Program
pemberantasan korupsi begitu gencar digalakkan oleh pemerintah. Melalui KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), berbagai oknum pejabat baik pusat maupun daerah
banyak yang dimejahijaukan. Kerja KPK tidak hanya menjerat pejabat eksekutif
namun juga pejabat-pejabat legislatif baik DPR maupun DPRD. Berbagai tindakan
preventif pun dilakukan KPK dengan mengadakan berbagai iklam budaya anti
korupsi, sosialisasi anti korupsi melalui kegiatan interaktif di televisi,
menerbitkan buku saku seputar kegiatan KPK dan perlawanan terhadap korupsi
serta merekrut anggota sukarelawan untuk menjadi bagian dari tim KPK. Bahkan
belum lama ini KPK mengeluarkan rencana untuk membuat baju khusus untuk tahanan
kasus korupsi.
Namun
demikian, bukan berarti bahwa praktek korupsi di Indonesia telah surut.
Sebaliknya diberbagai tempat masih saja ditemui tingkat korupsi yang
menjadi-jadi. Koran Kompas Tgl 16 januari 2009 lalu melansir berita tentang
peningkatan korupsi di Jawa Tengah. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Perwakilan Jawa Tengah (BPKP Jateng) menargetkan 61 pengusustan kasus korupsi
tahun 2008, namun kenyataannya kasus dilapangan melebihi target. Ini merupakan
indikasi adanya peningkatan korupsi di Jawa Tengah.
Indonesia
memang belum sepenuhnya bebas dari korupsi. Koran Kompas 17 September 2001 mengutip hasil
analisis Transparansi Internasional yang mengeluarkan indek tahunan mengenai
persepsi masyarakat bisnis dan akademisi Tahun 1996 pada 50 negara. Hasil
penelitian mereka masih menempatkan posisi Indonesia pada 10 besar negara
dengan derajat korupsi tertinggi. Sementara hasil penelitian PERC (Political
& Econimic Risk Consultancy Ltd) justru menempatkan Indonesia sebagai
negara urutan ketiga se-Asia dalam hal korupsi.
Bagaimana jika negara ini dipimpin oleh orang-orang
yang korup? Bagaimana jika wakil-wakil rakyat kita adalah orang-orang yang
korup? Persolan korupsi bukan barang baru. Sejak zaman nabi-nabi pra Mesias,
persoalan korupsi sudah menggejala dan menyengsarakan rakyat. Nabi-nabi seperti
Hosea, Amos, Yesaya, Yeremia, dll bangkit menyerukan suara kenabian untuk
mengingatkan para pejabat pemerintahan yang korup.
Daniel:
Latar Belakang Sosial dan Keagamaan
Kajian
kita kali ini akan difokuskan pada kehidupan Daniel. Daniel adalah teladan yang
sempurna pada zamannya sebagai seorang pejabat pemerintahan yang memiliki
integritas moral dan spiritual. Daniel adalah keturunan bangsawan Yahudi yang
dibuang ke Babilonia bersama beberapa teman lainnya pada saat pemerintahan
Nebukadnezar pada tahun 606 SM. Dia
hidup dengan melewati tiga zaman pemerintahan yaitu Nebukadnezar dari Babilonia
(Dan 2:1), Belyazar dari Babilonia pada tahun 606-519 SM (Dan 5:1), Darius dari
Media pada tahun 519 (Dan 6:1) serta Koresh dari Persia pada tahun 330 SM (Dan
10:1).
Daniel
memiliki keistimewaan. Pada ayat 4 dikatakan bahwa Daniel memiliki Ruakh Yatira. Lembaga Alkitab
Indonesia menerjemahkan
dengan “roh yang luar biasa”. American
Standard Version menerjemahkan dengan “roh di atas rata-rata”, sementara The New International Version
menerjemahkan dengan “kualitas yang luar biasa”. Ruakh Yatira yang dimiliki Daniel berkaitan dengan kemampuannya
mengelola pemerintahan, organisasi dan kepemimpinan atas suatu wilayah. Bukan
hanya itu saja, Ruakh Yatira yang
dimiliki Daniel berkaitan rapat dengan kemampuan Daniel melihat masa depan
berkaitan dengan apa yang akan terjadi atas Israel dan pemerintahan
bangsa-bangsa pada zaman akhir. Daniel Pasal 7-12 lebih banyak menceritakan
berbagai mimpi dan penglihatan Daniel yang berbicara mengenai zaman akhir.
