Thursday, February 23, 2012

HAKIM – SAKSI – JAKSA - TERDAKWA


ANTARA SUAP DAN FENOMENA LUPA


Editorial Media Indonesia edisi 23 Februari 2012 dengan Topik “LUPA YANG MULIA”, memberikan deskripsi sbb:

RUANG publik lagi-lagi disuguhi dagelan konyol di panggung pengadilan. Saksi dan terdakwa kasus korupsi kerap dengan enteng melontarkan jurus tidak tahu, tidak ingat, tidak kenal, dan lupa untuk menghindar dari jeratan hukum.

Kiat berkelit seperti itu juga diperlihatkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kala bersaksi dalam sidang kasus suap di Kemenakertrans di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan terdakwa Dadong Irbarelawan dan I Nyoman Suisnaya, Senin (20/2).

Dadong dan Nyoman, dua pejabat di Kemenakertrans, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Agustus silam karena menerima uang suap Rp1,5 miliar dari kuasa perusahaan PT Alam Jaya Papua, Dharnawati, terkait dengan proyek dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi”[1]

Fenomena lupa nampaknya semakin menggejala akhir-akhir ini terhadap mereka yang terkategori penjabat yang bermasalah karena disangkakan atau didakwakan korupsi, termasuk mereka yang masih berstatus tersangka.

Ketua Komsisi X DPR, Mahyudin lebih sering menjawab ‘lupa’ saat majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mencecarnya. Mahyudin dihadirkan sebagai saksi untuk tersangka Muhammad Nazaruddin[2], demikian laporan Oke Zones.

Apa yang dapat kita pelajari dari Kitab Suci mengenai tugas seorang Hakim, Jaksa, Saksi serta persoalan Suap ?

Mengenai Para Hakim

Torah tidak hanya berbicara mengenai aspek ibadah melainkan aspek akhlaq (perilaku) dan muamalah (urusan kemasyarakatan, pergaulan, perdata, dll). Torah memberikan peringatan perihal kualitas yang harus dimiliki oleh seorang hakim sbb: Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran” (Im 19:15)

Kata Ibrani AWEL dalam לא־תעשׂו עול במשׁפט (lo taasyu awel bemishpat) bermakna TINDAKAN YANG TIDAK BENAR. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan dengan CURANG. Satu kali kata Awel diterjemahkan dengan LALIM di Zefanya 3:5. Ayat ini mengandung makna bahwa institusi peradilan pun bukan institusi yang netral dari berbagai pengaruh dan tekanan sehingga Torah memberikan penguatan (enforcement) dengan memerintahkan para hakim untuk mengambil keputusan dengan tegas dan tidak tebang pilih dengan frasa Lo taasyu awel.

Janganlah para hakim memberikan pembelaan yang berlebihan atas mereka yang berstatus sosial yang dikategorikan miskin dengan membebaskan mereka atas sebuah kesalahan yang mereka lakukan. Namun jangan pula Hakim menjadi ciut nyalinya untuk menjerat dan memvonis seorang yang berpengaruh secara ekonomi dan sosial.

Sudah banyak kasus mereka yang memiliki kedudukan sebagai Hakim dan Jaksa yang terjerat kasus hukum karena mereka tidak berani melawan pengaruh orang-orang kuat secara ekonomi[3].

Wednesday, February 8, 2012

HAKIKAT PERJANJIAN BARU


Mayoritas Kekristenan yang mengacu pada pola penafsiran Helenistik (Yunani), cenderung mengganggap bahwa istilah Perjanjian Baru, menunjuk pada suatu kondisi dan tata cara yang lebih unggul yang dibawa oleh Yesus Sang Mesias, karena kehadiranNya melenyapkan fungsi Torah atau lazim disebut Perjanjian Lama. Bagaimanakah Kitab Suci menjelaskan fakta yang sesungguhnya? Adakah istilah Perjanjian Baru mengandaikan lenyapnya Perjanjian yang pertama?, Apa makna Perjanjian Baru yang sesungguhnya?

EKSEGESE YEREMIA 31:31-34
WAKTU PERJANJIAN & PESERTA PERJANJIAN (ay 31)

Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Yahweh, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Yisrael dan kaum Yahuda”.

Kapan waktu yang dimaksudkan? Waktu ini tergenapi saat pelayanan Yesus di Yerusalem, yang memuncak pada kematian dan kebangkitanNya dari maut. Sesaat sebelum Yesus disalibkan dan wafat, pada waktu Seder Pesakh Tgl 14 Nisan, Dia berkata: 

Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26:27-28).

Peserta Perjanjian Baru bukanlah Goyim atau Non Yahudi melainkan kaum Yisrael dan Yahuda. Pelayanan Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan yang memuncak dalam kematian dn kebangkitanNya adalah gerbang pembuka Perjanjian yang Baru. Dan peserta perjanjian itu diwakili oleh jumlah murid Yahshua yang dua belas sebagai simbol jumlah suku-suku Yisrael. Kedua belas murid adalah orang-orang Yisrael dan Yahuda dan bukan Goyim.

