Tanpa pemahaman latar
belakang keagamaan Yudaisme Abad 1 Ms dan latar belakang kebudayaan Yahudi pada
zaman itu, maka kita akan kerap gagal memahami pesan-pesan yang tertulis dalam
Kitab Perjanjian Baru karena banyak rekaman percakapan yang sarat dengan idiom
Ibrani sekalipun dikisahkan dalam bahasa Yunani.
Bukan hanya percakapan
yang sarat dengan ekspresi Ibrani, idiom Ibrani atau dituliskan dengan sastra
Ibrani melainkan menggambarkan kehidupan sosial keagamaan Yahudi dan Yudaisme
Abad 1 Ms. Itulah sebabnya DR. David Stern menyarankan untuk mempelajari
teks-teks rabinik (Talmud dll) untuk memahami latar belakang kehidupan sosial
keagamaan Yahudi yang dituliskan dalam Kitab Perjanjian Baru sebagaimana
dikatakan, “Sudut pandang tradisional
rabinik merupakan elemen dasar untuk mendapatkan pengertian yang jelas mengenai
naskah Kitab Perjanjian Baru” (Jewish New Testament Commentary
JNTP, 1998, p. 33).
Salah satu kasus adalah
ketika kita membaca frasa, “Pada suatu
hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan
Yohanes ke Bait Tuhan” (Kis 3:1). Frasa “waktu sembahyang” merujuk pada
konsep Zemanim (waktu doa) dalam
Yudaisme. Dalam Yudaisme dikenal ibadah harian Tefilah Sakharit (pagi), Minkhah
(siang), Maariv (malam).
Tefilah bermakna berdoa. Namun pengertian Tefilah dalam Yudaisme bukan hanya sekedar ucapan spontan kepada
Tuhan yang berisikan permohonan. Tefilah meliputi waktu-waktu tertentu dalam
menghadap Tuhan dan dengan diiringi sikap tubuh yang tertentu. Kitab Suci memberi
petunjuk mengenai waktu tertentu saat Tefilah
sbb, Shakharit, Minha dan Maariv.
Pola ibadah ini merujuk pada waktu peribadahan di Bait Suci (Kel 29:38-42; Bil
28:1-8).
Nabi-nabi dan
raja-raja di Israel kuno melaksanakan tefilah harian sbb: Daud (Mzm 55:17), Daniel (Dan 6:11), Ezra (Ezr 9:5), Yesus Sang Mesias (Luk 6:12), Petrus dan Yohanes (Kis 3:1), Petrus dan Kornelius (Kis 10:3,9). Kitab
Suci memberi petunjuk mengenai sikap tubuh tertentu saat Tefilah sbb: Berdiri (Ul 29:10,Mzm 76:8), Bersujud (Mzm 96:9, Mat 26:39), Berlutut (Mzm 95:6, Kis 20:36), Mengangkat kedua tangan (Rat 3:41;
Mzm 134:2).
Tulisan-tulisan paska rasuli sampai masa Kontantinus Agung (Abad I-IV M)
banyak mengulas eksistensi mengenai ibadah harian berikut varian pemahaman dan
pelaksanaannya. Kitab DidaKe (50-70
M) menasihatkan para orang Kristen untuk berdoa Bapa Kami tiga kali sehari.
Surat pertama Klemens (96-98 M) dari Roma kepada orang Korintus mengenai
kewajiban berdoa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Surat Plinus kepada Trajanus
(112 M) mengenai doa sebelum matahari terbit. Klemens dari Alexandria (150-215
M) menolak pola doa harian Yudaisme dan menggantikan dengan doa sebelum, selama
dan sesudah makan dan menjelang tidur serta bangun tidur. Hypolitus (215 M)
menambahkan doa harian tiga kali sehari dengan doa tidur, tengah malam dan saat
ayam berkokok. Tertulianus (220 M) menyarankan doa harian tiga kali sehari
dengan menghadap ke Timur kearah matahari terbit. Origenes (254 M)
menggarisbawahi empat jam doa harian yaitu pagi, siang, malam dan sebelum
tidur.
Sikap tangan terentang sebagai tanda korban petang serta pembacaan Mazmur
140 sebagai isi doa malam. Siprianus (258 M) melestarikan doa harian Yudaisme (Memahami
Ibadat Harian: Doa Tanpa Henti Semua Anggota Gereja, Maumere:
Ledalero, 2003, hal 19-22).
Yesus dan murid-murid-Nya
tentu saja bukan hanya orang Yahudi tapi bagian dari penganut Yudaisme yang
memiliki kebiasaan melakukan ibadah harian tiga kali sehari. Praktik religius
ini masih dipelihara oleh Gereja Orthodox dengan nama Ashabush Sholawat (sholat tujuh waktu) atau dalam Gereja Katolik Liturgia Hirarum (liturgi waktu).
Para ahli liturgi Kristen pun mengakui bahwa beberapa tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan dalam artikelnya sbb, “Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi” (Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16)
Rashid Rahman menegaskan perihal akar liturgi Gereja dan Kekristenan, “Praktek ibadah harian gereja awal dilatarbelakangi oleh praktek ibadah harian Yudaisme hingga abad pertama. Latar belakang tersebut dapat berupa kontinuitas, diskontinuitas atau pengembangan dari ibadah Yudaisme” (Ibadah Harian Zaman Patristik, Bintang Fajar, 2000, hal 5) Selanjutnya dikatakan Rashid Rahman, “Gereja awal tidak memiliki pola ibadah tersendiri dan asli. Mereka beribadah bersama dengan umat Yahudi dan kemudian mengambil beberapa ritus Yahudi untuk menjadi pola ibadah harian” (Ibid., hal 36)
Gereja dan Kekristenan sejak awal hanyalah salah satu sekte dalam Yudaisme
sebelum pada Abad 2 Ms melepaskan keterkaitannya dengan Yudaisme. Pemahaman
historis ini penting diketahui agar Gereja dan Kekristenan menyadari dan
kembali kepada akar historisnya.
Marilah beribadah harian sebagaimana Gereja
Perdana beribadah harian sebagaimana disaksikan dalam Kitab Perjanjian Baru dan
dalam kitab-kitab ekstrakanonik seperti Kitab Didake Pasal 8, “Berpuasa dan Berdoa (Doa Bapa Kami). Namun
janganlah kamu berpuasa bersama orang-orang munafik, karena mereka berpuasa
pada hari kedua dan kelima dalam seminggu. Sebaliknya, berpuasalah pada hari
keempat dan Hari Persiapan (Jumat). Janganlah berdoa seperti orang-orang
munafik namun sebagaimana diperintahkan Sang Junjungan Agung Yesus dalam
Injilnya, yaitu. Berdoalah setiap tiga kali sehari”.
Bro, boleh dapat sumber bukunya dari mana tentang ibadah harian ini?
ReplyDeleteBukankah referensinya sudah saya sertakan dalam artikel tersebut? Baca dan periksa perlahan
Delete