Wednesday, February 1, 2012

APAKAH TUHAN & AGAMA MASIH DIPERLUKAN?



Midrash Mazmur 139: 1-24

Cha Dong Hae, mantan anggota SG Wannabe (grup paling populer di Korea), menambah panjang daftar selebritas yang meninggal bunuh diri. Hae memang dikabarkan menderita depresi berat setelah dua tahun lalu ditinggal mati manajernya — yang juga bunuh diri di sebuah hotel.

Walau tidak ada catatan statistik yang akurat, selebritas Korea tampak lebih rentan bunuh diri ketimbang artis di Amerika, Eropa, atau Jepang. Padahal tekanan yang dialami dalam mencapai ketenaran kurang lebih sama.

Tahun 2005, artis Lee Eun-Ju (yang sedang naik daun) ditemukan gantung diri. Langkah serupa juga rupanya diambil oleh selebritas Korea yang lain seperti U-Nee, Jeong Da-bin, Ahn Jae-hwan, Choi Jin-sil dan adiknya, Choi Jin-young.
Yang paling menggegerkan, aktor pelopor invasi demam Korea Park Yong Ha tahun lalu ditemukan tewas gantung diri dengan kabel telepon di kamarnya.

Apa yang mendorong selebritas Korea begitu mudah mencabut nyawa mereka sendiri? Percaya atau tidak, negara Korea ternyata memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Organization for Economic Cooperation and Development mencatat, 21 dari 100 ribu orang Korea melakukan bunuh diri — melewati batas normal yaitu 11.

Hwang Sang-Min, seorang psikolog dari Universitas Yonsei, mengungkapkan bahwa orang Korea cenderung membentuk identitas mereka sesuai pandangan orang lain terhadap dirinya. Selain itu, mereka juga memiliki konsep Han — yaitu bersikap diam dan berusaha tabah walau dalam keadaan marah.

“Percaya atau tidak, negara Korea ternyata memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.”  Pekerjaan sebagai selebritas yang sangat lekat dengan urusan pencitraan (alias tergantung pada popularitas) membuat konsep Han jadi amat berat dilaksanakan. Terutama bila mereka sedang menghadapi situasi yang buruk.

Karena selebritas tidak lagi mampu menunjukkan citra baik dan tenang, mereka cenderung frustrasi, menyerah, dan mengambil pilihan drastis — salah satunya adalah bunuh diri.

Faktor lain yang juga berpengaruh dalam tingginya tingkat bunuh diri di kalangan selebritas Korea adalah kurangnya program konseling. Budaya Korea yang cenderung tertutup juga membuat para selebritas itu malu jika ketahuan publik saat pergi ke konseling atau sedang mengalami depresi.

Selain itu, faktor agama rupanya juga memegang peran. Hampir setengah penduduk Korea tidak memiliki agama, sehingga ketika mereka mengalami depresi, penghargaan terhadap nilai kehidupan pun rendah.

Kepercayaan akan konsep reinkarnasi juga membuat orang Korea terdorong untuk mengakhiri hidup mereka dan menjalani kehidupan baru yang mungkin lebih baik dari sekarang.

Yang mengkhawatirkan, banyaknya kasus bunuh diri di kalangan selebritas menimbulkan kecenderungan serupa di kalangan penggemar mereka. Sejak kematian aktris Lee Eun-Ju pada 2005, tingkat bunuh diri dikabarkan mengalami peningkatan cukup signifikan. Oh Kangsub, seorang psikiater di RS Kanbuk Samsung mengatakan, “Ketika seorang selebritas bunuh diri, penggemar mereka akan mengikuti aksi sang idola.” Sebagai langkah antisipasi, kabarnya saat ini pemerintah Korea sedang gencar menggalakkan program konseling di banyak rumah sakit untuk membantu para warga yang sedang depresi [1]

Bisakah manusia meninggalkan Tuhan dan agama? Faktanya manusia pernah meninggalkan Tuhan dan Agama. Sejarah mencatat sejak Renaisance (Revolusi Kebudayaan) pada Abad XV dan XVI serta Aufklarung (Pencerahan) pada Abad XVII-XVIII manusia membuang Tuhan dan Agama dan menjadikan manusia dan rasio serta ilmu pengetahuan sebagai ukuran nilai dan penentu kehidupan.