Oleh karena berbagai kelebihan Daniel, maka dia
menempati posisi strategis dan terkemuka di zaman Darius Raja Media, yaitu
sebagai salah satu dari tiga pejabat tinggi yang mengawasi wakil-wakil raja di
daerah. Tiap-tiap wakil raja di daerah akan melaporkan dan memberikan
pertanggungjawaban pada pejabat tinggi yang telah ditunjuk Sang Raja dan salah
satu dari pejabat tinggi itu adalah Daniel.
Penunjukkan Daniel menjadi salah satu pejabat tinggi
yang membawahi wakil-wakil raja, menimbulkan kecemburuan teman-temannya. Mereka
berupaya untuk menjatuhkan Daniel dengan cara mencari-cari kesalahannya. Tidak satupun kesalahan Daniel ditemukan. Daniel 6:5-6 memberikan
kesaksian mengenai kualitas yang dimiliki Daniel sbb:
“Kemudian para pejabat tinggi dan wakil raja
itu mencari alasan dakwaan terhadap Daniel dalam hal pemerintahan, tetapi
mereka tidak mendapat alasan apa pun atau sesuatu kesalahan, sebab ia setia dan tidak ada didapati
sesuatu kelalaian atau sesuatu kesalahan padanya. Maka berkatalah
orang-orang itu: "Kita tidak akan mendapat suatu alasan dakwaan terhadap
Daniel ini, kecuali dalam hal ibadahnya kepada Tuhannya!"
Terjemahan
LAI mengenai kalimat, “sebab ia setia dan tidak ada didapati sesuatu kelalaian
atau sesuatu kesalahan padanya”, kurang menggemakan kekuatan karakter Daniel.
Dalam bahasa Aramaik dikatakan, di
meheman hu, wekol shalu ushekita, la histekakhat alohi, yang oleh New Revised Standard Version
diterjemahkan, “karena dia orang yang dapat dipercaya dan tidak ditemukan
kelalaian atau korupsi padanya”. Daniel adalah orang yang dapat dipercaya, dengan kata lain jujur. Tidak lalai, dengan kata lain disiplin. Tidak korupsi, dengan kata lain tidak melakukan manipulasi
atau penipuan.
Kualitas
moral Daniel bukan bakat alami yang dimilikinya. Kualitas moral Daniel lahir
sebagai hasil dari kualitas spiritualnya. Bagaimana kualitas moral Daniel,
demikianlah dengan kualitas spiritualnya. Mari kita perhatikan kualitas
spiritual yang bagaimana yang dimiliki Daniel.
Pertama, Daniel adalah yang
melandaskan kehidupannya berdasarkan Torah. Dalam Daniel 1:8 dikatakan sbb:
“Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan
dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja;
dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan
dirinya”.
Sikap
hidup Daniel didorong oleh pemahamannya atas Imamat 11 mengenai makanan yang
“kosher” (layak dimakan) dan “tidak kosher”, serta gaya hidup Adam dan Khawa
yang hanya makan tumbuhan hidup (Kej 1:30).
Kedua, Daniel adalah seorang yang memiliki
hubungan pribadi dengan Tuhannya yang dibangun melalui kehidupan doa. Ketika
teman-teman Daniel mencari-cari kesalahan Daniel dalam hal ibadahnya, sehingga
berhasil menjerumuskan Raja Nebukadnezar untuk menghukum Daniel, dikatakan pada
pasal 6:11 sbb:
“Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah
itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada
tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa
serta memuji Tuhannya, seperti yang biasa dilakukannya”.
Daniel
memiliki kebiasaan berdoa tiga kali sehari, “seperti yang biasa dilakukannya”.
