Jika mengingat peristiwa yang satu ini, bukan saja saya geli tapi
prihatin. Saat saya masih bergiat mengikuti persekutuan kharismatik pada
tahun 90-an saat masih studi strata satu teologi di Yogyakarta. Suatu
ketika saat mengikuti persekutuan rutin yang dilaksanakan tiap-tiap hari
jum’at di sebuah kawasan sentra ekonomi bakpia di wilayah Yogyakarta,
saat yang lain sedang menaikkan pujian dalam bentuk nyanyian dan doa,
saya pergi ke kamar kecil untuk buang air kecil. Menurut informasi teman
saat usai persekutuan, saat saya keluar untuk pergi ke kamar kecil, ada
seseorang yang mendoakan dan “menengking roh kepandaian” dalam diri
saya karena saya seorang siswa teologi. Mungkin pikirnya kecerdasan,
kepandaian, rasionalitas, ilmu adalah musuh Tuhan dan para orang
kudusnya.
Jika memang benar demikian, lalu mengapa Salomo menuliskan
manfaat bagi siapapun membaca dan merenungkan amsal-amsal yang ditulis
dirinya sbb, “…untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti
kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai,
serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan
kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan
kepada orang muda” (Ams 1:2-4). Bahkan selanjutnya ditegaskan, “baiklah
orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang
berpengertian memperoleh bahan pertimbangan” (Ams 1:5).
Perhatikan
kata-kata “hikmat” (חכמה - khokhma), “didikan” (מוסר - musar), “kata
yang bermakna” ( בינה- binah), “pandai” (השׂכל - hashkil), “kebenaran”
(צדק - tsedeq), “keadilan” (משׁפט - mishpat), “kejujuran” (מישׁרים -
mesharim) semua disejajarkan dan disetarakan. Tidak ada stratifikasi
hirarkis yang bersifat dikotomis dan saling menegasikan antara
kecerdasan, kepandaian dan hikmat dengan kebenaran, keadilan serta
kejujuran. Perhatikan pula kalimat “menambah ilmu” (יוסף לקח - yosef
leqakh) yang mengindikasikan proses pendakian tahapan sebuah
pengetahuan.
Pemahaman dan praktik “memuja kebodohan” dan anti ilmu
serta anti berfikir rasional di atas masih berlangsung sampai hari ini
di kalangan dunia Kristen. Perhatikanlah kalimat-kalimat yang kerap
muncul ke publik seperti, "Gunakan ayat-ayat Firman Tuhan dan jangan
pergunakan logikamu sendiri!". Persoalannya adalah bisakah kita menelaah
Kitab Suci dengan bahasa yang ditulis tidak dalam bahasa kita melainkan
ditulis dalam bahasa dan kebudayaan yang berbeda yaitu bahasa Ibrani,
Aramaik, Yunani tanpa menggunakan logika dan rasionalitas kita dalam
ilmu bahasa dan tafsir Kitab Suci? Di sinilah letak kesalahan berfikir
seseorang yang memisahkan antara Iman dan Akal. Kecerdasan dan berfikir
rasional seolah-olah sebuah kegiatan yang terpisah dari keimanan dan
berjalan sendiri-sendiri atau bahkan dianggap saling berkontradiksi.
Dampak serius ketika kita memisahkan akal dan rasionalitas serta
kecerdasan dari iman adalah kerap terjadinya berbagai manipulasi
pesan-pesan keagamaan yang membodohi umat. Mulai dari ajaran yang
menyamakan perolehan materil sebagai ukuran seseorang diberkati Tuhan
hingga mengelompok di suatu tempat bersama pemimpin religius yang
dikultuskan untuk menantikan kiamat. Darimana datangnya perilaku
menyimpang secara religius tersebut jika bukan dikarenakan terbonsainya
akal sehat dan dipadamkannya nalar kritis yang berhubungan dengan akal
dan rasionalitas?
Mempelajari Torah-Nya akan menuntun pada
kecerdasan dan mengakhiri kebodohan (Mzm 119:97-100). Kitab Amsal sarat
dengan ajakan memperoleh Hikmat dan Kecerdasan serta pengetahuan (Ams
1:1-7). Kecerdasan dalam memahami Torah YHWH menimbulkan pembebasan
dari belenggu kebodohan dan pemahaman yang keliru (Mzm 119:130).
Kesadaran religius (iman) sejatinya memberikan pencerahan pada akal
budi untuk menyelidiki hukum-hukum Tuhan yang bekerja dibalik bekerjanya
hukum alam semesta. Kesadaran religius seharusnya mendorong kita
mempelajari realitis empiris yang ada di sekeliling dan mempengaruhi
kehidupan kita baik realitas alam, realitas sosial, realitas ekonomi,
realitas politik, realitas teknologi, realitas kebudayaan, dll. Dengan
demikian terjadi sinergi antara iman dan akal budi.
No comments:
Post a Comment