KARAKTERISTIK PERJANJIAN (ay 32)

Bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman Yahweh”.

Perjanjian Baru yang diadakan antara Yahweh dengan orang Israel berbeda karakteristik dengan Perjanjian yang pertama atau terdahulu. Bagaimanakah karakteristik perjanjian yang pertama?

Musa memanggil seluruh orang Israel berkumpul dan berkata kepada mereka: "Dengarlah, hai orang Yisrael, ketetapan dan peraturan, yang pada hari ini kuperdengarkan kepadamu, supaya kamu mempelajarinya dan melakukannya dengan setia. Yahweh Tuhan kita, telah mengikat perjanjian dengan kita di Horeb. Bukan dengan nenek moyang kita Yahweh mengikat perjanjian itu, tetapi dengan kita, kita yang ada di sini pada hari ini, kita semuanya yang masih hidup. Yahweh telah bicara dengan berhadapan muka dengan kamu di gunung dan di tengah-tengah api -- aku pada waktu itu berdiri antara Yahweh dan kamu untuk memberitahukan firman Yahweh kepadamu, sebab kamu takut kepada api dan kamu tidak naik ke gunung -- dan Ia berfirman: Akulah Yahweh Tuhanmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Ul 5:1-6).

Perjanjian pertama adalah perjanjian yang diadakan oleh Yahweh dengan nenek moyang Yisrael di Sinai, yaitu ketaatan untuk melaksanakan Torah sebagai ajaran, prinsip, pedoman perilaku ditengah-tengah bangsa penyembah berhala. Bahkan Perjanjian pertama dimeteraikan oleh darah anak domba.

Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: "Segala firman Yahweh akan kami lakukan dan akan kami dengarkan. Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: "Inilah darah perjanjian yang diadakan Yahweh dengan kamu, berdasarkan segala firman ini."(Kel 24:7-8).

Namun perjanjian luhur ini telah mereka langgar dan rusakkan. Dengan cara bagaimana perjanjian luhur ini dirusakkan? Mereka selalu jatuh pada penyembahan berhala, sehingga bangsa Yisrael kerap mengalami penjajahan bangsa-bangsa non Yahudi seperti Babilonia, Media-Persia, Yunani, Romawi, dll. Simak doa Daniel yang menggambarkan pembuangan Yisrael ke segala bangsa sebagai bentuk hukuman Yahweh.

“Maka aku memohon kepada Yahweh Tuhanku, dan mengaku dosaku, demikian: "Ah Junjunganku Tuhanku yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintah-Mu! Kami telah berbuat dosa dan salah, kami telah berlaku fasik dan telah memberontak, kami telah menyimpang dari perintah dan peraturan-Mu, dan kami tidak taat kepada hamba-hamba-Mu, para nabi, yang telah berbicara atas nama-Mu kepada raja-raja kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, kepada bapa-bapa kami dan kepada segenap rakyat negeri. Ya Junjunganku, Engkaulah yang benar, tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yahuda, penduduk kota Yerusalem dan segenap orang Yisrael, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri kemana Engkau telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya Yahweh, kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Engkau” (Dan 9:4-8). 

Wednesday, February 1, 2012

APAKAH TUHAN & AGAMA MASIH DIPERLUKAN?



Midrash Mazmur 139: 1-24

Cha Dong Hae, mantan anggota SG Wannabe (grup paling populer di Korea), menambah panjang daftar selebritas yang meninggal bunuh diri. Hae memang dikabarkan menderita depresi berat setelah dua tahun lalu ditinggal mati manajernya — yang juga bunuh diri di sebuah hotel.

Walau tidak ada catatan statistik yang akurat, selebritas Korea tampak lebih rentan bunuh diri ketimbang artis di Amerika, Eropa, atau Jepang. Padahal tekanan yang dialami dalam mencapai ketenaran kurang lebih sama.

Tahun 2005, artis Lee Eun-Ju (yang sedang naik daun) ditemukan gantung diri. Langkah serupa juga rupanya diambil oleh selebritas Korea yang lain seperti U-Nee, Jeong Da-bin, Ahn Jae-hwan, Choi Jin-sil dan adiknya, Choi Jin-young.
Yang paling menggegerkan, aktor pelopor invasi demam Korea Park Yong Ha tahun lalu ditemukan tewas gantung diri dengan kabel telepon di kamarnya.

Apa yang mendorong selebritas Korea begitu mudah mencabut nyawa mereka sendiri? Percaya atau tidak, negara Korea ternyata memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Organization for Economic Cooperation and Development mencatat, 21 dari 100 ribu orang Korea melakukan bunuh diri — melewati batas normal yaitu 11.