Adalah seorang Filsuf bernama Friedrich Nietzche yang dilahirkan tahun 1844. Dia membuat konsep tentang Death of God atau Kematian Tuhan. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Ilmu Ceria dia menggagas bahwa manusia harus mengeluarkan Tuhan dalam kehidupannya. Pemikiran tentang Tuhan adalah gagasan orang-orang berkasta rendah yang sakit hati. Jika Tuhan mati maka manusia akan menjadi manusia Ilahi yang disebut Superman atau dalam bahasa Jerman Uebermensch.

Adalah Harvey Cox seorang Teolog Kristen Protestan yang menuliskan buku larisnya pada tahun 1960-an dengan judul Negara Sekular atau Secular City. Breliau adalah penggagas tentang Sekularisasi. Dalam bukunya, Harvey Cox berpendapat bahwa pengosongan dunia dari nilai-nilai ruhani dan agama adalah prasyarat mutlak bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Pembebasan manusia dari nilai-nilai gaib adalah syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi dunia seoptimal mungkin tanpa perlu dibatasi oleh pandangan alam dan agama apapun. Jika dunia dianggap sebagai manifestasi kekuatan supranatural dalam hal ini Tuhan, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dan perkembangan. Tuhan dalam masyarakat sekular berfokus pada manusia sebagai ukuran. Jika manusia bisa menciptakan perdamaian dan kemajuan bagi umat manusia maka Tuhan hadir di sana.


Tahun 2008 lalu Imam Baehaqi menerjemahkan buku karya Filsuf Ateis ternama yang sudah meninggal yaitu Bertland Russel dengan judul Bertuhan Tanpa Agama dari judul buku aslinya, Russel on Religion. Sekalipun Bertland Russel dipandang sebagai seorang filsuf Ateis dan paling getol mengritisi agama namun ada saja yang memuji keberadaan dirinya termasuk Max Weber seorang Sosiolog ternama. Dia menyebut Russel sebagai “laki-laki yang religius”. Para pembaca tulisan Russel menyebutnya sebagai guru spiritual yang sederajat dengan tokoh-tokoh suci lainnya seperti Tagore, Albert Schweitzer dll. Inti pandangan Russel bahwasanya tanpa kehadiran dan peran agama, seseorag bisa menjadi religius seiring dengan kebaikan yang diperolehnya melalui permenungan dalam memaknai hidup. Menurutnya, perilaku bisa dikatakan religius apabila terus menerus menjembatani jurang diantara dua obyek pemujaan yaitu usaha menjadi lebih baik dan motivasi untuk memperoleh kebaikan yang lebih banyak.

Manusia modern semakin apatis terhadap keberadaan agama. Sikap apatis tersebut dipicu karena sikap ambivalen agama. Ambivalen artinya mendua. Disatu sisi agama mendorong manusia untuk berbuat baik dan mengajarkan perihal ketuhanan dan ibadah serta menjauhkan dari perbuatan tercela. Namun di satu sisi justru agama sering menjadikan manusia satu dengan lainnya bermusuhan dan berperang. Kita masih ingat konflik Hindu dan Islam perihal keberadaan Kuil Ayodya di India. Kita masih ingat bagaimana peperangan antara Katolik dan Protestan di Irlandia. Bahkan yang akhir-akhir ini masih menjadi topik hangat adalah aksis terorisme yang dimotivasi sebuah keyakinan agama telah menyebabkan korban manusia dan harta benda di mana-mana.

Tidak heran banyak orang mulai meragukan keberadaan agama. Bentuk-bentuk penolakkan terhadap keberadaan agama ada beberapa macam. Pertama, menjadi seorang Ateis dan tidak menyembah Tuhan tertentu serta tidak memiliki agama tertentu seperti yang dilakukan Nietsche. Kedua, memisahkan keberadaan agama dari kehidupan negara dan publik sebagaimana usulan Harvey Cox. Ketiga, menjadi seorang religius tanpa Agama sebagaimana yang diajurkan oleh Russel.

