Bagi umat
Kristiani, Yesus adalah sentrum ajaran dan teladan. Teladan cinta kasih dan
perilaku yang mulia. Beberapa kali Kitab Injil mencatat bagaimana Yesus
memperlihatkan teladan karakter dan perilaku sebagai orang yang “digerakkan oleh belas kasihan” (Mat
9:36), tidak menghakimi berdasarkan apa yang nampak belaka saat seorang
perempuan yang dituduh berzinah hendak dirajam (Yoh 7:24).
Bahkan teladan konsistensi ajaran
cinta kasih dan pengampunan diperlihatkan oleh Yesus saat meregang nyawa
di kayu salib masih mengucapkan perkataan pengampunan (Luk 23:34). Namun
mengapa dalam narasi Yohanes 2:13-25, justru Yesus diperlihatkan begitu marah
sebagaimana dideskripsikan, “Ia
membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua
kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah
dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya” (Yoh 2:15).
Jawabannya terletak
pada ayat 16, “...Ambil semuanya
ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan”. Ya,
menjadikan Bait Suci yang merupakan rumah Tuhan dimana hadirat dan kemuliaan
Tuhan hadir dicemari dengan kegiatan transaksi ekonomi.
Aktivitas ekonomi
mengalihkan fungsi Bait Suci menjadi tempat transaksional sehingga menjadikan
sakralitas tempat menjadi profan. Terlepas dari kemarahan Yesus perihal
pencemaran Bait Suci, narasi ini mengajarkan kita perihal kepedulian Gereja
yaitu umat beriman agar berani melakukan tindakkan perubahan ketika melihat
ketimpangan, ketidak adilan, ketidakpedulian di sekeliling kita.
Selama ini kita
memahami agama sebagai pedoman untuk beribadah kepada Tuhan dan melakukan
berbagai kebajikkan namun melupakan bahwa tugas agama dan umat beragama adalah
berpartisipasi secara kritis terhadap kehidupan sosial yang menyimpang.
Belum lama ini saya
menonton Drama Korea The Fiery Priest
bertema laga kriminal dan komedi di saluran Netflix.
Serial 20 episode ini digarap oleh sutradara Lee Myoung Woo dan Park Jae Beom. The Fiery Priest ini mengisahkan pastor
Kim Hae Il (diperankan Kim Nam Gil), seorang detektif bernama Goo Dae Young
(Goo Dae Young) yang banyak bicara, serta seorang jaksa cerdas dan cantik, Park
Hyung Sun (Lee Hanee). Kim Hae Il, Goo Dae Young, dan Park Hyung Sun berusaha untuk
mengusut kasus pembunuhan pastor senior yang penuh misteri. Pastor yang pemarah
itu tak dapat lagi menutup mata dalam kasus pembunuhan tersebut. Rupanya, kasus
pembunuhan rekan Kim Hae Il ini melibatkan para pejabat di Kota Gudam.
Dalam episode
terakhir yaitu episode 20, ada petikan kalimat yang menarik dari Pastor Kim
Hael Il, pemeran utama dalam drama Korea ini yaitu sbb: “Tuhan tak pernah
menelantarkan para pemberani. Keberanian yang dikehendaki Tuhan adalah
bertarung melawan ketakutan, untuk tidak mementingkan diri sendiri. Keadilan
yang ditegakkan dengan keberanian seperti itu, akan tetap teguh dan akan
mewujudkan dunia, di mana keadilan berkuasa atas kekuasaan dan kekuasaan
digunakan secara adil”.
Nampaknya tidak
mungkin melihat karakter Pastor muda nan ganteng eks militer dan kerap terlibat
keributan dengan penjahat dalam kehidupan keseharian kita. Namun setidaknya
film drama ini memberikan sebuah pesan tersirat bahwa umat beragama (Kristen
khususnya) dan para rohaniawan Kristen seharusnya memiliki kepekaan sosial dan
terlibat dalam persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jangan hanya
berbicara mengenai Tuhan yang jauh di atas sana namun persoalan kemanusiaan di
sini dan masa kini. Bukankah Doa Bapa
Kami mengajarkan, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga?”
Film drama ini pun
mengingatkan saya pada lahir dan tumbuhnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin
sekitar tahun 1960-an yang melibatkan sejumlah pastor dalam membela kaum
tertindas dan harus berhadapan dengan sistem hukum yang tidak adil.
Kembali kepada
narasi kemarahan Yesus seharusnya diletakkan dalam pengertian peran umat
beragama khususnya umat Kristiani untuk berani melakukan kritik dan perubahan
sosial di saat ada ketidakadilan, penyimpangan, kesenjangan dll. Jika Nehemia
marah melihat ketidakadilan sebagaimana dikatakan dalam Nehemia 5:6, “Maka
sangat marahlah aku, ketika kudengar
keluhan mereka dan berita-berita itu…”, demikianlah para rohaniawan Kristen dan
umat Kristen berhak marah dan mengecam ketidakadilah dalam sebuah sistem dan
kebijakkan yang merugikan banyak orang,
Agama, bukan
sekedar ritual formal umat dengan Tuhannya melainkan pengejawantahan ajaran
Tuhan dalam kehidupan sosial, termasuk menyuarakan kecaman terhadap
ketidakadilan sosial, kejahatan ekonomi, kejahatan moral. Tidak akan muncul
kecaman “Agama adalah candu masyarakat”, jika gereja Tuhan peka terhadap
persoalan sosial di sekeliling mereka.
No comments:
Post a Comment