Yesaya 50:4
Dalam buku Zen in Martial Art dikisahkan serba serbi tentang bagaimana Bruce
Lee, seorang legenda kungfu, saat dia pertama kali menemui gurunya untuk belajar ilmu. Saat dia bertemu dengan
gurunya itu dan mulai bertanya dengan semangat 45 tentang ilmu Kungfu, Sang
Guru menjawabnya hanya dengan berkali-kali menuangkan air dari sebuah teko
kecil yang berisikan teh ke dalam sebuah cangkir kecil yang sudah penuh berisi
air the sehingga air teh itupun tumpah ruah meluber kemana-mana, membasahi meja
kecil di depan mereka berdua. Dipuncak kepenasarannya, sang murid bertanya
dengan rasa dongkolnya: “Guru!, saya
datang kesini untuk belajar ilmu, akan tetapi setiap pertanyaan yang saya
ajukan, guru hanya menjawabnya dengan menuangkan air ke dalam cangkir yang
sudah penuh itu sehingga air tersebut tumpah kemana-mana. Kenapa guru?”.
Sang
Guru tersenyum renyah memandang tepat ke mata sang Murid. Lalu dengan lembut
dia berkata kepada murid kecilnya itu: “Bagaimana
saya akan mulai mengajarimu nak, sedang
kamu datang kepadaku dengan kondisi dada dan otakmu yang sudah penuh dengan
ilmumu yang memang sudah hebat. Setiap yang kuajarkan nanti, pastilah akan
meloncat keluar lagi dari dalam dada dan otakmu itu, karena kau datang dengan
sudah membawa segudang pola rasa dan pikiranmu sendiri nak?. Apapun yang akan
kuajarkan nanti, maka kau akan membandingkannya dengan rasa dan isi otakmu yang
sudah ada itu. Lalu buat apa aku mengajarimu sesuatu yang baru lagi kalau kau
toh hanya akan kembali bertahan dengan isi otakmu yang sudah ada itu?”.
Sang
murid termangu mencerna wejangan gurunya itu. Dan dengan agak kemalu-maluan,
sang murid menjawab: “Benar guru, saya
tadinya datang kepada guru dengan niat untuk memantapkan ilmu-ilmu yang sudah
ada di dada dan di otak saya selama ini. Saya hanya berfikir bahwa saya, yang
selama ini sudah merasa hebat, hanya butuh sedikit sentuhan akhir saja dari
guru untuk mematangkan ilmu-ilmu saya ini”. Menjadi seorang murid Yeshua
Sang Rabi, bukan saja kita meminta pada Yahweh agar memiliki “lidah seorang
murid” (leshon limudim) agar
berpegetahuan (lada’at) namun harus
bersedia pula menjadi orang yang mengosongkan diri dan “mempertajam
pendengaranku”(ya’ir li) agar
menerima pengetahuan dan didikan Tuhan.
No comments:
Post a Comment