Daniel tidak berdoa tiga kali sehari karena ada badai dalam hidupnnya. Daniel
berdoa tiga kali sehari sebagaimana yang biasa dia lakukan sebelumnya, baik
ketika ada badai dalam hidup maupun dalam keadaan tenang. Dalam bahasa Aram
dikatakan, di hawa aved min qadmat dena,
yang arti harafiahnya, “sebagaimana dia melakukannya sejak dari mulanya”. Kata qadmat bermakna “awal mulanya” atau
“waktu yang lampau”. Jadi, Daniel sudah sejak mulannya melakukan kebiasaan doa
harian tiga kali sehari.
Frasa,
“Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga
kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Tuhannya”, ada kata yang tidak
diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia, sehingga mengurangi kekuatan pesan yang hendak disampaikan
naskah sumber. Kata tersebut adalah zimnin,
yang bermakna “waktu-waktu yang telah ditetapkan”. Sehingga frasa terjemahan
tersebut selayaknya adalah, “Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang
terbuka ke arah Yerusalem; dan pada
waktu-waktu yang telah ditetapkan, tiga kali sehari ia berlutut, berdoa
serta memuji Tuhannya”. Sampai hari ini, orang-orang Yahudi tetap melestarikan
waktu-waktu doa yang disebut dengan zemanim dan pola-pola doa yang disebut
tefilah yang terdiri dari shakharit (pagi),
Minkhah (siang), Ma’ariv (petang).
Ketiga, Daniel adalah orang
yang beriman sepenuhnya pada Tuhannya. Ekspresi keimanan Daniel terekam dalam
Daniel 6:20-24 sbb:
"Pagi-pagi sekali ketika fajar menyingsing, bangunlah raja dan pergi
dengan buru-buru ke gua singa; dan ketika ia sampai dekat gua itu, berserulah
ia kepada Daniel dengan suara yang sayu. Berkatalah ia kepada Daniel:
"Daniel, hamba Tuhan yang hidup, Tuhanmu yang kausembah dengan tekun,
telah sanggupkah Ia melepaskan engkau dari singa-singa itu?" Lalu kata
Daniel kepada raja: "Ya raja, kekallah hidupmu! Tuhanku telah mengutus
malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak
mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tak bersalah di hadapan-Nya; tetapi
juga terhadap tuanku, ya raja, aku tidak melakukan kejahatan." Lalu sangat
sukacitalah raja dan ia memberi perintah, supaya Daniel ditarik dari dalam gua
itu. Maka ditariklah Daniel dari dalam gua itu, dan tidak terdapat luka apa-apa
padanya, karena ia percaya kepada
Tuhannya”.
Daniel menegaskan sikap imannya dengan mengatakan:
“Tuhanku telah mengutus
malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak
mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tak bersalah di hadapan-Nya”.
Dan penulis kehidupan Daniel memberikan keterangan
pada ayat 24, “Maka ditariklah Daniel dari dalam gua itu, dan tidak terdapat
luka apa-apa padanya, karena ia percaya kepada Tuhannya”. Kalimat, “karena ia
percaya kepada Tuhannya”, dalam bahasa Aramaik dituliskan, di hemin be Elaheh. Kata hemin
dari kata aman yang artinya “taat”,
“setia”, “yakin”. Sikap iman yang sama sebelumnya telah diperlihatkan oleh
Daniel manakala dirinya dimasukkan dalam dapur api karena enggan menyembah
patung Raja Nebukadnezar. Dalam Daniel 3:17-18 dilaporkan sbb:
“Jika Tuhan kami
yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari
perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi
seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan
memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan
itu."
Demikianlah tiga contoh yang menegaskan kualitas
spiritual Daniel yang mengimbas dalam bentuk kualitas moralnya dalam pekerjaan
dan jabatannya. Kata kunci yang harus kita garis bawahi: “kualitas moral lahir
dari kualitas spiritual dan spiritualitas yang berkualitas melahirkan moralitas
yang berkualitas”. Hasil akhir dari kualitas spiritual dan moral yang tahan uji
dalam menghadapi berbagai godaan tersebut adalah, “Dan Daniel ini mempunyai
kedudukan tinggi pada zaman pemerintahan Darius dan pada zaman pemerintahan
Koresh, orang Persia itu” (Dan 6:29).
