Seorang Ibu Guru taman
kanak-kanak (TK) mengadakan sebuah “permainan” pada
murid-murid di kelasnya.
Ibu Guru menyuruh tiap-tiap
muridnya membawa kantong plastik bening berisikan beberapa buah kentang.
Masing-masing kentang
tersebut diberi nama berdasarkan nama orang yang dibenci, sehingga jumlah kentangnya
tidak ditentukan berapa dan tergantung jumlah orang-orang yang dibenci.
Pada hari yang disepakati masing-masing murid membawa kentang dalam kantong
plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5. Seperti perintah
guru mereka tiap-tiap kentang di beri nama sesuai nama orang yang dibenci.
Murid-murid
harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi,
bahkan ke toilet sekalipun, selama 1 minggu. Hari berganti hari,
kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang
membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap.
Setelah 1 minggu
murid-murid TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera
berakhir. Berkatalah Ibu Guru,
”Bagaimana rasanya
membawa kentang selama satu
minggu ?”
Keluarlah keluhan dari murid-murid TK tersebut, pada umumnya mereka tidak
merasa nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut ke mana pun mereka
pergi.
Guru pun menjelaskan apa arti dari “permainan” yang mereka lakukan, “Seperti itulah kebencian yang selalu kita
bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak
menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi. Itu hanya satu minggu bagaimana jika
kita membawa kebencian itu seumur hidup ? Alangkah tidak nyamannya bukan?”.
Dalam bukunya yang berjudul, Rela Memaafkan: Obat Yang Ampuh, Gerald Jampolsky, M.D. menuliskan, “Lewat rela memaafkan, kita mendapatkan
segala yang pernah diinginkan hati kita. Kita terbebas dari ketakutan, rasa
marah dan kepedihan untuk mengalami keutuhan bersama sesama dan mata air rohani
kita ... Memaafkan membuat kita terlepas dari bayang-bayang masa lalu, entah
itu bayang-bayang diri kita sendiri maupun orang lain” (2001:16).
Memaafkan
dan mengampuni memang bukan tindakkan yang mudah karena membutuhkan kekuatan
dan keberanian untuk melawan diri sendiri. Namun memaafkan dan mengampuni itu
membebaskan jiwa kita dari belenggu dendam yang membusukkan perasaan.
Yesus mengajarkan agar kita tidak menutup diri dari tindakkan mengampuni seseorang yang bersalah pada diri kita. Secara simbolik Yesus melipatgandakkan apa yang diutarakan Petrus bahwa mengampuni harus tujuh kali menjadi tujuh puluh tujuh kali (Mat 18:21-35). Jumlah yang banyak ini menggambarkan betapa kita harus menyediakan sebanyak mungkin yang kita bisa.
Yesus mengajarkan agar kita tidak menutup diri dari tindakkan mengampuni seseorang yang bersalah pada diri kita. Secara simbolik Yesus melipatgandakkan apa yang diutarakan Petrus bahwa mengampuni harus tujuh kali menjadi tujuh puluh tujuh kali (Mat 18:21-35). Jumlah yang banyak ini menggambarkan betapa kita harus menyediakan sebanyak mungkin yang kita bisa.
No comments:
Post a Comment