Di era Reformasi yang mengedepankan
jargon-jargon (semboyan) al., demokrasi, kebebasan berpendapat, reformasi
birokrasi, reformasi hukum, keadilan sosial, anti korupsi dll justru
kenyataan-kenyataan di atas semakin menguat saja kepermukaan.
Dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) bukan menghentikan dan meminimalisir korupsi dan suap, sebaliknya
semakin merajalela di tubuh badan-badan pemerintahan serta partai politik
dengan ditemukannya berbagai fakta dan kasus yang ditemukan oleh KPK. Ini bukan
bermakna keberadaan KPK menjadi stimulan kemunculan korupsi, melainkan
eksistensi dan kerja KPK menyebabkan aktifitas korupsi sistemik di segala
bidang mulai terkuak satu persatu dan belum memberikan efek jera kepada pelaku
korupsi.
Publik kembali dikejutkan oleh kasus yang
sedang hangat hari ini dibahas yaitu kasus suap kuota impor daging sapi yang
melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernama Luthfi Hasan Ishaaq[1].
Ternyata tindakan melawan hukum berupa kasus suap tidak melihat apakah orang
tersebut beragama apa atau berasal dari partai berbasis agama atau tidak. Kasus
Lutfi Hasan Ishaaq membuktikan bahwa partai berbasis agama tidak menjamin
pelaku organisasi kepartaian ini akan menjadi orang yang bersih dan terbebas
dari suap dan korupsi.
Bagaimana iman Kristen memandang kasus suap? Tuhan YHWH
melalui Torah-Nya ribuan tahun lampau telah mengecam dan melarang praktek suap.
Kitab Keluaran (Sefer Shemot) 23:8 Tuhan YHWH bersabda agar para hakim di
Israel dalam menjalankan peradilan dalam sistem Teokrasi diperintahkan, “Suap
janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan
memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”.
Dalam bahasa
Ibrani kata Sokhad bermakna “hadiah”
dan “pemberian diam-diam” alias “menyogok”. Salah satu bentuk penyuapan adalah
Gratifikasi. Apa arti Gratifikasi? “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya”[2].
Selanjutnya dikatakan mengenai Gratifikasi, “Landasan hukum tindak gratifikasi
diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12 dimana ancamannya adalah
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak
1 miliar rupiah. Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai
negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak
berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima”[3].
Torah berkata, “Suap janganlah kauterima” (wesokhad lo tiqqakh).
Torah memberikan alasan mengapa seseorang dilarang menerima suap. Pertama, “membuat buta mata
orang-orang yang melihat” (ki hasokhad yeawwer piqhim). Bukankah ayat tersebut sudah terbukti
kebenarannya ketika seseorang terpandang, berpengaruh, berkedudukan, kaya raya,
tiba-tiba menjadi orang yang seolah-olah buta dan mengalami disorientasi tujuan
kehidupan sehingga berfokus pada mendapatkan keuntungan pribadi dengan
melanggar hukum?
Kedua, “memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar” (wisallep divre tsadiqim). Bukankah banyak kasus
dimana orang yang tidak bersalah dapat diubah statusnya menjadi terdakwa di
persidangan dan harus mengalami hukuman yang tidak seharusnya oleh karena suap
dan uang sogok yang diberikan kepada hakim atau jaksa tertentu. Kita kerap
mendengar pula tentang “Markus” (Makelar Khusus) dimana mereka adalah oknum
hakim yang dapat memperjual belikan perkara. Betapa jahatnya uang suap dan
sogokkan.
Ketiga,“sebab
suap membuat buta mata orang-orang bijaksana” (hasokhad yeawwer eyney khakamim)
– (Ulangan – Sefer Devarim 16:19). Bukankah sudah terbukti bahwa orang
bijaksana, cerdik pandai, terpandang menjadi seorang yang bodoh dan pesakitan
serta diumpat banyak orang akibat melakukan kejahatan suap?
