Saat Rasul Paul memberitakan Injil ke Athena, untuk
pertama kalinya ajaran Injil berjumpa dengan Filsafat Yunani yang kala itu
diwakili oleh pemikiran Stoa dan Epikuros sebagaimana dikatakan, “Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan
Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: "Apakah
yang hendak dikatakan si peleter ini?" Tetapi yang lain berkata:
"Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia
memberitakan Injil tentang Yeshua dan tentang kebangkitan-Nya” (Kis 17:18).
Frasa Yunani Epikoureion kain Stoikon
philosophon secara literal dapat diterjemahkan, “para filsuf Epikurus dan Stoa”. Kaum Stoa percaya bahwa setiap
orang adalah bagian dari satu akal atau logos yang sama. Mereka beranggapan
bahwa setiap orang adalah seperti sebuah dunia miniatur atau mikrokosmos yang
merupakkan cerminan makrokosmos. Ini mendorong pada pemikiran perihal
keberadaan hukum alam yang universal yang didasarkan pada akal manusia yang
abadi. Mereka menyangkal adanya perceraian antara roh dan tubuh atau individu
dan alam. Merekapun mengajarkan untuk menerima takdir apapun yang harus dialami
oleh manusia dengan berani karena segala sesuatu ada sebab dan akibatnya.
Semuanya adalah satu kesatuan yang lazim disebut dengan paham monisme. Kaisar Marcus
Aurelius (121-180 Ms) dan negarawan Cicero (106-43 Ms) adalah pewaris ajaran
Stoa.
Sementara Epicuros yang melanjutkan pemikiran murid Socrates bernama
Aristipus yang memiliki prinsip hidup, “kebaikkan tertinggi adalah kenikmatan”
dan “kejahatan tertinggi adalah penderitaan”. Epicuros mengajarkan untuk
mengatasi rasa takut dan kematian. Sebagaimana ajarannya bertumpu pada
pemikiran Democritos yang tidak mengakui kehidupan setelah kematian karena saat
kematian atom-atom jiwa bertebaran, demikianlah Epikuros mengajarkan bahwa
kematian tidak menakutkan kita. Epikuros terkenal dengan empat ramuan obat
filosofisnya yaitu, “Dewa-dewa bukan
untuk ditakuti. Kematian tidak perlu dikuatirkan. Kebaikkan mudah dicapai.
Ketakutan itu mudah ditanggulangi”. Jika pemikiran Stoa dekat pada
Panteisme (segala sesuatu memiliki nyawa) maka pemikiran Epikuros dekat pada
Materialisme (segala sesuatu tidak bernyawa).
Dua karang pemikiran filsafat
inilah yang dijumpai Rasul Paul. Tidak mengherankan jika mereka mengatakan Paulus
mengajarkan dewa-dewa asing dan menolak kebangkitan dari kematian karena filsafat Epikuros tidak mengenal makna dan kehidupan setelah kematian sementara filsafat Stoa memandang bahwa kematian adalah kembali kepada alam.
Namun pewartaan Injil tidak sia-sia. Sekalipun ada para filsuf yang menolak sebagaimana dikatakan, "Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, b maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata: "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu" (Kis 17:32), namun di sisi lain ada yang menerima dengan hati terbuka sebagaimana dikatakan, "Lalu Paulus pergi meninggalkan mereka. Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka" (Kis 17:33-34)
Beberapa puluh tahun kemudian akan lahir para filsuf Kristen yang menjadi pewarta dan pembela Injil seperti Yustinus Martir (100-165 Ms) menjadi seorang Kristen ketika ia merenungkan tulisan-tulisan Taurat dan membaca Injil serta surat-surat Paulus. Beliau adalah murid pemikiran Filsafat Stoa dan Aristoteles.
Sebelum Renaisance, di Abad Pertengahan ditandai sebuah era kejayaan Filsafat yang dipergunakan untuk menjelaskan iman Kristiani yaitu era Patristik (500-800 Ms) yang melahirkan tokoh seperti Tertulianus (160-222 Ms), Origenes (185-254 Ms), Agustinus (354-430 Ms) dll dan era Skolastik (800-1500 Ms) yang melahirkan Thomas Aquinas.
No comments:
Post a Comment