Apa yang kita rasakan dan fikirkan
jika kita mendapatkan sebuah kabar bahwa pada tanggal X dan tahun Y kita akan
diberhentikan dari aktifitas pekerjaan di sebuah perusahaan di mana kita telah mengabdi
berpuluh tahun lamanya, dikarenakan terjadinya krisis ekonomi? Tentu tidak
karuan perasaan dan pikiran kita karena kita akan kehilangan kepastian
pendapatan untuk membiayai kehidupan keluarga kita bukan?
Demikian pula dengan apa yang
dirasakan dan difikirkan seorang raja di Israel bernama Hizkia manakala dirinya
divonis akan mengalami kematian pada hari X tahun Y akibat penyakit yang
dideritanya? Sebagaimana dikatakan dalam 2 Raja-raja 20:1 sbb:
“Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit
dan hampir mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos, dan berkata kepadanya:
"Beginilah firman YHWH: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu,
sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi”
Kalimat, מת אתה ולא תחיה
- met attah we lo tihyeh (kamu
akan mati dan tidak hidup lagi) seolah petir di siang bolong di telinga Hizkia.
Betapa kepastian kematiannya sudah menunggu di depan mata. Namun Hizkia tidak
menyerah dan menerima begitu saja garis kehidupan yang bakal dilakoni dan akhir
kehidupan yang sudah menantinya.
Segera saja Hizkia, “memalingkan
mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada YHWH: "Ah YHWH, ingatlah
kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati
dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu." Kemudian
menangislah Hizkia dengan sangat” (2 Raj 20:2-3). Apa yang terjadi kemudian?
Ajaib! Kepastian kematian yang sudah menanti di depan mata berganti menjadi
perpanjangan waktu kehidupan karena Tuhan YHWH mendengar seruan doa Hizkia dan
bersabda demikian:
“Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan
melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur; Aku akan memagari kota
ini oleh karena Aku dan oleh karena Daud, hamba-Ku” (2 Raj 20:6)
Jika
semua, sabda yang berbunyi מת אתה ולא תחיה
- met attah we lo tihyeh (kamu
akan mati dan tidak hidup lagi) melemahkan semangat maka sabda yang berbunyi, והספתי על־ימיך חמשׁ עשׂרה שׁנה -
wehosapti ‘al yameka khamesh eshreh shanah (Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi) seolah air terjun
yang jatuh menyegarkan badan Hizkia. Gairah dan semangat hidupnya kembali
Dari
pembacaan kisah Hizkia di atas tentu kita bertanya, apakah takdir itu ada? Apakah
kekristenan mengenal konsep takdir? Apakah takdir itu bisa diubah? Istilah
takdir adalah bahasa Arab dari akar kata qadara
yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, perhitungan,
ketetapan dan keputusan. Dikatakan dalam Qs 36:38 sbb:
"dan
matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui (taqdirul azizil
alim)"
Pengutipan ayat kitab suci agama lain
alias Qur’an di atas sekedar untuk menegaskan asal-usul kata takdir dan
bagaimana kata tersebut dimaknai. Jadi, kata takdir bermakna keputusan dan
ketetapan yang tidak bisa dirubah, sebagaimana planet berjalan di jalurnya
masing-masing atau kematian tidak dapat dihindari semua yang bernafas.
Ada istilah lain yang juga berasal
dari bahasa Arab yaitu “nasib” yaitu nashib yang artinya “bagian dari
sesuatu/bagian sesuatu yang telah ditentukan baginya”. Dikatakan dalam Qs 4:7
sbb, “Bagi laki-laki ada nashib (hak
bagian) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi
perempuan ada nashîb (hak bagian)
pula dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut nashib (bagian) yang telah ditetapkan”
Jika takdir adalah sebuah keputusan
dan ketetapan yang tidak berubah maka nasib bisa diubah. Orang yang miskin
dapat mengubah nasibnya dengan bekerja cerdas dan bekerja keras. Sementara
kelahiran dan kematian tiada seorangpun yang dapat menghindarinya.
Bagaimana dengan konsep iman Kristiani
mengenai “takdir?” Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim) atau Perjanjian Lama tidak
menggunakan istilah takdir namun menggunakan beberapa istilah Ibrani yaitu makhasava, zamam, asha, mezima, yatsar,
nekhtak, khuqot. Sementara Kitab Perjanjian Baru menggunakan istilah Yunani
keimai, diatithemi, apodeiknumi,
proopizo, istemi, orizo yang dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
biasa diterjemahkan dengan “ditentukan”, “ditetapkan”, “rencana”, “rancangan”.
Dikatakan dalam Yesaya 37:26 sbb,
“Bukankah telah kaudengar, bahwa Aku
telah menentukannya dari jauh hari dan telah merancangnya dari zaman purbakala
(עשׂיתי מימי קדם ויצרתיה
–
‘ashiti mimey qedem wetsartiha) ?
