Angelo, empat tahun,
bangun dan mendapati anak anjing pemburunya yang baru telah mengunyah gitar
plastiknya. Bocah ini sangat sedih. Ibunya pun gusar sehingga menghardik
suaminya, Tony, saat akan ke kantor.
Masih merasa gusar
dengan perlakuan istrinya yang tidak menyenangkan tadi, Tony pun memberi
perintah-perintah yang dingin dan tidak masuk akal kepada sekretarisnya.
Suasana hati sang
sekretaris menjadi tidak enak, dan saat istirahat minum kopi ia mendamprat
rekannya sesama sekretaris. Di akhir jam kantor, sekretaris yang kedua
menghadap atasannya dan siap mengundurkan diri.
Satu setengah jam
kemudian, setelah berjuang di tengah kepadatan lalu lintas, sang atasan masuk rumah.
Lalu ia menumpahkan kemarahan kepada si kecil Nelson yang meninggalkan
sepedanya di pelataran garasi. masuk ke kamarnya, membanting pintu, dan
menendang anjing Scottish terrier-nya.
Di mana akhir semuanya
ini? Tiap orang berpikir bahwa ia mempunyai alasan untuk marah. Padahal, dalam
situasi khayalan ini yang dibutuhkan adalah seseorang yang menyerap perlakuan
tidak adil itu dan tidak meneruskannya kepada orang lain.
Kemarahan memang sifat
alami yang ada pada manusia. Sebagaimana takut, malu, kuatir adalah bagian dari
emosi yang melekati kejiwaan manusia, demikianlah amarah sebagai sebuah reaksi
psikis seseorang ketika bereaksi terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan
harapan ataupun aturan yang ditetapkan.
Sebagai seorang
Kristiani, kitapun bisa dan berhak marah. Namun sebagai ciptaan baru di dalam
Yesus Sang Mesias, kita harus lebih memperbesar pengendalian diri kita
sehingga apabila kita menjadi marah janganlah berlebihan dan berbuat dosa serta
bersegera menuntaskannya.
Tidak menjadikannya
berlarut-larut menjadi sebuah kebiasaan ataupun memiliki serial bertahun-tahun
yang disebut dendam. Rasul Paul menuliskan, Apabila
kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam,
sebelum padam amarahmu (Ef 4:26). Kisah di atas memberikan sebuah gambaran
bagaimana efek estafet kemarahan yang ditumpahkan kemudian dilampiaskan pada
sesama atau obyek hidup dan mati maka akan berdampak merusak.
Berbicara mengenai efek kemarahan yang tidak terkendali,
kita diingatkan akan tradisi yang hidup di masyarakat Jawa berkaitan dengan
tata cara penggunaan keris. Keris, bagi orang Jawa bukan sekedar senjata tajam
melainkan pusaka dan simbol kehormatan.
Di dalam pernikahan Jawa, keris
menjadi bagian dari pakaian pengantin pria. Biasanya keris pada pengantin pria
berkalung bunga Melati dan Kantil, teruntai di gagang ujung pangkal keris.
Menurut tradisi, keris yang
menggunakan bunga kolong atau bunga roncean, dikalungkan di ujung gagang keris
merupakan pengingat terbunuhnya Adipati Jipang, Harya Penangsang saat perang
tanding melawan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati (kelak menjadi Raja Mataram
Islam pertama).
Setelah mendapatkan surat tantangan atas nama Hadiwijaya
(Raja Pajang), Harya Penangsang (Bupati Jipang) tersulut emosinya. Meskipun
telah ditenangkan Arya Mataram (adik Harya Penangsang), namun Harya Penangsang
tetap berangkat ke medan laga dengan menaiki kudanya si Gagak Rimang.
Terjadilah perang tanding antara Harya Penangsang dengan
Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati yang merupakan perwakilan dari
Hadiwijaya. Saat perang tanding, tombak Kyai Plered milik Panembahan Senopati
menghujam lambung Harya Penangsang dan mengakibatkan usus Harya Penangsang
terburai keluar.
Anehnya, Harya Penangsang tak lantas tersungkur mati. Dia
terus melawan Panembahan Senopati. Ususnya yang terburai keluar dibelitkan di
gagang keris miliknya. Pantang menyerah, Adipati Jipang itu pun terus
menggempur pertahanan Panembahan Senopati.
Alhasil, Panembahan Senopati lama-kelamaan kewalahan
menghadapi serangan Harya Penangsang. Di saat lawannya sudah tak berdaya, Harya
Penangsang lupa kemudian mencabut keris Kyai Setan Kober miliknya, hendak
menghabisi Senapati. Tak ayal, usus yang semula dikalungkan di kerisnya pun
putus. Tewaslah seketika Harya Penangsang.
Usai perang, Panembahan
Senopati ternyata masih terkesan oleh kegagahan ksatria Harya Penangsang yang
bertempur dengan usus terburai. Untuk menghormati gugurnya musuh bebuyutannya
tersebut, Panembahan Senopati kemudian bertitah setiap ada upacara perkawinan,
pengantin pria wajib mengenakan keris yang gagangnya diberi hiasan bunga Kantil dan Melati, supaya gagah bak Pangeran Harya Penangsang.
Selain mengenang sifat gagah berani Harya Penangsang, juga
sebagai lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan
ingin menang sendiri seperti watak Harya Penangsang.
Dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana amarah yang tidak terkendali menyebabkan dampak yang merusak dan mematikan bukan? Lebih baik menjadi orang yang mengendalikan diri dan membatasi untuk marah jika amarah mendatangkan kerusakan, sebagaimana dikatakan, Ir perusah, ein khomah, ish asyer ein ma'tsar lerukho - Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya (Ams 25:28).
Karena amarah dekat dengan kata-kata jahat dan kotor, marilah kita lebih mengendalikan emosi dan ucapan yang keluar dari buibur kita sebagaimana dikatakan, Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (Ef 4:29)
No comments:
Post a Comment