Dengan kita pergi ke rumah duka, kita bukan sekedar memberikan
ungkapan bela sungkawa dan dukungan moral melainkan menjadi sarana belajar dan
bijaksana. Tidak mengherankan Pengkotbah mengatakan,כי החיים יודעים שׁימתו - ki ha khay yiten el
libo yang secara literal artinya, “orang yang hidup hendaklah menaruh perhatian terhadap perkara ini di hatinya” yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia
secara dinamis, “hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.
Pelajaran dan kebijaksanaan apakah yang dapat diperoleh saat kita pergi ke rumah duka (בית־אבל - bet evel)? Pertama, menyingkapkan kesadaran eksistensial bahwa manusia punya batas waktu. Tidak selamanya mereka akan jaya dan perkasa baik dalam kekuasaan dan keuangan. Dari riset tentang berapa usia terpanjang binatang-binatang dapat bertahan hidup, diperoleh hasil sbb: kura-kura (200 th), buaya (100 th), rajawali dan elang (100 th), singa (30 th), babi (20 th), semut (15 th), lebah betina (5 th), tikus (5 th). Dan manusia menurut Mazmur 90:10 adalah 70 tahun dan jika dapat 80 tahun atau lebih adalah bonus.
Di atas disebutkan perihal kesadaran eksistensial. Apakah kesadaran eksistensial itu? Kesadaran eksistensial adalah sebuah kondisi tersingkapnya kenyataan hubungan-hubungan dibalik semua peristiwa dengan kesadaran diri individu. Seseorang bukan lagi lautan kerumunan kolektif yang mengalir tanpa kesadaran individu tapi menyadari bahwa dirinya adalah eksistensi yang mandiri dan unik serta turut serta terlibat dalam setiap peristiwa yang dijalani sehingga membentuk konstelasi (susunan) kehidupan dirinya dan sesamanya.
Manusia kerap dihadapkan pada berbagai "situasi eksistensial" dalam wujud berbagai peristiwa tragedi (kecelakaan, kebangkrutan, dsj), kehilangan orang yang dikasihi (keluarga, sahabat), sakit penyakit, yang mana situasi eksistensial di atas dapat menimbulkan dua hal yaitu "krisis eksistensial" berupa kesedihan, ketakutan, keputusasaan, kemarahan. Namun di sisi lain dapat pula menimbulkan penyingkapan "kesadaran eksistensial" berupa pemahaman baru dalam melihat kehidupan, pertobatan dari perilaku yang buruk, keyakinan yang semakin kokoh terhadap nilai-nilai religius dll.
Kedua, semua yang bernafas akan mengalami kematian. Sejak manusia jatuh dalam dosa, maka maut sebagai buah dosa menjadi warisan bersama seluruh keturunan umat manusia (Rm 5:12, Rm 6:23). Sebagaimana dikatakan Pengkotbah 9:5, כי החיים יודעים שׁימתו ki ha khayim yodi'im sheyamuto (karena orang-orang yang hidup tahu mereka akan mati). Mendatangi rumah duka, bukan sekedar menunjukkan empati dan simpati kepada mereka yang berduka melainkan menjadi media mempertajam kesadaran eksistensial individu bahwa kehidupan memiliki batas waktu. Apakah waktu yang disediakan dan dipercayakan kepada kita akan diisi dengan kebaikkan atau keburukkan? Tiap-tiap individu berhak memilih untuk masa depan eksistensialnya.
Ketiga, kita belajar untuk berempati dan berbela rasa dengan mereka yang sedang mengalami kedukaan. Roma 12:15 berkata, "Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!". Mereka yang ditinggal salah satu anggota keluarganya melalui kematian tentu akan mengalami kedukaan karena terputusnya relasi dan intimasi yang terjalin selama ini. Dengan kita hadir dalam pelepasan jenazah dan penguburan sesama kita yang sedang mengalami kedukaan, kita menunjukkan rasa empati dan bela rasa serta memberikan penghiburan secara tidak langsung terhadap mereka yang berduka
Keempat, mengingatkan kita sebagai umat Kristiani yang menjangkarkan keyakinan kita pada sabda Yesus Sang Mesias dan Juruslamat kita bahwa dibalik kematian dan kedukaan ada pengharapan tentang keselamatan dan kehidupan kekal yang dijanjikan. Itulah sebabnya kita diminta sekalipun berdukacita namun tetap terkendali dan tidak berlebihan sebagaimana dikatakan dalam 1 Tesalonika 4:13-14 sbb, "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal,supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Tuhan bersama-sama dengan Dia". Ayat ini jangan dimaknai bahwa kita orang Kristiani tidak boleh mengucapkan dukacita lantas mengucapkan selamat bersukacita kepada orang yang sedang berdukacita. Ayat ini hanya mengingatkan orang beriman bahwa ketika kita berdukacita, "jangan seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan". Bagi orang Kristiani, dibalik kematian orang yang kita kasihi ada pengharapan bahwa keselamatan dan kehidupan kekal yang dijanjikan Sang Juruslamat sedang diwujudnyatakan/direalisasikan.
Selama kita masih dibrikan kesempatan menjalani kehidupan, jangan menyia-nyiakan kehidupan dan anugrah keselamatan yang telah dipercayakan Tuhan YHWH Bapa Surgawi di dalam Yesus Sang Mesias pada diri kita dengan melakukan perilaku yang terkategori τους εχθρους του σταυρου του χριστου (tous echthrous tou staurou tou Christou) alias "seteru salib" (Fil 3:18), yaitu orang-orang yang menjalani kehidupan hanya semata-mata memusatkan diri pada οι τα επιγεια φρονουντες (hoi ta epigeia phronountes) alias "perkara-perkara duniawi" (Fil 3:19).
Kenyataan inilah yang mengajar kita untuk menjalani kehidupan dengan benar
dan mengisi kehidupan yang dipercayakan pada kita serta mempersiapkan diri
kapanpun waktunya untuk mengakhiri kehidupan dengan baik dan berkenan kepada
Tuhan sebagaimana dikatakan, "Aku telah mengakhiri pertandingan
yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2
Tim 4:7).
Marilah kita datang ke rumah duka untuk memperhatikan kehidupan di dunia
kini dan dunia yang akan datang.
No comments:
Post a Comment