Tindakan
membasuh kaki seseorang atau menyentuh kaki merupakan bagian ritual universal
dalam sistem kebudayaan manusia. Dalam masyarakat Jawa saat prosesi pernikahan
adat ada prosesi pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria[1].
Dalam tradisi Bali saat ini dihidupkan kembali tindakan membasuh kaki orang tua
yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit[2].
Dalam
budaya Timur Tengah kuno khususnya Israel kuno, dapat dilacak tindakan
pembasuhan kaki menjadi bagian dari tradisi sosial dan bagian dari ritual keagamaan.
Kita akan mengutip beberapa kasus sbb:
“Kemudian YHWH menampakkan
diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu
kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga
orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu
kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah, serta berkata:
"Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui
hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah
kakimu (rakhatsu ragleyhem) dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini”
(Kej 18:1-4)
“Berfirmanlah YHWH kepada
Musa: "Haruslah engkau membuat bejana dan juga alasnya dari tembaga, untuk
pembasuhan, dan kautempatkanlah itu antara Kemah Pertemuan dan mezbah, dan
kautaruhlah air ke dalamnya. Maka Harun dan anak-anaknya haruslah membasuh tangan dan kaki mereka dengan air (rakhatsu et yadeyhem we et ragleyhem)
dari dalamnya. Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan, haruslah mereka membasuh tangan dan kaki dengan air,
supaya mereka jangan mati. Demikian juga apabila mereka datang ke mezbah itu
untuk menyelenggarakan kebaktian dan untuk membakar korban api-apian bagi YHWH,
haruslah mereka membasuh tangan dan kaki
mereka, supaya mereka jangan mati. Itulah yang harus menjadi ketetapan bagi
mereka untuk selama-lamanya, bagi dia dan bagi keturunannya turun-temurun” (Kel
30:17-21)
Dalam
literatur Rabinik yaitu Talmud menghubungkan pembasuhan kaki sebagai bentuk
ketaatan seorang istri pada suaminya (Ketuvot 61 a)[3],
pembasuhan kaki sebagai prasyarat bagi seorang imam sebelum melakukan tugas
keimamaman (Zevakhot 17b-18a, 19b)[4].
Dalam
lingkungan sosial kebudayaan Yerusalem di zaman Yesus, pembasuhan kaki
merupakan tindakan penghormatan dari mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
rendah kepada seseorang yang dhormati.
“Seorang Farisi mengundang
Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu,
lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai
seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di
rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi
minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat
kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu
dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium
kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu” (Luk 7:36-38)
“Enam hari sebelum Paskah
Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari
antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia dan Marta melayani,
sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. Maka Maria
mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan
rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu” (Yoh 12:1-3)
Namun
ada peristiwa tidak biasa di malam menjelang Paskah. Yohanes mencatat tindakan
tidak biasa tersebut sbb:
“Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus
telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.
Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia
mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya…Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan
jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada
pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu
menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yoh 13:1,4-5).
Bagaimana
mungkin seorang Guru (Rabi) yang memiliki sosial sosial yang cukup tinggi
melakukan tindakan yang hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki status
sosial yang lebih rendah? Di zaman itu, seorang Yahudi yang kedatangan tamu
jauh akan mempersilahkan tamunya masuk dan tugas membasuh kaki hanya dilakukan
oleh seorang budak non Yahudi. Bahkan budak dari kalangan Yahudi pun tidak akan
diperkenankan melakukan pembasuhan kaki sang tamu?[5]
Mengapa Yesus melakukan tindakan yang diluar kebiasaan tersebut? Tidaklah heran
jika Petrus bertanya pada Sang Rabi, “Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus.
Kata Petrus kepada-Nya: "Tuan (Kurios, Adon), Engkau hendak membasuh
kakiku?" (Yoh 13:6)
Usai
melakukan pembasuhan kaki para muridnya, Yesus tidak menjelaskan apa maksud
tindakannya selain memerintahkan para murid-muridnya untuk meneladani
tindakannya sebagaimana beliau sabdakan,
“Sesudah Ia membasuh kaki
mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata
kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu
menyebut Aku Guru dan Tuan[6],
dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuan. Jadi jikalau Aku membasuh
kakimu, Aku yang adalah Tuan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh
kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga
berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:12-15)
Dalam perkembangannya, ritual pembasuhan
kaki, kemudian menjadi bagian dari kesalehan jemaat Kristiani sebagaimana
dikatakan,
“Yang
didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh
tahun, yang hanya satu kali bersuami dan yang terbukti telah melakukan
pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman,
menolong orang yang hidup dalam kesesakan -- pendeknya mereka yang telah
menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik” (1 Timotius 5:9-10)
Para Bapa Gereja dalam berbagai
tulisannnya menjadikan ritual pembasuhan kaki sebagai bagian
peribadatan. Tertullian (145-220) menyebutkan
praktek tersebut
dalam bukunya De Corona, tetapi tidak
memberikan rincian siapa berlatih atau bagaimana
hal itu dipraktekkan. Irenaeus, (180 Ms) menuliskan, "Bagi dia yang
membasuh kaki para murid, telah menyucikan seluruh tubuh, dan menjadikan itu bersih”. Klement dari
Alexandria (195 Ms) menuliskan, “Dia yang membasuh kaki orang kudus, maka dia
dengan tanpa rasa malu telah melakukan pelayanan terendah bagi orang-orang
kudus”
Tradisi
tersebut masih dipertahankan dengan baik di lingkungan gereja Ortodox dan
Katolik[7]
dan beberapa lingkungan gereja non Katolik dan Ortodox sampai hari ini.
