Menarik membaca narasi
Filipi 2:1-11 khususnya Filipi 2:5-7 yang kerap dihubungkan dengan sebuah
konsep dalam Teologia yaitu doktrin Kenosis
atau pengosongan diri Yesus. Teori Kenosis
ini baru mendapat ekspresi teologisnya melalui tulisan dari Sartorius, pada
tabun 1831. Penjelasan sistematis dan teologis dari Teori Kenosis ini baru muncul pada tahun 1845 dalam artikel-artikel yang
ditulis oleh Gottfried Thomasius (1802-1875). Pandangan lengkap Thomasius dapat
dibaca dalam dua jilid pertama bukunya, Christ's
Person and Work: A Presentation of Evangelical Lutheran Dogmatics from the
Central Point of Christology (Hendra G. Mulia, Sejarah dan
Tinjauan Kritis Terhadap Teori Kenosis, dalam Jurnal Pelita Zaman, Vol
7 No. 1 Tahun 1992). Persoalan kenosis
Yesus telah menjadi wilayah perdebatan panjang para teolog dari berbagai mazhab
yang dituangkan dalam banyak buku dan jurnal teologia.
Konsep kenosis bermula dari pernyataan dalam
Filipi 2:7 yaitu, “yang walaupun dalam
rupa Tuhan, tidak menganggap kesetaraan dengan Tuhan itu sebagai milik yang
harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Frasa “melainkan telah mengosongkan diri-Nya” dalam teks Yunani, “alla heauton ekenoosen”. Ada banyak interpretasi terkait makna dan
implikasi kata kenosis (pengosongan)
yang dihubungkan dengan diri Yesus. Donald Guthrie mengelompokkan dalam tiga
kelompok interpretasi. Pertama,
mereka yang menganggap bahwa Yesus benar-benar menanggalkan ketuhanan-Nya
sehinga belia sepenuhnya manusia biasa. Kedua,
mereka yang menafsirkan bahwa pengosongan bermakna penundaan status “setara
dengan Tuhan” yang hanya berlaku selama wujud kemanusiaan sebelum Yesus kembali
ke sorga. Ketiga, mereka yang
menafsirkan sebagai bentuk penghapusan diri dari sifat yang diperlawankan yaitu
peninggian diri (Teologi Perjanjian Baru I, 1992:395).
Sebelum kita memahami
makna kenosis bagi Yesus sebaiknya kita
menganalisis sejumlah kata atau istilah-istilah sebelum dan sesudahnya dalam
teks Filipi 2:6-7 yaitu, morphe Theou
(rupa Tuhan), isa Theoi (setara
dengan Tuhan), morphe doulou (rupa
hamba), homoiomati anthropon (sama
seperti manusia). Dengan meletakkan semua hubungan kata dan kalimat serta
istilah-istilah tersebut, sekiranya kita dapat menafsirkan makna kenosis dengan cara yang masuk akal dan
tidak bertabrakkan dengan teks-teks lain dalam Kitab Perjanjian Baru perihal
status keilahian dan kemanusiaan Yesus.
Berbicara perihal teks-teks
lain dalam Kitab Perjanjian Baru khususnya Yohanes 1:1,14 kita telah
mendapatkan pemahaman yang tegas bahwa hakikat Yesus adalah Sang Firman yang
setara dan sehakikat serta melekat dengan Tuhan yang diekspresikkan dengan
kalimat, “Firman itu bersama dengan Tuhan”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Sang Firman bisa dibedakan dengan Tuhan
dan Sang Firman ada dalam Tuhan. Namun serentak Sang Firman yang bisa dibedakkan
ini tidak berdiri sendiri di luar Tuhan dan tidak dapat dipisahkan karena Sang
Firman ada dalam wujud Tuhan. Oleh karenanya dikatakan, “Firman itu adalah Tuhan”. Maksud kalimat ini bermakna bahwa Sang
Firman bukan ciptaan melainkan bagian dalam diri Tuhan dan memiliki sifat
Ketuhanan. Dari perspektif inilah kita dapat memahami istilah morphe Theou (rupa Tuhan), isa Theoi (setara dengan Tuhan) bukan
bermakna Yesus adalah Sang Tuhan (Elohim/Theos/God) melainkan Sang Firman Tuhan
yang setara dan sehakikat serta melekat dengan Tuhan karena memiliki sifat
Ketuhanan.
Jika Yohanes 1:1
mendeskripsikan sifat dan hakikat pra Ada Yesus sebagai Sang Firman yang
setara, sederajat, melekat dalam Tuhan maka Yohanes 1:14 berbicara perihal Sang
Firman yang menjadi manusia yang dalam bahasa teologia diistilahkan Inkarnasi. Kata Inkarnasi dari bahasa
Ingris Incarnation dari kata Latin
dalam Kitab Vulgata saat menerjemahkan frasa Yunani en sarki (menjadi daging/manusia) dengan in carne (menjadi daging/manusia) dalam 1 Timotius 3:16, “Dan sesungguhnya
agunglah rahasia ibadah kita: Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh;
yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara
bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan; yang dipercayai di dalam dunia,
diangkat dalam kemuliaan”. Jika kita membaca
seksama deskripsi Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi manusia, dan
diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang
diberikan kepada-Nya sebagai Anak
Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”, dapatlah kita simpulkan
bahwa yang menjadi manusia (inkarnasi) adalah Sang Firman yang setara dan
sehakikat dengan Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Dan fakta ini dipertegas
dalam Yohanes 1:18 bahwa Sang Firman yang menjadi manusia itu disebut dengan
Anak Tunggal Tuhan (sebagaimana sebelumnya dikatakan dalam Yohanes 1:14),
“Tidak seorang pun yang
pernah melihat Tuhan; tetapi Anak
Tunggal Tuhan, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya”.
