Beberapa waktu lalu saya menerima pesan melalui media
sosial Whatsapp dengan judul, Sejarah
Nama Allah Masuk ke Alkitab Indonesia. Dalam tulisan singkat itu dibuka
dengan kalimat, “Sejak awal terjemahan
Alkitab Indonesia, Penterjemah dibantu oleh orang Muslim yang adalah Haji
bernama Haji Abdul Kadir Munsyi dari Malaysia (1796-1854), saat diminta
pendapatnya oleh misionaris bule, maka Haji Abdul Kadir Munsy menyodorkan nama
Allah yang dia sembah dalam mesjid sebagai orang Muslim untuk terjemahkan kata
Elohim (bhs Ibrani) dan Theos (bhs Yunani) dan God (bhs Inggris) ke dalam
bahasa Indonesia, maka karena saat itu kurangnya tersedia informasi yang
akurat, akhirnya diputuskan nama Allah masuk ke Alkitab Indonesia sampai
sekarang dan hari ini nama Allah masih bercokol di Alkitab Indonesia (LAI)”.
Sebagai
orang yang bergiat sejak tahun 1999 mengritisi penggunaan nama Allah (merespon
tulisan-tulisan yang dipublikasikan Christian
Centre Nehemia dan Beth Yeshua)
dan memberitakan relevansi nama Yahweh, saya prihatin melihat berbagai metode
pemberitaan yang kerap tidak didasarkan riset mendalam dan tidak didukung
berbagai data literatur yang akurat. Akibatnya lahirlah berbagai ajaran dan
argumentasi yang ganjil, prematur atau mungkin dituding oleh kelompok yang
tidak sepaham sebagai “kurang cerdas”.
Berbagai pernyataan yang mengatakan
tulisan di kayu salib membentuk formasi nama YHWH, Kitab Perjanjian Baru
ditulis dalam bahasa Ibrani dsj hanyalah salah satu contoh kedangkalan riset.
Jika
kita membaca sejarah penerjemahan Kitab Suci sebelum kelak diambil alih oleh Lembaga
Alkitab Indonesia (1954), proses penerjemahan telah dilakukan
sebelumnya oleh orang-orang Belanda. Jauh sebelum keterlibatan Abdulah pada
tahun 1800-an, yang pertama menerjemahkan naskah Matius ke dalam bahasa Melayu
adalah Albert Ruyl (1629).
Merujuk pada makalah DR. P.D. Latuihamalo yang dibacakan oleh DR. Katopo dalam Sarasehan Terjemahan Alkitab mengenai kata TUHAN dan ALLAH yang diselenggarakan di Bandung, Tgl 5 Juni 2001, kita mendapatkan informasi sbb:Tahun 1629, Albert Corneliz Ruyl, seorang pegawai tinggi VOC berpangkat Onderkoftman, menerjemahkan Kitab Injil Matius dari bahasa Yunani kebahasa Melayu dan bahasa Belanda. Adapun transkripsi terjemahan mengenai konsep Ketuhanan sbb: Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4), Iesous diterjemahkan menjadi Yesus (Mat 1:1), Christos diterjemahkan menjadi Christus (Mat 16:16), Abraam menjadi Ibrahim (Mat 1:1) Pada tahun 1733, Melchior Lejdecker dan H.G. Klinkert pada tahun 1879 menerjemahkan dengan pola sbb: Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4), Iesous diterjemahkan menjadi Isa (Mat 1:1), Christos diterjemahkan menjadi Al Masih (Mat 16:16) (Teguh Hindarto, Meninjau Ulang Penggunaan Nama Allah Dalam Terjemahan Versi Lembaga Alkitab Indonesia - https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2011/05/meninjau-ulang-penggunaan-nama-dalam.html)
Berbagai upaya penerjemahan Kitab Suci sebelum LAI mengambil alih tahun 1954, akan saya kutipkan saja dari artikel berjudul Terdjemahan Kitab Sutji di Indonesia(http://sejarah.sabda.org/artikel/terdjemahan_kitab_sutji.htm) sbb:
"Baru sadja orang Belanda sampai di Indonesia, Kitab Sutji mulai diterdjemahkan dalam bahasa Melaju, bahasa kebudajaan dimasa itu. Dalam tahun 1612 diterbitkan indjil Mateus dan tahun 1638 indjil Markus, dalam bahasa Melaju pakai tulisan arab. Terdjemahan itu dikerdjakan oleh seorang pegawai Kompeni Belanda jakni Cornelis Ruyll. Dalam tahun 1646, diterbitkan indjil Lukas dan indjil Johanes oleh pegawai Kompeni lain, jakni J.van Hazel. Djadi keempat indjil sudah tersedia dalam tahun 1646.