Hwang Sang-Min, seorang psikolog dari Universitas Yonsei, mengungkapkan bahwa orang Korea cenderung membentuk identitas mereka sesuai pandangan orang lain terhadap dirinya. Selain itu, mereka juga memiliki konsep Han — yaitu bersikap diam dan berusaha tabah walau dalam keadaan marah.

“Percaya atau tidak, negara Korea ternyata memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.”  Pekerjaan sebagai selebritas yang sangat lekat dengan urusan pencitraan (alias tergantung pada popularitas) membuat konsep Han jadi amat berat dilaksanakan. Terutama bila mereka sedang menghadapi situasi yang buruk.

Karena selebritas tidak lagi mampu menunjukkan citra baik dan tenang, mereka cenderung frustrasi, menyerah, dan mengambil pilihan drastis — salah satunya adalah bunuh diri.

Faktor lain yang juga berpengaruh dalam tingginya tingkat bunuh diri di kalangan selebritas Korea adalah kurangnya program konseling. Budaya Korea yang cenderung tertutup juga membuat para selebritas itu malu jika ketahuan publik saat pergi ke konseling atau sedang mengalami depresi.

Selain itu, faktor agama rupanya juga memegang peran. Hampir setengah penduduk Korea tidak memiliki agama, sehingga ketika mereka mengalami depresi, penghargaan terhadap nilai kehidupan pun rendah.

Kepercayaan akan konsep reinkarnasi juga membuat orang Korea terdorong untuk mengakhiri hidup mereka dan menjalani kehidupan baru yang mungkin lebih baik dari sekarang.

Yang mengkhawatirkan, banyaknya kasus bunuh diri di kalangan selebritas menimbulkan kecenderungan serupa di kalangan penggemar mereka. Sejak kematian aktris Lee Eun-Ju pada 2005, tingkat bunuh diri dikabarkan mengalami peningkatan cukup signifikan. Oh Kangsub, seorang psikiater di RS Kanbuk Samsung mengatakan, “Ketika seorang selebritas bunuh diri, penggemar mereka akan mengikuti aksi sang idola.” Sebagai langkah antisipasi, kabarnya saat ini pemerintah Korea sedang gencar menggalakkan program konseling di banyak rumah sakit untuk membantu para warga yang sedang depresi [1]

Bisakah manusia meninggalkan Tuhan dan agama? Faktanya manusia pernah meninggalkan Tuhan dan Agama. Sejarah mencatat sejak Renaisance (Revolusi Kebudayaan) pada Abad XV dan XVI serta Aufklarung (Pencerahan) pada Abad XVII-XVIII manusia membuang Tuhan dan Agama dan menjadikan manusia dan rasio serta ilmu pengetahuan sebagai ukuran nilai dan penentu kehidupan.

Adalah seorang Filsuf bernama Friedrich Nietzche yang dilahirkan tahun 1844. Dia membuat konsep tentang Death of God atau Kematian Tuhan. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Ilmu Ceria dia menggagas bahwa manusia harus mengeluarkan Tuhan dalam kehidupannya. Pemikiran tentang Tuhan adalah gagasan orang-orang berkasta rendah yang sakit hati. Jika Tuhan mati maka manusia akan menjadi manusia Ilahi yang disebut Superman atau dalam bahasa Jerman Uebermensch.

Adalah Harvey Cox seorang Teolog Kristen Protestan yang menuliskan buku larisnya pada tahun 1960-an dengan judul Negara Sekular atau Secular City. Breliau adalah penggagas tentang Sekularisasi. Dalam bukunya, Harvey Cox berpendapat bahwa pengosongan dunia dari nilai-nilai ruhani dan agama adalah prasyarat mutlak bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Pembebasan manusia dari nilai-nilai gaib adalah syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi dunia seoptimal mungkin tanpa perlu dibatasi oleh pandangan alam dan agama apapun. Jika dunia dianggap sebagai manifestasi kekuatan supranatural dalam hal ini Tuhan, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dan perkembangan. Tuhan dalam masyarakat sekular berfokus pada manusia sebagai ukuran. Jika manusia bisa menciptakan perdamaian dan kemajuan bagi umat manusia maka Tuhan hadir di sana.

DISORIENTASI KEIMANAN RAJA UZIA


Midrash 2 Tawarikh 26: 1-23

Pada kesempatan ini kita akan belajar dari seorang tokoh dalam silsilah kerajaan Israel. Dia bernama Uzia (Uzi-Yahu). Siapakah Uzia itu? Jika kita membaca 2 Tawarik 25:1-28, dia adalah penerus raja Amazia, ayahnya. Uzia naik tahta dalam usia yang sangat muda yaitu 16 tahun (2 Taw 26:1). Dalam ukuran anak Indonesia, usia 16 tahun adalah usia belajar formal di SMU, namun dalam usia belajar dan masih bergulat dengan pencarian jati diri tersebut, Uzia sudah harus naik tahta dan mengurusi sesuatu yang lebih besar yaitu negara.