Berbicara mengenai wanita, tentu tidak bisa
dilepaskan dari kecantikkan dan perhiasan yang memperlengkapi kecantikannya.
Tidak mengherankan jika kita melihat penampilan seorang wanita dari kelas
sosial tertentu akan memperlihatkan simbol-simbol statusnya salah satunya
melalui perhiasan yang dikenakannya. Perhiasan, bukan sekedar simbol
pencapapaian prestasi melainkan simbol status sosial seorang wanita. Berhias
dan perhiasan yang melekat dengan citra seorang wanita bukanlah sebuah
kesalahan ataupun kejahatan, namun ada sesuatu yang lebih besar dan lebih
penting dari itu semua adalah adakah para wanita khususnya wanita Kristen telah
memiliki dan mengenakan perhiasan yang bukan “lahiriah” belaka melainkan
perhiasannya adalah “manusia batiniah”. Apakah “perhiasan lahiriah” (exotheen, Yun) itu? “mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan
mengenakan pakaian yang indah-indah” (1 Ptr 3:3).
Apakah “manusia batiniah” (tes kardias anthropos, Yun) itu? Perhatikan kalimat “mereka dimenangkan oleh kelakuan istrinya” (1 Ptr 3:1), “bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu” (1 Ptr 3:2), “mereka tunduk pada suaminya” (1 Ptr 3:6). Maka “manusia batiniah” yang merupakan perhiasan bagi perempuan Kristen adalah kesalehan, ketaatan, ketundukkan, kebaikkan. Apalah artinya perhiasan-perhiasan yang terlihat dan mempercantik wajah dan tubuh seorang wanita Kristiani namun hatinya dipenuhi dengan kedengkian, iri hati, kesombongan, akar pahit, kebencian, prasangka, tamak, rakus? Betapa berbanding terbaliknya apa yang dikenakan di luar dan apa yang dikenakan di dalam. Keindahan perhiasan seolah menutupi kebusukkan hati yang penuh dengan rupa-rupa kejahatan.
Oleh karenanya perhiasan lahiriah yang melekat pada diri seorang wanita Kristiani seharusnya diiringi dengan perhiasan batiniah yang tidak nampak di mula publik namun dapat dirasakan dan dialami oleh publik. Cara berdandan yang demikian – yaitu mengenakan manusia batiniah – adalah, “Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Tuhan; mereka tunduk kepada suaminya” (1 Ptr 3:5). Kecantikkan dari dalam yang memancar keluar seharusnya mengimbas pada perhiasan luar yang diperguanakn seorang wanita sehingga menyempurnakan kecantikkannya.
Apakah “manusia batiniah” (tes kardias anthropos, Yun) itu? Perhatikan kalimat “mereka dimenangkan oleh kelakuan istrinya” (1 Ptr 3:1), “bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu” (1 Ptr 3:2), “mereka tunduk pada suaminya” (1 Ptr 3:6). Maka “manusia batiniah” yang merupakan perhiasan bagi perempuan Kristen adalah kesalehan, ketaatan, ketundukkan, kebaikkan. Apalah artinya perhiasan-perhiasan yang terlihat dan mempercantik wajah dan tubuh seorang wanita Kristiani namun hatinya dipenuhi dengan kedengkian, iri hati, kesombongan, akar pahit, kebencian, prasangka, tamak, rakus? Betapa berbanding terbaliknya apa yang dikenakan di luar dan apa yang dikenakan di dalam. Keindahan perhiasan seolah menutupi kebusukkan hati yang penuh dengan rupa-rupa kejahatan.
Oleh karenanya perhiasan lahiriah yang melekat pada diri seorang wanita Kristiani seharusnya diiringi dengan perhiasan batiniah yang tidak nampak di mula publik namun dapat dirasakan dan dialami oleh publik. Cara berdandan yang demikian – yaitu mengenakan manusia batiniah – adalah, “Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Tuhan; mereka tunduk kepada suaminya” (1 Ptr 3:5). Kecantikkan dari dalam yang memancar keluar seharusnya mengimbas pada perhiasan luar yang diperguanakn seorang wanita sehingga menyempurnakan kecantikkannya.
No comments:
Post a Comment