Terdjemahan seluruh Kitab Sutji dalam bahasa Melaju jang lama dipakai ialah: "Elkitab ija itu segala Surat perdjandjian Lama dan Baru", jang dikerdjakan oleh Dr. Melchior Leydekker (sampai Ef. 6,7) dan Ds. P. van der Vorm. Karyanja dimulai oleh Leydekker dalam tahun 1691 dan diteruskannja hingga meninggal tahun 1701; dalam tahun itu djuga karyanja diselesaikan oleh P.v.d.Vorm. Bahasa jang dipakai ialah "bahasa Melaju Tinggi", djadi bahasa kuno dan bahasa sastera. Tetapi bahasa itu sukar dimengerti oleh rakjat, jang mempergunakan "bahasa pasar", terutama di Maluku (chusus untuk rakjat di Maluku terdjemahan itu dimaksudkan). Tambahan pula Leydekker menggunakan banjak perkataan asing, kata-kata Arab dan Parsi. Itupun sebabnja, maka terdjemahan itu mendapat perlawanan gigih, terutama dari pihak Ds. Francois Valenteyn. Dia itu telah menterdjemahkan seluruh Kitab Sutji kedalam bahasa Melaju - Maluku. Perselisihan agak lama berlangsung tetapi diachiri oleh Kompeni Belanda dengan menerima terdjemahan Leydekker, setelah Valenteyn meninggal dalam tahun 1727. Terdjemahan itu direvisir sekali lagi dan diterbitkan dalam tahun 1733. Terdjemahan ini dalam abad XX masih beberapa kali ditjetak jakni tahun 1905, 1911, 1916 dan di Ambon masih dipakai djuga.
Tetapi umumnja terdjemahan Leydekker sudah lama tidak memuaskan. Maka dari itu Lembaga Alkitab Belanda (NBS) menjuruh H.C. Klinkert mengusahakan terdjemahan baru, jaitu dalam tahun 1863. Dalam tahun 1879 terdjemahan itu diterbitkan dan hingga dewasa ini dipakai oleh geredja keristen di Minahasa. Disamping itu suatu terdjemahan lain dalam bahasa Melaju dikerdjakan oleh Dr.W.C.Shellabear atas pesan Lembaga Alkitab Inggris untuk luar Negeri (BFBS) dan diterbitkan dalam tahun 1913 (untuk Malaka).
Atas pesan Lembaga Alkitab Belanda dan Lembaga Alkitab Inggeris Ds.W.A Bode dalam tahun 1930 mulai membuat terdjemahan baru lagi. Dalam tahun 1938 Perdjandjian Baru diterbitkan serta mendapat sambutan jang hangat. Sebelum Ds. Bode dapat menjelesaikan Perdjandjian Lama, ia meninggal akibat perang (tahun 1942). Kitab-kitab Perdjandjian Lama jang sudah selesai tidak diterbitkan.
Kitab Sutji dalam bahasa Indonesia (Melaju), jang diterbitkan dewasa ini oleh Lembaga Alkitab Indonesia (sedjak tahun 1954) ialah: terdjemahan Klinkert dalam Perdjandjian Lama, dan terdjemahan Bode dalam Perdjandjian Baru"
Dari kutipan sumber kuno di atas, kita dapati fakta bahwa jauh sebelum Abdulah bin Abdul Munsy terlibat sebagai jasa penerjemah, sudah ada upaya penerjemahan dalam bahasa Melayu dan menggunakan nama Allah oleh Ruyll (1629) dan Lejdecker (1733) dan masih ada sejumlah nama lainnya setelah itu. Tidak ada catatan penting yang menyebutkan peran menonjol Abdullah bin Abdul Munsy dalam laporan kuno tersebut.
Dalam teks terjemahannya berbahasa Melayu ditulis,
Ruyl sudah memasukkan nama Allah sebagaimana bunyi terjemahan Matius 19:6, “Makka tiada’nja lagi dua, tetapi daging
fatu. Karena itu fegala yang ber-ikat Allah, tiada bertjereiken manufea”.
Demikian
pula terjemahan Lejdecker (1733), “Sebab
itu barang jang Allah fudah berdjudukan, djangan manufija mentjerejkan itu”.
Sekalipun saya tidak menggunakan nama Allah dan memilih menggunakan kata Tuhan untuk menerjemahkan Elohim/Theos/God dan menggunakan kata Tuan/Junjungan Agung atau Tuan Yang Ilahi/Junjungan Agung Yang Ilahi untuk Kurios/Adon/Lord, namun kejujuran ilmiah tetap harus ditegakkan bahwa masuknya dan dipergunakannya nama Allah bukan oleh Abdullah bin Abdul Munsy tapi sudah dilakukan jauh sebelumnya dan dipilih oleh para penerjemahn Belanda ke dalam bahasa Melayu. Itupun tentunya dengan mempertimbangkan berbagai masukkan dari orang Melayu non Kristen.
Marilah
kita membangun argumen yang rasional, dapat dipertanggungjawabkan, jujur, untuk
mengokohkan apa yang kita yakini.
No comments:
Post a Comment