Greenacre
(1941) dan Fodor (1949), ahli psikoanalisis berpendapat bahwa pembentukkan
kepribadian seseorang sebenarnya dimulai sejak dalam kandungan ibu. Hal itu
dibuktikkan oleh hasil risetnya terhadap tikus putih. Mereka ingin memperoleh
jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah
stres pada induk tikus yang bunting itu akan mempengaruhi keturunannya?”.
Sepuluh
tikus jantan dan betina difungsikan sebagai induk; kemudian 60 ekor
keturunannya diselidiki. Diawali lima tikus betina digunakan sebagai percobaan dilatih untuk bereaksi
menghindarkan diri dari shock elektris
yang ditandai dengan dengungan bel.
Kemudian lima tikus betina yang digunakan sebagai
percobaan itu dikawinkan. Setelah lima tikus betina tersebut diketahui sedang hamil, maka lima tikus itu di-shock eletris
dengan bunyi dengungan bel. Hasilnya, anak-anak tikus yang dilahirkan oleh
induknya yang dalam keadaan aman dapat lari-lari dengan lincah dan riang.
Berbeda dengan anak-anak tikus
yang dilahirkan oleh induk yang sedang dalam keadaan stres oleh sebab mengalami shock elektris kelihatan takut-takut dan sembunyi-sembunyi.
Diterapkan dalam kehidupan manusia, kehamilan seorang wanita sebagai akibat
hubungan gelap yang diliputi ketakutan itu akan mempengaruhi janin dalam
kandungan dan membentuk kepribadian yang takut-takut.
Kehamilan yang tak diharapkan
terjadi, namun tetap pada akhirnya terjadi juga akan mempengaruhi kepribadian bayi yang dalam kandungan
itu. Buah kandungan sebagai upah haruslah dijaga baik-baik agar melahirkan
anak-anak yang lincah, ceria, optimis dan dinamis.
Amsal 22:24 mengatakan, “Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan
seorang pemarah, supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan
memasang jerat bagi dirimu sendiri”. Jika bayi yang dikandung saja pembentukannya dipengaruhi
lingkungan eksternal, demikian pula anak-anak dan kehidupan sosial dipengaruhi
lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal yang buruk akan membentuk dan
melahirkan kepribadian yang buruk jika tidak diimbangi dengan pendidikan dan
pengaruh yang positif sebagai penyeimbang.
Rasul Paul
menuliskan, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk
merusakkan kebiasaan yang baik” (1 Kor 15:33). Jika
sebuah interaksi sosial membawa dampak tertentu kepada kehidupan kita, maka
selektiflah dalam berinteraksi agar tidak membawa dampak negatif pada diri
kita.
No comments:
Post a Comment