Berkaca
dari peristiwa dan tindakan Yesus menjelang Paskah, selayaknya kita melakukan
apa yang telah diperintahkan dan diteladankan Yesus menjelang pelaksanaan
peringatan kewafatan Yesus yang pelihara dengan melakukan jamuan Pesakh (Seder
Pesakh)[8].
Dengan kita memelihara dan melakukan pembasuhan kaki diantara sesama warga
jemaat atau antar keluarga menjelang Paskah (terlepas ada perbedaan tradisi
disekitar kapan dan bagaimana perayaan Paskah dilaksanakan diantara denominasi
Kristen), maka kita bukan hanya meneruskan teladan moralitas yang ditinggalkan
Yesus Juruslamat dan Junjungan Agung kita yaitu mengenai kerendahan hati (ha
gashah), melainkan juga menjadi kekuatan perekat sosial diantara sesama
manusia.
Sosiolog
Emile Durkheim menggagas istilah “perekat sosial” (social glue) yang bersumber
dari nilai-nilai agama dan tradisi masyarakat[9].
Dalam masyarakat modern dan perkotaan yang telah mengembangkan solidaritas
organik (ikatan solidaritas yang didasarkan pembagian tugas dan pekerjaan)
tinimbang solidaritas mekanik (ikatan solidaritas yang didasarkan nilai-nilai
tradisi, agama), berbagai kemajuan teknologi yang merambat dalam segala bidang
telah mengubah interaksi dan relasi sesama manusia menjadi lebih
individualistik dan materialistik. Masyarakat yang individualistik dan
materialistik menjadi manusia yang teralienasi (terasing) satu sama lain.
Karena mereka teralienasi, maka ikatan sosial antara satu individu dengan
individu lainnya menjadi renggang.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam berbagai upacara keagamaan – dalam hal ini ritual
pembasuhan kaki – akan mengikis proses individualisasi akibat modernisasi.
Ketika seseorang terlibat dalam ritual pembasuhan kaki, maka seseorang
menjadikan dirinya pelayan bagi yang lain demikian sebaliknya. Ketika seseorang
terlibat dalam ritual pembasuhan kaki, maka seseorang berinteraksi dengan
individu lainnya dalam kolektifitas (kebersamaan). Bukankah modernisasi dalam bebrerapa
hal telah menggeser nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang salah satunya kerendahan
hati dan kebersamaan menjadi iklim kompetisi dan individualistik? Ritual
pembasuhan kaki bukan hanya memiliki nilai religius yaitu keteladan Yesus
mengenai kerendahan hati namun memiliki nilai sosial yaitu menjadi perekat
sosial yang mengikis individualisasi dan alienasi.
Marilah
kita saling membasuh kaki saudara seiman dan meneladani tindakan Guru (Raban) dan
Tuan (Maran) kita Yesus Sang Mesias agar hati kita dibebaskan dari peninggian
diri dan semakin menghargai kemanusiaan dan perbedaan dala interaksi
kemanusiaan.
END NOTES
[1]
Adat Istiadat Suku Jawa: Kehamilan Hingga Kematian
http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm
http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm
[2] Hidupkan
Tradisi Majapahit, Sang Putra Membasuh Cokor Ratu Aji
http://vedakarna.net/hidupkan-tradisi-majapahit-sang-putra-membasuh-cokor-ratu-aji/
http://vedakarna.net/hidupkan-tradisi-majapahit-sang-putra-membasuh-cokor-ratu-aji/
[3] Babilonian
Talmud: Tractat Kethuboth 61 a
http://www.come-and-hear.com/kethuboth/kethuboth_61.html
http://www.come-and-hear.com/kethuboth/kethuboth_61.html
[4] Ritual
Washing of Hands and Feet - Kiddush Yadayim veRaglayim
http://www.webshas.org/taharah/kiddush.htm
http://www.webshas.org/taharah/kiddush.htm
[5] Understanding
the Washing of the Feet
http://www.patheos.com/blogs/godandthemachine/2012/04/washing-of-the-feet/
http://www.patheos.com/blogs/godandthemachine/2012/04/washing-of-the-feet/
[6]
Mengenai sebutan “Tuan” (Kurios, Adon) bagi Yesus, silahkan membaca tulisan
saya sbb:
Teguh Hindarto, “Haruskah Gelar Kurios (Adon) Bagi Yesus diterjemahkan Tuhan?”
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/04/haruskah-gelar-kurios-adon-bagi-yesus.html
Teguh Hindarto, “Haruskah Gelar Kurios (Adon) Bagi Yesus diterjemahkan Tuhan?”
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/04/haruskah-gelar-kurios-adon-bagi-yesus.html
[7] Why
is the pope washing prisoners’ feet?
http://religion.blogs.cnn.com/2013/03/28/why-is-the-pope-washing-prisoners-feet/
http://religion.blogs.cnn.com/2013/03/28/why-is-the-pope-washing-prisoners-feet/
[8]
Teguh Hindarto, Perjamuan Malam Terakhir dan Seder Pesakh Ibrani
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/03/perjamuan-malam-terakhir-dan-seder.html
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/03/perjamuan-malam-terakhir-dan-seder.html
[9]
Seta Basri, Proses Pembentukan Masyakarat dan Perubahan Masyarakat Menurut
Lenski, Max Weber, dan Durkheim
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/proses-pembentukan-masyarakat-dan.html
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/proses-pembentukan-masyarakat-dan.html
terima kasih untuk makanan yang bergizi ini. God Bless.
ReplyDelete