Suatu
ketika, CEO (Chief Executive Officer, alias pemegang kekuasaan tertinggi dalam
perusahaan) perusahaan ingin mempekerjakan seorang pemuda yang cerdas untuk
proyek barunya yang akan datang. Ia harus memastikan bahwa orang tersebut harus
memiliki rasa ingin tahu dan harus memiliki kemampuan untuk berpikir out of the box alias di luar kotak.
Ia
menyadari bahwa untuk mengidentifikasi pelamar yang paling cerdas dan paling
ingin tahu di antara banyak pelamar, ia perlu merevisi metode bertanyanya agar
lebih kreatif dan konvensional. Jadi, wawancara pun dimulai dan sebagian besar pelamar
kerja terkejut karena ia akan meminta mereka untuk memilih dari pilihan yang
diberikan.
Ia
memulai bertanya demikian, "Saya punya satu pertanyaan yang sangat sulit
dan sepuluh pertanyaan yang mudah. Mana yang akan Anda pilih?" Jawaban
sebagian besar pelamar dapat diprediksi - mereka memilih sepuluh pertanyaan
yang mudah dan sedikit yang memilih yang sulit, tidak dapat menjawab dengan
benar, sampai satu pelamar masuk dan memberikan jawaban mengejutkan. Ketika ia
masuk,CEO tersebut bertanya apakah ia lebih suka satu pertanyaan yang sulit
atau sepuluh pertanyaan yang mudah.
Pelamar
itu berkata, "Yang sulit". CEO melanjutkan, "Apa yang lebih dulu
- siang atau malam?" CEO tahu ini adalah pertanyaan jebakan dan menunggu
pelamar melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan orang lain.
Pelamar itu menjawab, "Siang lebih dulu". CEO berkata, "Lho,
bukankah siang datang setelah malam. Bagaimana Anda bisa membuktikannya?"
Pelamar itu dengan cepat menjawab, "Anda hanya mengatakan satu pertanyaan
sulit, bukan dua". CEO itu tahu bahwa ia telah menemukan manajer proyek
barunya. Dengan tersenyum lebar dia menjabat pelamar tersebut dan berkata,
“Selamat!”
Nilai
moral apa yang bisa kita peroleh dari kisah di atas? Pertama, orang-orang terpintar bukanlah mereka yang memiliki
jawaban terbanyak, sebaliknya tetapi mereka yang memahami pertanyaannya. Kedua, keyakinan, kejelasan, dan
ketenangan pikiran sering kali berbicara lebih keras daripada pengetahuan. Ketiga, hidup terus memberi kita
pertanyaan jebakan. Belajarlah untuk menanggapi bukan bereaksi. Keempat, jangan pernah mencoba untuk
menjelaskan secara berlebihan. Berpikir, berhenti sejenak. Bersikaplah tepat.
Kita
garis bawahi point ketiga bahwa hidup terus memberi kita pertanyaan jebakan.
Benarkah? Sering kali kita tidak meyadari jika kerap diperhadapkan pada sebuah
pertanyaan jebakan melalui berbagai pilihan-pilihan yang harus kita ambil dalam
hidup ini. Ambil contoh, “Apakah saya harus menerima uang ratusan juta rupiah di
bawah tangan untuk meloloskan perkara hukum seseorang?” Sebagai hamba hukum
(entahkah polisi, jaksa, hakim) Anda diberikan pada pilihan-pilihan sulit dan
menjebak. Jika Anda menerima uang suap, berpotensi ketahuan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bermasalah di kemudian hari namun di sisi lain
mendapatkan uang lebih dengan cepat dan lebih besar dari gaji Anda. Bukankah
kasus kerap membuat kita terjebak pada pilihan jawaban dan tindakan yang
keliru?
Ambil
contoh lagi, “Apakah saya harus melepaskan keyakinan Kristiani saya ketika
syarat sebuah pencalonan dalam bursa politik kepala daerah harus mensyaratkan
mengikuti agama mayoritas, meskipun secara tertulis tidak ada aturan tersebut?”
Sebagai seorang calon kepala daerah Anda diperhadapkan pada pertanyaan dan
pilihan yang sulit serta menjebak hidup Anda. Jika Anda memilih melepaskan
keyakinan Kristiani dan kemudian terpilih, secara keimanan telah melepaskan
janji keselamatan dan hidup kekal namun Anda memiliki kekuasaan yang Anda
inginkan.
Amsal
19:2 berkata, “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang
tergesa-gesa akan salah langkah”. Yakobus 1:19 berkata pula, “Hai
saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah
hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk
berkata-kata…”. Kita semua akan menghadapi berbagai situasi dalam kehidupan di
mana kita harus memilih dan pilihan yang kita putuskan tentu akan membawa
konsekwensi, menguntungkan atau merugikan. Ada kalanya kita akan memberikan
jawaban dan pilihan yang keliru dan membawa kerugian. Namun demikianlah hidup
akan selalu memberikan kita pertanyaan dan pilihan yang menjebak.
Dalam
hal ini kita memerlukan ketenangan dan hikmat Tuhan. Itulah sebabnya nilai
moral kedua dari kisah yang telah kita dengar adalah keyakinan, kejelasan, dan
ketenangan pikiran sering kali berbicara lebih keras daripada pengetahuan.
Yesaya 30:15 berkata, Behasqet uvevitkhah
tihyeh gevuratekem (dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu).
Pengkotbah 4:6 menuliskan, Tov melo kaf
nakhat mimelo khafenayim ‘amal ureut ruakh (segenggam ketenangan lebih baik
dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin).
Menjadi
tenang itu tidak tiba-tiba. Tidak ada sekolahnya untuk menjadi tenang. Kita
harus berlatih menjadi tenang dengan cara tidak bereaksi berlebihan saat
situasi yang memojokkan datang dalam hidup kita. Bereaksi tenang agar berfikir
serta memberikan respon dengan tenang. Persoalan dalam hidup adalah medan
latihan kita untuk menjadi tenang.
Sebagaimana
Yesus Sang Mesias dan Junjungan Agung Ilahi kita menjawab “ada tertulis” ketika
diberikan pertanyaan jebakan dan pilihan yang melenakan oleh Iblis/Satan,
demikianlah kita belajar untuk mencari hikmat dan pengetahuan Tuhan melalui
sabda-Nya saat kita diperhadapkan pada situasi kehidupan yang menjebak dan
menyudutkan diri kita.
No comments:
Post a Comment