Sekarang Aku mewujudkannya, bahwa engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang
berkubu menjadi timbunan batu”.
Dikatakan pula dalam Yeremia 31:35 sbb,
“Beginilah firman YHWH, yang memberi
matahari untuk menerangi siang, yang menetapkan bulan dan bintang-bintang untuk
menerangi malam (חקת ירח וכוכבים לאור
לילה – khuqot
yareakh wekokavim leor lailah), yang mengharu biru laut, sehingga
gelombang-gelombangnya ribut, YHWH semesta alam nama-Nya”
Demikian pula dikatakan dalam Lukas
2:34 sbb,
“Lalu Simeon memberkati mereka dan
berkata kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan
untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel (ιδου ουτος κειται εις πτωσιν και αναστασιν πολλων εν τω ισραηλ
–
idou houtos keitai eis ptoosin kai anastasin en too Israel) dan untuk menjadi
suatu tanda yang menimbulkan perbantahan”
Dari pembacaan teks-teks pembanding di
atas maka konsep takdirpun ada dalam iman Kristiani yang melandaskan pada Kitab
TaNaKh/Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ada ketetapan Tuhan yang tidak bisa
dicegah oleh kekuatan manusia manapun baik kelahiran, kematian bahkan zaman
yang akan berakhir.
Mazmur 139:16 menegaskan kedaulatan
dan kemahakuasaan Tuhan sbb:
“mata-Mu melihat selagi aku bakal
anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis
hari-hari yang akan dibentuk (ועל־ספרך כלם יכתבו ימים – we’al sifreka kulam yikatevu yamim ), sebelum ada satupun dari padanya”
Jika demikian penjelasannya, lantas
bagaimana dengan kisah Hizkia? Jika takdir ada mengapa Hizkia bisa mengubah
takdir? Sebenarnya Hizkia tidak mengubah takdir. Dia hanya meminta umurnya
ditambahkan dan kematian tidak segera menjemputnya dan Tuhan mendengar dan
mengabulkan permohonannya dan memberikan perpanjangan umur. Namun toch Hizkia tetap akan mengalami
kematian setelah umurnya diperpanjang sebanyak 15 tahun. Maka Hizkia tidak bisa
menghindar dari takdir kematiannya pada 15 tahun kemudian bukan?
Ingat, konsep takdir bukan perihal
kesewenang-wenangan Tuhan terhadap manusia melainkan kedaulatan dan
kemahakuasaan-Nya. Takdir bukan perihal pelimpahan kesalahan manusia kepada
Tuhan sehingga mengabaikan aspek tanggung jawab apa yang diperbuatnya. Jadi
jika seseorang berbuat kriminalitas dan tertangkap dan mengalami hukuman, tidak
bisa berkilah, “ini sudah ditakdirkan Tuhan”.
Setelah kita mempelajari makna takdir
dan nasib atau ketetapan Tuhan dan takaran Tuhan bagi manusia, lantas apa
pelajaran yang dapat kita peroleh dari kisah Hizkia? Tuhan mendengar seruan doa
yang dinaikkan dengan iman dan kesungguhan sehingga vonis kematian bisa ditunda
menjadi vonis perpanjangan usia dan kehidupan. Oleh karenanya jika kita sedang
mengalami sakit penyakit ataupun permasalahan yang menggunung dan melemahkan
keyakinan kita, belajarlah dari Hizkia untuk meminta anugrah dan kemurahan
Tuhan mengubah kematian menjadi kehidupan, mengubah kesulitan menjadi
kemudahan, mengubah kemiskinan menjadi kekayaan, mengubah kesesakan menjadi
kesempatan.
Lantas, apa yang selayaknya kita
lakukan jika kita mengalami nasib beruntung sebagaimana Hizkia yang
diperpanjang usianya? Tiada lain kita bersyukur dan menjadikan diri kita
berguna bagi Kerajaan Tuhan dan bagi kehidupan dunia serta sesama. Bukankah
dikatakan dalam Filipi 1:21-22 sbb:
“Karena bagiku hidup adalah Kristus (Mesias)
dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu
berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak
tahu”
Dalam suratnya yang lain, Rasul Paulus
menggemakan anjuran yang sama sbb:
“Sebab itu juga kami berusaha, baik
kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan
kepada-Nya” (2 Kor 5:8)
Berlandaskan ayat-ayat ini marilah
kita yang masih diberi kesehatan dan mereka yang telah diperpanjang umurnya
untuk menjalani kehidupan agar kita selama diberi kesempatan hidup selayaknya “bekerja
memberikan buah” dan “hidup berkenan kepada-Nya’ alias membawa dampak positif
bagi kehidupan dan sesama. Dan jika kita telah tiba waktunya berpulang kita pun
tidak menjadi kuatir karena “mati adalah keuntungan” karena kita akan menerima
kehidupan kekal sebagaiaman dijanjikan Sang Juruslamat (Yoh 5:24; 11:25)
No comments:
Post a Comment