Bagi anak-anak atau remaja tahun 2000-an awal tentu sangat akrab dengan novel dan film Harry Potter karya novelis J.K. Rowling. Selain nama penyihir cilik Harry Potter dan kedua temannya sebagai tokoh utama ada juga tokoh antagonis bernama Lord Voldemort
Lord Voldemort digambarkan sebagai tokoh yang sangat jahat, kejam, licik, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Terlahir dengan nama Tom Marvolo Riddle, Voldemort dikenal sebagai salah satu siswa Hogwarts yang paling cemerlang di masanya. Tidak heran, ia sangat hebat dalam sihir dan ditakuti oleh nyaris seluruh penyihir hingga titik di mana rakyat sihir takut untuk menyebut namanya. Sehingga, Voldemort kerap disebut sebagai You-Know-Who (Kau-Tahu-Siapa), Dark Lord (Pangeran Kegelapan), atau He-Who-Must-Not-Be-Named (Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut).
Entahkah J.K. Rowling terinspirasi dengan sikap penganut Yudaisme yang menghindari nama Tuhan sehingga setiap membaca tulisan Ibrani YHWH diucapkan Adonai (Tuan) atau Ha Shem (Sang Nama) atau hendak menjadikannya sebagai lelucon dan serangan terhadap kepercayaan Yudaisme dengan mengidentifikasi tradisi penyucian nama Tuhan (Kiddush Ha Shem) sehingga menghindari penyebutan nama-Nya di muka publik karena dianggap menodai kesucian nama-Nya (Khilul Ha Shem)? Hanya Rowling yang tahu pasti jawabannya.
Larangan mengucapkan nama Lord Voldemort mengingatkan sebuah tradisi dan fatwa rabinik untuk tidak mengucapkan nama Tuhan dimuka publik dengan melakukan interpretasi teks Keluaran 20:7 yang berbunyi, “Lo tissa et shem YHWH Eloheika lashaw”
yang artinya “jangan menyebut nama YHWH
Tuhanmu dengan sembarangan”. Apakah perintah tersebut melarang kita untuk
mengucapkan nama Yahweh secara audible
atau terdengar oleh telinga?
Ayat di atas dimaknai oleh orang-orang Yahudi
setelah mereka pulang dari pembuangan Babilonia sehingga para rabi mereka
memutuskan untuk tidak menyebut nama Yahweh ketika membaca Kitab Suci atau
berkotbah namun menggantikannya dengan sapaan penghormatan Adonai (Tuan) dan Ha Shem
(Nama Itu). Sumber larangan berasal dari Talmud yang mengatakan, “…di tempat suci, seseorang mengucapkan Sang Nama
sebagaimana tertulis, namun di luar tempat itu, harus dengan bentuk euphemisme” (Misnah Sotah 7:6; Berakhot Sotah 38b; Misnah Tamid 7:2).
Rabi Moshe
Maimonides (Rambam) dalam Misheh Torah mengatakan, “Tidak saja sumpah palsu
yang dilarang, tetapi juga adalah dilarang untuk menyebut salah satu dari nama
yang ditetapkan untuk Tuhan dengan sembarangan, meskipun seseorang tidak
melakukan suatu sumpah. Karena ketentuan ayat ini memerintahkan kita: untuk
menghormati nama yang mulia dan dahsyat”. Termasuk penghormatan dalam hal untuk
tidak menyebutnya dengan sembarangan” (Laws of Oath 12:11).
Terlepas dari interpretasi rabi-rabi dalam
Yudaisme, jika kita perhatikan dengan seksama larangan “Lo tissa et shem YHWH Eloheika lashaw” adalah agar kita jangan sembarangan
mempergunakan nama YHWH seperti bersumpah palsu demi namanya sebagaimana
dikatakan dalam Keluaran 19:12 “Janganlah
kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan
nama Tuhanmu; Akulah YHWH”.
Jika diperluas maknanya menjadi larangan untuk
mengucapkan namanya di ruang publik tentu bertentangan dengan teks-teks lainnya
yang memerintahkan agar kita memanggil nama-Nya sebagaimana dikatakan dalam 1
Tawarik 16:8, “Bersyukurlah kepada
YHWH, panggillah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara
bangsa-bangsa!”. Bahkan dikatakan, “...kesukaan
kami ialah menyebut nama-Mu dan mengingat Engkau” (Yes 26:8).
Demikian
pula Daud memberikan teladan, “Aku akan
memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah” (Mzm
22:22). Jika nama-Nya berkuasa, mengapa kita tidak memanggil dengan nama-Nya?
No comments:
Post a Comment