Kita
tentu pernah mendengar dua istilah yaitu “paradoks” dan “kontradiksi”.
Kelihatannya dua kata ini mengandung kesamaan arti namun sejatinya berbeda.
Istilah “kontradiksi” bermakna “dua hal yang berlawanan”. Contoh: (1) Amir dan Hasan
dua bersaudara namun Amir baik hatinya sementara Hasan jahat perilakunya. (2)
Seorang saksi mata mengatakan bahwa peristiwa kecelakaan tersebut terjadi pada
pukul 9.30 sementara saksi mata yang lain mengatakan pukul 10.30
Sementara
istilah “paradox” adalah “pernyataan yang seolah berlawanan namun mengandung
kebenaran”. Contoh: (1) Gemerlap
dunia hiburan yang ia tekuni tak membuat ia lepas dari rasa kesepian (2) Hatinya
sunyi tinggal di kota Jakarta yang sibuk
Berbicara
mengenai istilah “paradoks”, Kitab yang menjadi dasar permenungan kita di
penghujung tahun 2022 juga disarati dengan sejumlah kenyataan dan
istilah-istilah yang bersifat “paradok”. Kitab Pengkotbah atau “Sefer Qohelet”
dalam TaNaKh bahasa Ibrani atau “Eklesiastes” dalam Septuaginta bahasa Yunani
Jika kita membaca Kitab Pengkotbah, seolah-olah kehidupan yang kita jalani tiada berguna sama sekali. Bayangkan saja Kitab Pengkotbah 1:2 dimulai dengan ungkapan: הבל הבלים אמר קהלת הבל הבלים הכל הבל - Havel havalim amar Qohelet, havel havalim hakol havel - Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Bahkan dikatakan dalam Pengkotbah 1:9, ואין כל־חדשׁ תחת השׁמשׁ׃ -weein kol khadash takhat hashamesh - tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
Demikian pula saat kita membaca Pengkotbah Pasal 7-8 kita akan melihat sejumlah paradoks dalam kehidupan. Perhatikan Pengkotbah Pasal 7:15 yang berkata, "Dalam hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya (ישׁ צדיק אבד בצדקו וישׁ רשׁע מאריך ברעתו- yesh betsadiq oved betsidqo, yesh rasha maarik bera’ato)
Situasi
yang dinyatakan dalam ayat 15 adalah sebuah paradoks, sebuah ketidakteraturan
dari apa yang diharapkan: Paradoks adalah ketidakkonsistenan dalam keadaan,
pernyataan, aktivitas, atau perilaku yang bertentangan dengan apa yang dianggap
normal oleh seseorang. Di sini, paradoks ditemukan dalam hubungan dengan Tuhan.
Orang berdosa makmur, tetapi orang benar menderita segala macam kesulitan dalam
hidup. Bukankah lebih rasional untuk berpikir bahwa orang berdosa akan
mengalami kesulitan dan orang benar, hidup makmur dan lancar?
Paradoks,
pada gilirannya, menciptakan teka-teki. Seseorang yang saleh mungkin bertanya,
“Mengapa situasi seperti itu harus ada?” “Di manakah berkat yang dijanjikan
Tuhan?” “Di mana Tuhan dalam semua ini?” “Bukankah Tuhan menjanjikan kemakmuran
dan umur panjang jika kita menaati-Nya?”
Pengkotbah
8:14 menegaskan kembali, “Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada
orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang
fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk
perbuatan orang benar. Aku berkata: "Inipun sia-sia”
Paradoks
dalam Kitab Pengkotbah khususnya Pasal 7-8 dapat menimbulkan situasi yang
membuat orang duniawi berasumsi bahwa melakukan kejahatan, karena dapat
menguntungkan, adalah cara yang lebih baik. Hal ini khususnya terlihat ketika
orang jahat hidup sampai usia tua dengan relatif damai, dihormati di dunia, dan
memiliki kekayaan yang lebih dari cukup. Sebaliknya, tidak jarang orang yang
saleh meninggal lebih awal, mungkin setelah masa penganiayaan yang sulit.
