Monday, September 10, 2012

BAGAIMANA NASIB ORANG KRISTEN YANG MATI BUNUH DIRI?



Kitab TaNaKh (Torah – Neviim – Ketuvim) maupun Kitab Perjanjian Baru tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana hukumnya orang yang melakukan bunuh diri. Bagaimana kita dapat melakukan penilaian dosa dan tidaknya kematian dengan cara bunuh diri jika Kitab Suci tidak memberikan aturan yang jelas? Bagaimana pula sikap kita dalam memperlakukan orang yang mati dengan cara bunuh diri?

Pandangan Yudaisme dan Kekristenan Terhadap Bunuh Diri

Yudaisme memandang tindakan bunuh diri sebagai dosa yang besar (grave sin) dan dosa yang keji (heinous sin), dosa yang serius (serious sin)[1]. Referensi Talmud mengenai kasus bunuh diri terdapat dalam Bava Kama 91b yang memberikan penafsiran terhadap Kejadian 9:5, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia”. Dengan kata lain, Tuhan akan menuntut atas darah kita yang ditumpahkan oleh kita sendiri[2].

Yudaisme sendiri membedakan antara tindakan bunuh diri didasarkan kondisi mental yang sadar sepenuhnya (sound mind: lada’at) dan yang tidak sadar sepenuhnya/gila (unsound mind: she lo lada’at). Mereka yang naik ke atas pohon atau bangunan lalu mengalami kecelakaan tentu saja tidak dikategorikan bunuh diri dalam keadaan yang sadar. Sementara mereka yang naik ke atas bangunan atau pohon yang tinggi dan menyatakan pada semua orang bahwa dia akan melompat dan menjatuhkan dirinya lalu mati maka mereka terkategori melakukan bunuh diri dalam sebuah kesadaran[3].

Rabbi Moshe Maimonides yang hidup pada Abad 13 Ms menuliskan dalam Rotzeah, 2.2-3 bahwa “tidak ada (hukuman) kematian di persidangan” bagi yang melakukan bunuh diri melainkan “(hukuman) kematian oleh surga”. Pernyataan ini membuat teka-teki namun beberapa panafsir mengatakan bahwa ini adalah cara Maimonides untuk mengatakan bahwa mereka yang melakukan bunuh diri tidak akan dapat dituntut dalam pengadilan dunia melainkan pengadilan Tuhan dan mereka dipastikan tidak akan mendapatkan bagian dalam dunia yang akan datang (olam haba)[4]

Perlakuan Terhadap Orang Yang Bunuh Diri

Referensi Paska Talmudik menjelaskan bahwa mereka yang mati dengan cara bunuh diri tidak berhak menerima perlakuan sebagaimana mereka yang mati secara wajar. Tidak ada upacara dan pembacaan doa-doa khusus (YD 345:1; Maim. Yad, Evel 1:11). Beberapa yang lain mengatakan tidak perlu melakukan apapun kecuali mengafani dan menguburkannya (Rashba, Resp., vol. 2, no. 763)[5].

Demikian pula dalam referensi tulisan Bapa Gereja (Church Fathers), sejumlah pemikir seperti Agustinus menggumuli kasus bunuh diri dan menyatakan bahwa itu merupakan salah satu dosa yang tidak terampuni. Dan Gereja Abad Pertengahan melalui tulisan Thomas Aquinas meneruskan pandangan yang serupa tersebut dengan memperlakukan penguburan terhadap mereka yang melakukan bunuh diri, dengan cara yang kurang terhormat dibandingkan mereka yang mengalami kematian secara wajar. Hal berbeda ditunjukkan oleh para Bapak Reformasi. Didasarkan pada penafsiran Matius 12:31 dimana dosa yang tidak terampuni adalah menghujat Roh Kudus, maka baik Luther maupun Calvin menolak mengategorikan bahwa tindakan bunuh diri adalah dosa yang tidak terampuni.[6]

Pandangan Judeochristianity Terhadap Bunuh Diri

Bagaimana Judeochristianity menentukan sikap terhadap kematian dengan cara bunuh diri? Orang yang melakukan bunuh diri, setara dengan orang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Torah melarang pembunuhan terhadap orang lain (Kel 20:13) dan seorang pembunuh harus menerima hukuman bunuh (Bil 35:16-20). Maka tindakan bunuh diri, dapat disetarakan dengan tindakan melakukan pembunuhan terhadap orang lain.

Kitab TaNaKh menyitir soal kematian orang fasik yang diidentikan dengan “mati binasa dalam kegelapan” sebagaimana dikatakan dalam 1 Samuel 2:9 sbb: “Langkah kaki orang-orang yang dikasihi-Nya dilindungi-Nya, tetapi orang-orang fasik akan mati binasa dalam kegelapan, sebab bukan oleh karena kekuatannya sendiri seseorang berkuasa”. Kitab TaNaKh pun menyitir soal “kematian tanpa hikmat” sebagaimana dikatakan dalam Ayub 4:23 sbb: “Bukankah kemah mereka dicabut? Mereka mati, tetapi tanpa hikmat”. Dengan dalil-dalil di atas, maka orang yang melakukan bunuh diri dapat dikategorikan telah melakukan tindakan yang setara dengan membunuh dan mereka dikategorikan setara dengan orang fasik yang mati dalam kegelapan dan tanpa hikmat.