Pemahaman siapa yang
berinkarnasi atau menjadi manusia ini diperlukan agar tidak menimbulkan
kekacauan pemahaman dalam Ketuhanan. Dengan pemahaman bahwa yang berinkarnasi
adalah Sang Firman maka kita dapat menjelaskan secara logis saat Yesus berdoa
di taman Getsemani (Luk 22:41-46), bermakna Sang Firman yang menjadi manusia
berdoa kepada Sang Bapa yaitu Tuhan yang dalam TaNaKh bernama YHWH (Kel 3:15,
Yes 64:8). Seandainya yang menjadi manusia adalah Tuhan Sang bapa itu sendiri,
maka akan ada kekacauan teologis bahwa Tuhan berdoa pada Tuhan dan Sang Bapa
berdoa pada Sang Bapa. Demikian pula dengan kasus seruan Yesus menjelang
ajalnya, Eli-Eli lama sabakhtani?
(Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan Aku – Mat 27:46) hanya dapat
dijelaskan secara logis bahwa yang berseru adalah Sang Firman yang telah
menjadi manusia Yesus kepada Tuhan-Nya, Bapa-Nya. Pemahaman perihal siapa yang
berinkarnasi pun akan mempermudah penjelasan perihal kalimat, “Itulah sebabnya Tuhan sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di
atas segala nama” (Fil 2:7). Bagaimana mungkin Yesus ditinggikan Tuhan jika
Dia adalah Tuhan yang menjadi manusia? Yang lebih logis adalah karena Yesus
adalah Sang Firman Tuhan yang menjadi manusia maka Tuhanlah yaitu YHWH Sang
Bapa yang meninggikan Yesus.
Penegasan bahwa Yesus
adalah Sang Firman yang menjadi manusia dikatakan oleh Yohanes sbb, “Lalu
aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya
bernama: "Yang Setia dan Yang Benar", Ia menghakimi dan berperang
dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat
banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui
seorang pun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam
darah dan nama-Nya ialah: "Firman
Tuhan." Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka
menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari
mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan
Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam
kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Tuhan, Yang Mahakuasa. Dan pada
jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: "Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan” (Why 19:11-16). Di bagian
lain dari Kitab Perjanjian Baru dikatakan, “Apa
yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat
dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan
tangan kami tentang Firman hidup --
itulah yang kami tuliskan kepada kamu” (1 Yoh 1:1).
Dari perspektif Yohanes 1:1-18 dan 1 Yohanes 1:1 serta
Wahyu 19:13, dapatlah kita sekarang memutuskan makna kenosis (pengosongan diri) Yesus bukan diartikan secara
materialistik sebagai penghilangan sifat keilahian Sang Firman sehingga saat
menjadi manusia Yesus, tidak memiliki sifat keilahian sama sekali. Baik sifat
keilahian dan kemanusiaan berada dalam diri Yesus tanpa percampuran dan tanpa
perubahan sebagaimana kredo Konsili Kalsedon (451 Ms). Kenosis yang dihubungkan dengan diri Yesus lebih menunjukkan sebuah
proses transisi yang dbahasakan oleh
Yohanes “Sang Firman menjadi manusia” namun oleh Rasul Paul diistilahkan “mengosongkan
diri-Nya” dari kondisi dan status morphe Theou (rupa Tuhan) dan isa Theoi (setara dengan Tuhan) menjadi morphe doulou (rupa hamba) dan homoiomati
anthropon (sama seperti manusia). Dengan kata lain, Yohanes menggunakan
deskripsi “Sang Firman yang menjadi manusia”, sementara Rasul Paul menggunakan
istilah “pengosongan diri”.
Di atas semua penjelasan
di atas, konsep kenosis yang
dihubungkan dengan diri Yesus oleh Rasul Paul dipergunakan sebagai analogi dan jembatan
pemahaman perihal konsep kerendahan hati Yesus yang seharusnya menjadi teladan
para murid dan orang berimana sebagaimana dikatakan, “..dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang
sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang
lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya
memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah
kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga
dalam Mesias Yesus” (Fil 2:3-5). Dengan kata lain, Rasul membangun konsep
Etika Kristen perihal kerendahan hati dengan membuat analogi kenosis Yesus.
Sang Firman yang telah
menjadi manusia dan telah mengosongkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia
mengandung pelajaran yang mendalam perihal kerendahan hati. Kerendahan hati
tidak dapat dimiliki dan diperoleh melalui kegiatan akademik. Kerendahan hati
adalah sebuah transformasi spiritual dalam pikiran dan batin manusia
dikarenakan orang beriman, “menaruh
pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Mesias Yesus. Dengan
manunggal-Nya Yesus dalam diri orang beriman maka pikiran dan perasaan Yesus
manunggal dalam diri kita sebagaimana dikatakan, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi
aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku
yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Tuhan
yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20).
No comments:
Post a Comment