Benarkah
kehidupan ini sejatinya sia-sia dan hanya sekedar berulangnya sesuatu yang
sia-sia sebagaimana dikatakan Pengkotbah? Mengapa dalam kehidupan ini kerap
terjadi berbagai paradok?
Jika
kita perhatikan dengan seksama, Kitab Pengkotbah sejatinya hendak menyampaikan
apa yang telah dilihat dan ditelaah secara seksama dari berbagai fenomena
kehidupan yang terjadi dan melintas dari hari ke hari dari bulan ke bulan dari
tahun ke tahun. Di dalam setiap perputaran hidup itu selalu saja bayang-bayang
“kesian-siaan” (havalim) menyelinap
dalam kehidupan manusia. Namun kesia-siaan dan ketidakbermaknaan itu hanya
dirasakan dan dialami bagi mereka yang tidak memiliki dan melekat serta dekat
dengan Tuhan.
Itulah
sebabnya di dalam kehidupan yang seolah penuh kesia-siaan dan paradoks,
Pengkotbah tetap memiliki keyakinan dan harapan tentang keadilan Tuhan sehingga
pada Pengkotbah 8:12-13 dikatakan, “Walaupun orang yang berdosa dan yang
berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut
akan Tuhan akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya.
Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang
ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Tuhan”
Agar
hidup tidak menjadi sia-sia dan dapat memahami kehendak Tuhan dibalik berbagai
peristiwa kehidupan yang bersifat paradok, Pengkotbah mengajak pembacanya untuk
senantiasa Yirat YHWH atau Yirat Elohim alias Takut akan YHWH
sebagaimana dikatakan Pengkotbah 12:13, “Akhir kata dari segala yang didengar
ialah: takutlah akan Tuhan dan
berpeganglah pada perintah-perintah-Nya karena ini adalah kewajiban setiap
orang” (את־האלהים ירא ואת־מצותיו שׁמור כי־זה כל־האדם - et ha Elohim yera wemitsotaiw
shemor, ki zeh kol ha adam)
Sebentar
lagi kita menutup tahun 2022. Mungkin sepanjang tahun ini kita melihat
mendengar berbagai peristiwa yang bersifat paradox. Kita melihat orang jujur
dalam pekerjaan justru mengalami hukuman yang tidak adil, kita melihat orang
yang begitu saleh harus banyak mengalami penderitaan dan kesulitan, kita
melihat orang Kristen telah menabur banyak kebaikan namun masih saja sulit
mendapatkan keadilan dalam hal rumah ibadah.
Bahkan
mungkin kita mengalami sendiri paradoks kehidupan itu. Kita telah berbuat
kesalehan dan kebaikan namun mengapa saya harus mengalami menjadi orang yang di
PHK? Kita telah menjaga kehidupan kita sedemikian rupa namun mengapa penyakit
tiba-tiba menyerang diri kita? Dan masih banyak paradoks lain yang dapat kita
deretkan.
Kiranya
kita semua tidak menjadi berputus asa dan kehilangan iman serta pengharapan.
Kita tetap meyakini ada keadilan dan penyertaan Tuhan di dalam semua paradok
yang kita alami. Sebagaimana sebuah ungkapan Latin Coram Deo (“di hadirat Tuhan”, Mzm 56:13), maka kita boleh
menjalani kehidupan yang disarati paradok ini dengan sebuah keyakinan bahwa
semua yang kita alami tidak terlepas dari penyertaan Tuhan. Penyertaannya bukan
hanya di saat suasana tenang namun saat badai dan kehidupan yang sulit melanda.
Tanpa
penyertaan Tuhan, hidup menjadi sia-sia di bawah matahari. Dengan penyertaan
Tuhan, hidup menjadi bermakna. Agar kita mendapatkan penyertaan Tuhan,
kasihilah dan lakukanlah dengan sukacita perintah-perintah Tuhan YHWH Sang Bapa
Surgawi di dalam Yesus Sang Putra dan Junjungan Agung Yang Ilahi sebagaimana
disabdakan, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku
akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan
dia” (Yoh 14:23)
No comments:
Post a Comment