Kitab TaNaKh memang memberikan informasi perihal sejumlah nama orang yang melakukan tindakan bunuh diri namun dengan motif dan konteks yang berbeda seperti kasus Simson yang merobohkan tiang bangunan orang Filistin untuk membiarkan dirinya mengalami kematian dengan jumlah kematian orang Filistin yang lebih banyak (Hak 16:30). Demikian pula Saul yang menancapkan pedangnya pada tubuhnya (1 Sam. 31:4–5) serta Yudas yang menggantung dirinya setelah menerima uang 30 keping perak sebagai upah pengkhianatan terhadap gurunya (Mat 27:5). Dalam kasus-kasus di atas tidak ada penilaian apapun dalam Kitab TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru mengenai tindakan mereka apakah dinilai salah atau tidak.

Namun dengan melihat kasus dan motifnya, maka baik tulisan para rabbi dalam Talmud maupun para Bapa Gereja sepakat memberikan penilaian positip terhadap tindakan Samson demi menyelamatkan bangsanya dari serangan bangsa Filistin. Demikian pula para rabbi menilai bahwa tindakan Shaul dapat dibenarkan dikarenakan untuk menghindari tindakan ejekan dan hinaan musuh agar menyangkali nama YHWH (khilul ha Shem) dan bukan memuliakan nama YHWH (Kidush ha Shem). Namun tidak demikian dengan sikap Bapa Gereja terhadap apa yang dilakukan Yudas yang dianggap sebagai tindakan berdosa yang serius, sekalipun para Bapak Reformasi memandang tindakan Yudas bukan dosa yang setara dengan dosa yang tidak terampuni.


Pandangan Judeochristianity 
Mengenai Perlakuan Terhadap Orang Yang Bunuh Diri

Bagaimana perlakuan terhadap orang Kristen yang mengalami kematian dengan cara bunuh diri, bagaimanakah sikap kita sebagai keluarga atau jemaat? Tentu saja dengan berdasarkan pada prinsip iman Kristen yang melandaskan diri pada sabda dan ajaran Yesus Sang Mesias yaitu cinta kasih terhadap sesama, maka kita pun akan memperlakukan mereka yang meninggal dengan cara yang tidak terhormat tersebut tetap dengan cara yang layak. Bukan saja sikap ini ditujukan kepada mereka yang mengalami kematian akibat bunuh diri namun juga terhadap anggota keluarga dari korban bunuh diri.

Yang menjadi persoalan, apakah kita harus mengucapkan kata-kata doa dan pengangungan pada Tuhan selayaknya ketika sedang melakukan upacara pelepasan jenasah dan penguburan jenasah terhadap mereka yang meninggal secara wajar dan terhormat? Tentu saja ada perbedaan antara melepas dan menguburkan orang mati (ha metim) yang berstatus bunuh diri dengan yang meninggal dengan cara wajar dan terhormat.

Dalam liturgi ibadah tentu kita tidak akan mengutip ayat-ayat yang berisikan sabda Yesus Sang Mesias yang berisikan janji bahwa barangsiapa yang percaya kepadanya sebagai Mesias dan Putra Tuhan akan mendapatkan kehidupan kekal di dunia yang akan datang. Isi Liturgi tentu saja harus dipilih yang berkaitan dengan tema keadilan dan penghakiman Tuhan seperti Mazmur 7:1-18, Mazmur 25:1-22, Roma 14:10, 2 Korintus 5:10, Wahyu 20:11-15, dll.

Perlukah kita memintakan pengampunan terhadap orang Kristen yang meninggal dengan cara bunuh diri? Berdasarkan pemahaman terhadap Yekhezkiel 33:11 yang menyatakan bahwa YHWH tidak berkenan terhadap kematian orang fasik melainkan pertobatannya. Dan berdasarkan pemahaman terhadap Yesaya 55:7 bahwa orang fasik harus meninggalkan jalan kefasikannya serta berdasarkan pemahaman terhadap 1 Yohanes 1:9 (dan ayat-ayat yang setara dengan pernyataan tersebut) bahwa jika kita mengaku dosa kita maka Tuhan adalah setia dan adil dan dia akan mengampuni dosa seseorang, maka pintu pertobatan dan pengampunan hanya terbuka lebar saat kehidupan di dunia ini diselengarakan dan kita manfaatkan sebaik-baiknya. Setelah kehidupan ini bukan lagi saatnya meminta pengampunan melainkan menunggu waktu untuk pertanggungjawaban sebagaimana dikatakan, “Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29). Demikian pula digemakan kembali dalam Wahyu 14:13 sbb, “Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka”.

Terhadap keluarga atau jemaat Kristen yang meninggal dengan cara bunuh diri maka baik rohaniawan maupun keluarga yang terlibat dalam ibadah pelepasan jenazah dan penguburan jenazah, hendaklah berdoa menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan YHWH Sang pemilik Keadilan dan Kebenaran untuk menghakimi dengan adil.




END NOTES

[1] Jewish views on suicide
http://en.wikipedia.org/wiki/Jewish_views_on_suicide


[2] Rabbi Louis Jacobs, Suicide in Jewish Tradition and Literature
http://www.myjewishlearning.com/life/Life_Events/Death_and_Mourning/Contemporary_Issues/Suicide.shtml


[3] Suicide
http://www.christianitytoday.com/ct/2000/julyweb-only/42.0.html


[4] Op.Cit., Rabbi Louis Jacobs, Suicide in Jewish Tradition and Literature

[5] Ibid.,


[6] Thomas D. Kennedy, Suicide and the Silence of Scripture
http://www.christianitytoday.com/ct/2000/julyweb-only/42.0.html

No comments:

Post a Comment