Suatu ketika seorang anak begitu marah dan saat pulang ke rumah, menumpahkan semua kekesalannya kepada sang ayah. Sang ayah bertanya kepada anak tersebut, apa yang membuatnya begitu marah. Sang anak berkata bahwa dia sedang kesal dengan seorang teman bermainnya. Sang Ayah bertanya apakah orang tersebut pernah kamu buat kesal? si anak berkata pada ayahnya, “Iya Ayah", “apakah kamu sudah meminta maaf padanya?” si Anak menjawab "Tidak ... Ayah".
Ayahnya kemudian berkata, “Pantas iya masih marah padamu”. Anak tersebut bertambah marah seolah-olah ayahnya tidak memberikan solusi padanya. Kemudian ayahnya memberikan sebuah palu dan sebuah paku serta memerintahkan agar anaknya menancapkan paku tersebut pada sebatang kayu. Anak tersebut kemudian l melaksanakan perintah ayahnya. Setelah melakukan apa yang diperintahkan ayahnya, anak tersebut melapor pada ayahnya dan aang ayah berkata "Jika kamu lagi kesal dan marah ambillah palu dan paku terus tancapkan ke kayu itu”. Begitulah yang terus dilakukan sang anak jika lagi kesal pada seseorang.
Suatu ketika ayahnya bertanya kembali kepada anaknya, "Nak, Apakah rasa kesal dan marahmu sudah hilang?” Sang anak menjawab, “Iya Ayah”. Sekarang ayah memerintahkan padamu nak, untuk mencabut kembali paku yang telah kamu tancapkan pada kayu itu.
Tidak berapa lama anaknya melaksanakan perintah ayahnya. Setelah semua paku yang tertancap sudah dicabut semua, sang ayah berkata, “Lihatlah apa paku tersebut meninggalkan bekas?” Sang anak menjawab, “Tentu saja ayah".
Jika kamu dapat mengambil makna dari bekas paku tersebut pasti kamu tidak akan berbuat kesalahan lagi pada orang lain. Sang Dengan nada bingung sang anak bertanya, “Maksud ayah?" Dengan sabar sang ayah menjelaskan, "Paku itu itu ibarat perkataan kasarmu yang membuat orang terluka dan palu itu adalah kemarahanmu yang engkau lampiaskan, sedangkan kayu itu adalah hati orang yang telah kamu sakiti, setelah engkau minta maaf itu ibarat paku yang telah kamu cabut dari kayu tersebut, tetapi ada bekas yang tertinggal pada paku tersebut, itu ibarat hati orang yang telah kamu sakiti walau kamu telah meminta maaf tetap masih meninggalkan luka. Oleh karrena itu pesan yang terkandung adalah janganlah engkau menyakiti orang lain, karena itu menyakitkan dan meninggalkan bekas yang lama untuk hilangnya”. Si Anak dengan penuh penyesalan bertekad untuk tidak berbuat kesalahan yang membuat hati orang lain terluka
Efesus 4:29-32 berkata, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Tuhan, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Tuhan di dalam Mesias telah mengampuni kamu”.
Kita bisa memilih untuk “berkata kotor” (logos sapros) atau “berkata baik” (logos agathos). Jika perkataan kotor berdampak buruk bagi pikiran dan perasaan seseorang, bukankah sebaiknya kita memilih untuk berkata baik? Karena berkata baik (logos agathos) itu bersifat “membangun” (oikodomen). Setiap perkataan buruk yang kelar dari mulut kita bukan hanya melukai orang lain namun “mendukakan Roh Kudus dari Tuhan” (lupeite to Pneuma to Hagion tou Theou).
Menjadi orang Kristiani adalah menjadi orang bebas dan merdeka. Bukan bebas dan merdeka berkata apa saja dan melakukan apa saja. Sebaliknya, bebas dan merdeka dari perkataan kotor dan perbuatan buruk.
Bebaskan diri kita dari perkataan kotor, cabul, keji dan perbuatan jahat serta tercela dengan “membuangnya” (arthetoo ap humon) dari kehidupan kita. Kiranya Tuhan menolong dan memberikan kekuatan kepada kita
No comments:
Post a Comment