yang semula mengijinkan mereka
meninggalkan Mesir kemudian berubah pikiran dan mencoba menghentikan perjalanan
bangsa Israel dengan kekuatan pasukan berkudanya.
Apa yang diucapkan bangsa Israel dalam situasi hidup dan mati
di tengah laut Teberau yang terbelah dan menjadi dinding yang di tahan angin
Timur? Bukankah ini telah kami katakan
kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada
orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari
pada mati di padang gurun ini (Kel 14:12). Pernyataan כי טוב לנו עבד את־מצרים ממתנו במדבר - ki
tov lanu avod et Mitsrayim mimutenu bamidbar (Sebab lebih baik bagi kami
untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini)
memperlihatkan alam pikiran bawah sadar bangsa Israel yang sudah merasa berada
di comfort zone (zona nyaman)
sekalipun berada di bawah penindasan bangsa lain dan kehilangan kemerdekaannya.
Kita bisa membayangkan beban yang ditanggung Musa untuk
meyakinkan bangsanya bahwa sebaik-baik tinggal nyaman dan kebutuhan hidup
terjamin di Mesir namun mereka sesungguhnya adalah budak yang tidak berkuasa
terhadap hidup dan masa depan mereka. Dengan mantap Musa meyakinkan bangsanya
dengan berkata, אל־תיראו התיצבו וראו
את־ישׁועת יהוה אשׁר־יעשׂה לכם היום - al
tira’u, hityatsvu ure’u et yeshu’at YHWH asher yaasheh lakem hayom
(Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari YHWH, yang
akan diberikan-Nya hari ini kepadamu – Kel 14:13).
Dalam kehidupan keseharian terkadang kita tidak merasa bahwa
kita sebenarnya berada dalam situasi perbudakan. Diperbudak oleh hawa nafsu
kemarahan, kekuatiran berlebihan, balas dendam, iri hati, perselisihan,
perzinahan, rendah diri dll. Kita menganggap itu semua bentuk kenormalan karena
sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.
Marah adalah alamiah namun menjadi pemarah dan mudah
melakukan kekerasan verbal (melalui perkataan) dan kekerasan fisik terhadap
setiap orang, maka kita berada dalam perbudakan hawa nafsu amarah. Kuatir
adalah alamiah namun jika sudah didikte dan arah hidup kita dikendalikan
kekuatiran maka kita adalah insan perbudakan dan bukan insan merdeka. Rendah diri
bermula dari ketidakpercayaan bahwa diri kita mampu melakukan sesuatu yang baik
dan benar serta selalu terintimidasi oleh kemampuan orang lain. Rendah diri
menghambat kemajuan dan menyebabkan kita terpenjara dalam pikiran dan tindakan.
Untuk merdeka dari perbudakan dosa maka dibutuhkan sebuah
tekad dan keberanian untuk melakukan לְהַשְׁאִיר - lehashir (meninggalkan) dan פְּסִיחָה - peshikha (menyeberang). Tanpa keberanian dan tekad untuk
meninggalkan dan menyeberang maka kita akan tetap tinggal dalam situasi
perbudakan. Jika bangsa Mesir memilih untuk membatalkan meninggalkan dan
menyeberang menuju tanah perjanjian maka mereka akan menjdi budak selamanya.
Karena mereka berani mengambil risiko setelah diyakinkan Musa maka mukjizat
Tuhan YHWH turun dan rintangan yang menghalangi jalan kemerdekaan mereka
sebagai bangsa disingkirkan.
Jika kita masih diperbudak oleh amarah, dendam, iri hati,
kekuatiran, ketidakpercayaan diri, sihir, perdukunan, perzinahan, kemalasan
maka saatnya kita mengambil sikap untuk meninggalkan dan menyeberang serta
berani mengambil risiko menjalani hidup yang baru. Yesus, Anak Tuhan dan Juruslamat
kita bersabda,
Jikalau kamu tetap
dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui
kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu (Yoh 8:31-32)
Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa. Dan hamba tidak
tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila
Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka (Yoh 8:34-35)
Jika kita terus menerus manunggal dengan Tuhan YHWH Sang Bapa di dalam Yesus Sang Putra melalui ketaatan terhadap firman-Nya maka kita akan menjadi insan merdeka karena sabda-sabda—Nya memerdekakan.
Dengan
mengamalkan sabda Tuhan untuk mengampuni maka kita memerdekaan diri dari
mentalitas pendendam. Dengan memberikan sebagian harta kita untuk menolong
orang lain dan gereja maka kita memerdekakan diri dari mentalitas pelit. Dengan
bersikap tenang dan menguasai keadaan kita memerdekakan diri dari mentalitas
mudah kuatir. Dengan bersikap berani mencoba sekalipun gagal membuat kita
terbebas dari mentalitas malas dan tidak percaya diri.
Di mana sikap Anda berdiri saat ini? Tentukan sikap Anda
apakah akan menjadi seorang budak nafsu atau menjadi insan merdeka? Pilihan ada
pada kita dan pilihan yang kita ambil menentukan di mana kita berada di masa
depan.
No comments:
Post a Comment