Pada
suatu hari, seorang petani dan anaknya membawa keledai mereka untuk dijual
kepada peternak hewan. Sepanjang jalan mereka bertemu dengan tetangganya. “Buang-buag
waktu saja! Kata salah seorang tetangga. “Kenapa tidak dinaiki saja keledainya?”
Maka sang petani berhenti sejenak kemudian menaikkan anak lelakinya ke atas
keledai.
Kemudian
mereka berdua melintasi seorang tua yang sedang duduk di bawah pohon sembari
berteduh dari panas terik matahari.”Sungguh memalukan!”, lelaki tua tersebut berseru. “Tidakkah anakmu memiliki rasa hormat terhadap orang
tua?” Mendengar celaan tersebut, sang anak segera turun dan sang ayah
bergantian naik ke atas keledai.
Kemudian
perjalanan berlanjut dan seorang guru tiba-tiba menegur dengan berkata, “Betapa
kasarnya sang ayah, sementara dia mengendarai keledai anaknya malah berjalan
kaki!”. Tanpa banyak bicara sang ayah mengambil anaknya dan mendudukkannya di
atas keledai kemudian mereka menungganginya bersama.
Sang
keledai sekarang berjalan lebih lambat karena menanggung dua beban sekaligus. Saat
melintasi seorang pandai besi, dia menghentikan pekerjaanya dan berseru keras, “Betapa
kejamnya kalian ini memberikan beban berlebihan pada keledai. Kenapa tidak
kalian gendong saja keledai tersebut?”
Meski
canggung, keduanya akhirnya menggendong keledai yang mereka tunganggi
sebelumnya. Mereka mendatangi seorang pembayar yang hendak membeli seekor
keledai. Sang pembeli tertawa terbahak dan berkata, “Bagaimana saya akan
membeli seekor hewan yang tidak bisa berjalan dan harus digendong?” Dengan
berjalan sedih kembali pulang, sang ayah berkata kepada anak lelakinya, “Kita
tidak bisa menyenangkan semua orang nak!”
Apa
moral cerita di atas? Pertama, jika
kita membiarkan opini orang lain mengatur diri kita maka kita kehilangan
kendali dan arah hidup yang kita jalani. Kedua,
kebijaksanaan sejati adalah memilih
kedamaian di hati tinimbang persetujuan orang lain. Ketiga, tidak peduli apapun yang kita lakukan, seseorang selalu
memiliki suatu alasan untuk memberikan komentar.
Sebagai
warga masyarakat dimana komunalisme dan kolektivisme masih menjadi norma
sosial, terkadang kita mengalami kebingungan ketika orang lain selalu ingin
mencampuri keputusan dan jenis kehidupan yang kita jalani. Kita masih kerap
tersandera oleh perasaan sungkan ketika setiap orang mulai memberikan komentar
tentang apa yang kita pakai, apa yang kita makan, apa yang kita harus ucapkan,
apa yang harus kita putuskan.
Kita memang perlu second opinion ketika kita mendengar sebuah pendapat yang memberatkan untuk kita putuskan menjadi sebuah tindakan. Artinya kita selalu membutuhkan orang lain khususnya mereka yang lebih berpengetahuan dan berpengalaman untuk menjadi referensi ketika kita harus mengambil sebuah keputusan. Namun demikian, kita harus menyadari bahwa jenis kehidupan yang kita lakukan adalah kehidupan yang kita pilih untuk kita jalani. Kita nahkodanya jika kita berada di lautan. Kita pilotnya jika ada di udara. Kita drivernya jika ada di darat. Kita membutuhkan saran dan perspektif orang lain namun Anda dan kita sebagai pribadi yang harus mengambil keputusan.
Bukankah
Yosua pernah berkata, “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah;
tuhan yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau
tuhan orang Amori yang negerinya kamu
diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku,
kami akan beribadah kepada YHWH” (Yos 24:15). Kehidupan adalah soal
memilih. Siapa yang memilih? Bukan orang lain tapi Anda sendiri. Karena Anda
tidak hidup sendiri dan ada orang tua, anak, kawan, sahabat maka mintalah saran
dan nasihat. Namun Andalah yang memutuskan apa yang harus dilakukan setelahnya
dan bukan orang lain yang mengarahkan dan mengendalikan serta menentukan jenis
kehidupan macam apa yang harus dijalani.
Ketika
kita berada dalam kebimbangan memilih sebuah keputusan dan jenis kehidupan yang
harus kita jalani, berdoalah sebagaimana dikatakan dalam Mazmur 27:11, Horeni YHWH darkeka, unekheni beorakh
mishor, lema’an shoreray (Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya YHWH, dan
tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku). Kata Ibrani horeni merupakan bentuk hiphil imperatif dari kata yara yang
artinya “melempar sasaran” atau “mengajar”. Jika dibaca secara hurufiah, maka
kalimat הורני יהוה דרכך (Horeni YHWH darkeka) dapat diterjemahkan, “Ajarkanlah
jalan-Mu ya YHWH”.
Namun
karena kalimat ini merupakan suatu bentuk permohonan kepada YHWH, maka kata horeni dapat diartikan memohon petunjuk
kepada YHWH. Dalam beberapa ayat dikatakan al., Derakeka YHWH hodi’eni (Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya
YHWH, tunjukkanlah itu kepadaku, Mzm 25:4). Kata hodi’eni merupakan bentuk hiphil
imperatif dari kata yada yang
artinya “mengenal”, “mengetahui”.
Marilah
kita menjadi diri sendiri dan tidak membiarkan diri kita dikendalikan oleh
pendapat orang lain. Mintalah saran jika diperlukan namun Andalah yang
memutuskan. Mintalah petunjuk pada Tuhan saat diliputi kebimbangan. Namun Andalah
yang harus berjalan dan menghadapi semua kemungkinan.
No comments:
Post a Comment