Refleksi
Apa yang dapat kita petik dari kisah Daniel di atas?
Pertama, kita harus menjadi
orang beriman yang “dapat dipercaya”, “tidak lalai” serta “tidak bermentalitas
korupsi”. Kisah Daniel memberikan inspirasi dan dorongan pada orang-orang
beriman untuk menjadi garam dan terang dunia, dengan menunjukkan kualitas moral
yang baik. Kita dapat menunjukkan kualitas moral itu di berbagai bidang
kehidupan, al. di sekolah, di kantor, di tempat bekerja, entah sebagai pemimpin
maupun karyawan atau usahawan. Khususnya mereka yang berkomitmen melibatkan
diri dalam aktivitas panggung politik, kisah Daniel mendorong kita untuk
menjadi politisi dan birokrat yang “dapat dipercaya”, “tidak lalai” serta
“tidak bermentalitas korupsi”. Jangan hanya menjadikan kekuasaan dan uang
sebagai orientasi namun tunjukkanlah kualitas moral yang baik. Karena dengan
kualitas moral yang baik, politisi dan birokrat akan dicintai rakyat dan
membuat jabatannya semakin tinggi dan berkelanjutan, sebagaimana dialami
Daniel. Jangan hanya mengobral janji tapi bekerjalah dengan sepenuh hati untuk
memperjuangkan hak-hak rakyat. Jangan menjadikan jabatan legislatif sebagai
ladang bisnis melainkan ajang untuk mengabdikan diri untuk kepentingan orang
banyak. Ciri seorang politisi /anggota legislatif/eksekutif “Kristen” (Mesianik) adalah kualitas moralnya
yang mewarnai seluruh tindakan-tindakannya.
Kedua, agar orang beriman memiliki kualitas moral
yang baik, maka dia harus membangun spiritualitas yang berkualitas. Kualitas
spiritual bukanlah semata-mata rajin beribadah namun memungkiri kekuatan
ibadah. Kualitas spiritual bukanlah tekun membaca Kitab Suci namun tidak
memahami pesan-pesan di dalamnya. Kualitas spiritual bukanlah giat memberikan
persembahan dan derma namun mengganggap persembahan dan derma itu untuk
mempertontonkan status sosialnya. Kualitas spiritual adalah kehidupan
kerohanian orang beriman yang hidup dan dinamis dalam pengenalannya akan Tuhan
dan firman-Nya. Orang tidak akan takut dengan berbagai aturan yang mengancam
dengan penjara atas perilaku korup. Korup adalah penyakit dalam jiwa seseorang.
Kesembuhan mentalitas korup haruslah memiliki hubungan yang benar dengan Tuhan.
Hubungan yang benar dengan Tuhan, akan menjauhkan kita dari sikap-sikap korup.
Sehingga tanpa aturan yang menakut-nakuti pun, seseorang akan takut berbuat
dosa korupsi. Khususnya mereka yang berkomitmen melibatkan diri dalam aktivitas
panggung politik, kisah Daniel mendorong kita untuk menjadi politisi dan
birokrat yang Takut akan YHWH dan Mesias Yahshua. Politisi dan birokrat yang
tidak memiliki kualitas spiritual tidak memiliki orientasi melayani dan jiwa
pengabdian. Bagaimana akan dihasilkan kualitas moral yang baik, jika para
politisi dan birokrat adalah orang-orang yang menyepelekan ibadah, menjauh dari
pertemuan-pertemuan ibadah, tidak memiliki kedisplinan dan kerinduan bersekutu
secara pribadi dengan Tuhan, bahkan tidak pernah membaca dan memahami Kitab
Suci?
Dari penjelasan di atas, marilah menjadikan kisah
Daniel sebagai inspirasi dan daya dorong untuk melakukan berbagai perubahan
dalam hidup dan menjadi terang serta garam dunia sebagai wujud kesaksian
murid-murid Yahshua yang di utus ke dalam dunia.
No comments:
Post a Comment