Mungkin
banyak orang tidak menyadari bahwa menyuap untuk keuntungan diri sendiri dan
orang lain merupakan tindakan kejahatan. Ketidaksadaran tersebut dikarenakan
suap tidak melibatkan kekerasan fisik seperti mencuri, membunuh, merampas,
merampok. Namun memperoleh keuntungan secara tidak wajar melalui proses suap
adalah sebuah kejahatan.
Torah
mengatakan bahwa suap dan gratifikasi adalah kejahatan, “Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak
dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit,
yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu
gerbang”(Amo 5:12). Frasa “bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah
besar” (rabim
pish’ekem we’atsumim khatoteykem) dihubungkan dengan frasa “menerima uang suap”
(loqkhey kofer).
Bagaimana
kita menanamkan kepada umat Kristen bahwa suap dan gratifikasi adalah sebuah
kejahatan dan kekejian yang merugikan bukan hanya diri sendiri melainkan orang
lain? Pertama, Gereja khususnya para
pendeta harus mengangkat tema tentang suap sebagai sebuah kejahatan dan bagaimana
Tuhan melarang aktifitas suap dalam kehidupan sehari-hari. Mimbar gereja bukan
hanya membatasi diri menyampaikan kotbah-kotbah yang bersifat polemik doktrinal
ataupun kesalehan pribadi belaka (ibadah, tsedaqah, menolong orang lain, dll)
melainkan mendidik umatnya untuk mengerti bahwa suap dan gratifikasi adalah
kejahatan di mata Tuhan dan negara. Pendeta
dan para rohaniawan Kristen harus menanamkan bahwa kelayakan seseorang di
hadapan Tuhan bukan semata-mata dia melakukan kesalehan individual melainkan
kesalehan sosial sebagaimana dikatakan dalam Mazmur 15:1, “siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang
boleh diam di gunung-Mu yang kudus?” (Mzm 15:1). Dari sekian kategori yang
dijabarkan, salah satunya berbunyi, “dan
tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah” (Mzm 15:5)
Kedua, Institusi pendidikan dalam hal
ini sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai menengah atas harus memasukkan
kurikulum baru baik dalam bentuk mata pelajaran budi pekerti atau mata
pelajaran khusus yang membahas persoalan-persoalan yang merendahkan martabat
diri dan bangsa yaitu salah satunya praktek suap dan gratifikasi.
Ketiga, lembaga terkecil dalam
masyarakat yaitu keluarga harus menanamkan nilai-nilai moralitas dan memberikan
wawasan bahwa suap dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tercela dan
bertentangan dengan moralitas serta merendahkan martabat diri.
Sinergi
antara Gereja (dan juga semua lembaga keagamaan non Kristen) dan institusi
pendidikan serta keluarga dalam menanamkan pada anak didik sedini mungkin bahwa
suap dan gratifikasi adalah perbuatan tercela, akan mencegah secara dini
tindakan-tindakan kejahatan tersebut kelak saat mereka menjadi pejabat publik
karena telah tertanam dalam alam bawah sadar serta menjadi gaya hidup.
Umat
Kristen harus meneladan Mesias dalam pikiran, perkataan, perilaku. Menolak suap
adalah salah satu dari Akhlaq Al Masih atau Halaqah ha Mashiakh. Sungguh
menyedihkan jika ada orang-orang Kristen memberikan suap kepada aparat
kepolisian atau pengadilan demi membebaskan dirinya atau salah satu anggota keluarganya
dari jerat hukum. Sungguh memperihatinkan jika ada orang-orang Kristen demi
memenangkan suatu perkara yang lemah baik mengenai usaha, tanah, kepemilikan
dengan menyuap aparat hukum dan peradilan. Sesungguhnya mereka telah memenuhi
apa yang dikatakan Firman Tuhan, “sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat
dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”
Marilah kita menjadi orang-orang Kristen dan pengikut
Yesus Sang Mesias yang bertanggung jawab dan membersihkan diri dari perilaku
tidak terpuji yaitu suap dan sogok demi mendapatkan keuntungan pribadi atau
orang lain namun disatu sisi merugikan institusi bahkan negara.
No comments:
Post a Comment