Namun apakah manusia bisa terbebas dari agama dan membunuh serta membuang Tuhan dari kehidupan mereka? Sekalipun fakta sejarah manusia berulang kali membunuh dan membuang Tuhan serta agama namun fakta sejarah lainnya mencatat bahwa manusia sesungguhnya tidak mampu membunuh Tuhan dan membuang agama. Manusia akan selalu membutuhkan Tuhan dan memerlukan agama sebagai pedoman moral dan spiritual. Kasus bunuh diri artis Korea yang disitir di atas telah membuktikan bahwa salah satu faktor penyebab bunuh diri adalah ketiadaan agama dan Tuhan di dalam kehidupan seseorang.

Kenyataan bahwa Tuhan dan Agama tidak bisa dibuang dalam kehidupan manusia diungkapkan oleh Pemazmur sbb: “YHWH, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya YHWH. Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mzm 139:1-10)

Ayat 1-6 memberitahukan pada kita bahwa YHWH Maha Tahu atas apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Dia tahu apa yang kita fikirkan, rasakan serta rancangkan sekalipun orang lain tidak mengetahuinya. Ayat 7-10 memberitahukan pada kita bahwa Tuhan Ada dan Maha Hadir. Dimanapun kita berada Dia selalu ada. Bahkan kita tidak bisa berlari menjauh darinya sebagaimana dikatakan: “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?” (Mzm 139:7).

Mengapa manusia tidak dapat melarikan diri dari Tuhan dan membuang Tuhan serta agama dalam kehidupan mereka? Karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Kitab Kejadian pasal 1-2 telah menjelaskan kenyataan dasar tersebut. Manusia diciptakan berdasarkan Gambar dan Citra-Nya sehingga manusia tidak mungkin membuang kebutuhan dirinya akan Tuhan. Ketika manusia membuang dan membunuh Tuhan dan Agama maka manusia mengalami disorientasi atau kehilangan arah tujuan hidup dan kekosongan rohani. Terlepas dari kenyataan sejarah bahwa Agama kerap diselewengkan dan menjadi sumber konflik namun kenyataan terdalam membuktikan bahwa manusia tidak bisa melepaskan dari kebutuhan akan Tuhan dan Agama.

Oleh karenanya Tuhan dan Agama adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kita mengenal Tuhan bernama YHWH yang telah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Firman-Nya yang menjadi manusia (Yoh 1:14) bernama Yahshua atau Yesus (Mat 1:21). Kita mengenal Tuhan sebagaimana dituliskan dalam Kitab Suci baik TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Sistem kepercayaan terhadap Tuhan yang sedemikian, kita ketahui dan kita terima dari sebuah agama bernama Yudaisme dan Kristen.

Agar hidup kita bermakna dan memiliki pengharapan, maka kita harus senantiasa memiliki hubungan dengan Tuhan YHWH di dalam Yesus Sang Mesias Anak-Nya Yang Tunggal melalui ibadah yang berisikan penyembahan atas keberadaan-Nya yang mengatasi diri kita dan melalui mencari kehendak-Nya dengan membaca dan mendengar Firman Tuhan dari Kitab Suci.

Mazmur 1:1-3 mengatakan demikian: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Torah YHWH, dan yang merenungkan Torah itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil

Prof. Mochamad Fathoni, seorang Guru Besar Ilmu Penyakit Jantung dan Kardiovaskular Universitas Negeri Sebelas Maret Solo menyatakan dalam orasi pengukuhan sebagai guru besar bahwa orang yang kurang menjalankan ibadah dengan baik lebih mudah terserang penyakit jantung koroner. Dari penjelasan tersebut kita kembali diingatkan bahwa ibadah kepada Tuhan memiliki nilai yang berpengaruh baik terhadap kejiwaan, kerohanian serta kesehatan.

Rasul Paul menuliskan: “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang” (1 Tim 4:8).

Akhir midrash ini ditutup dengan ajakan agar kita semua senantiasa mencari YHWH dan kehendak-Nya. Bertekunlah dalam ibadah dan pembacaan Kitab Suci agar kita memiliki hubungan yang berkualitas dengan-Nya sehingga Kasih dan Kuasa-Nya menyertai dan memelihara serta menyegarkan kehidupan kita dalam keadaan apapun. Amen we Amen.



[1] Mengapa Selebritas Korea Bunuh Diri? http://id.omg.yahoo.com/blogs/mengapa-selebritas-korea-bunuh-diri-syanne_susita-5.html

No comments:

Post a Comment