Thursday, February 21, 2013

SUAP MEMBUTAKAN MATA ORANG BIJAKSANA




Di era Reformasi yang mengedepankan jargon-jargon (semboyan) al., demokrasi, kebebasan berpendapat, reformasi birokrasi, reformasi hukum, keadilan sosial, anti korupsi dll justru kenyataan-kenyataan di atas semakin menguat saja kepermukaan.

Dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bukan menghentikan dan meminimalisir korupsi dan suap, sebaliknya semakin merajalela di tubuh badan-badan pemerintahan serta partai politik dengan ditemukannya berbagai fakta dan kasus yang ditemukan oleh KPK. Ini bukan bermakna keberadaan KPK menjadi stimulan kemunculan korupsi, melainkan eksistensi dan kerja KPK menyebabkan aktifitas korupsi sistemik di segala bidang mulai terkuak satu persatu dan belum memberikan efek jera kepada pelaku korupsi.

Publik kembali dikejutkan oleh kasus yang sedang hangat hari ini dibahas yaitu kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernama Luthfi Hasan Ishaaq[1]. Ternyata tindakan melawan hukum berupa kasus suap tidak melihat apakah orang tersebut beragama apa atau berasal dari partai berbasis agama atau tidak. Kasus Lutfi Hasan Ishaaq membuktikan bahwa partai berbasis agama tidak menjamin pelaku organisasi kepartaian ini akan menjadi orang yang bersih dan terbebas dari suap dan korupsi.
Bagaimana iman Kristen memandang kasus suap? Tuhan YHWH melalui Torah-Nya ribuan tahun lampau telah mengecam dan melarang praktek suap. Kitab Keluaran (Sefer Shemot) 23:8 Tuhan YHWH bersabda agar para hakim di Israel dalam menjalankan peradilan dalam sistem Teokrasi diperintahkan, “Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”.


Dalam bahasa Ibrani kata Sokhad bermakna “hadiah” dan “pemberian diam-diam” alias “menyogok”. Salah satu bentuk penyuapan adalah Gratifikasi. Apa arti Gratifikasi?Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya[2]. Selanjutnya dikatakan mengenai Gratifikasi, “Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima[3].
Torah berkata, “Suap janganlah kauterima” (wesokhad lo tiqqakh). Torah memberikan alasan mengapa seseorang dilarang menerima suap. Pertama, “membuat buta mata orang-orang yang melihat (ki hasokhad yeawwer piqhim). Bukankah ayat tersebut sudah terbukti kebenarannya ketika seseorang terpandang, berpengaruh, berkedudukan, kaya raya, tiba-tiba menjadi orang yang seolah-olah buta dan mengalami disorientasi tujuan kehidupan sehingga berfokus pada mendapatkan keuntungan pribadi dengan melanggar hukum?

Kedua, “memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar(wisallep divre tsadiqim). Bukankah banyak kasus dimana orang yang tidak bersalah dapat diubah statusnya menjadi terdakwa di persidangan dan harus mengalami hukuman yang tidak seharusnya oleh karena suap dan uang sogok yang diberikan kepada hakim atau jaksa tertentu. Kita kerap mendengar pula tentang “Markus” (Makelar Khusus) dimana mereka adalah oknum hakim yang dapat memperjual belikan perkara. Betapa jahatnya uang suap dan sogokkan.

Ketiga,“sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana(hasokhad yeawwer eyney khakamim) – (Ulangan – Sefer Devarim 16:19). Bukankah sudah terbukti bahwa orang bijaksana, cerdik pandai, terpandang menjadi seorang yang bodoh dan pesakitan serta diumpat banyak orang akibat melakukan kejahatan suap?
Mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa menyuap untuk keuntungan diri sendiri dan orang lain merupakan tindakan kejahatan. Ketidaksadaran tersebut dikarenakan suap tidak melibatkan kekerasan fisik seperti mencuri, membunuh, merampas, merampok. Namun memperoleh keuntungan secara tidak wajar melalui proses suap adalah sebuah kejahatan.

Torah mengatakan bahwa suap dan gratifikasi adalah kejahatan, “Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang(Amo 5:12). Frasa “bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar(rabim pish’ekem we’atsumim khatoteykem) dihubungkan dengan frasa “menerima uang suap” (loqkhey kofer).


Bagaimana kita menanamkan kepada umat Kristen bahwa suap dan gratifikasi adalah sebuah kejahatan dan kekejian yang merugikan bukan hanya diri sendiri melainkan orang lain? Pertama, Gereja khususnya para pendeta harus mengangkat tema tentang suap sebagai sebuah kejahatan dan bagaimana Tuhan melarang aktifitas suap dalam kehidupan sehari-hari. Mimbar gereja bukan hanya membatasi diri menyampaikan kotbah-kotbah yang bersifat polemik doktrinal ataupun kesalehan pribadi belaka (ibadah, tsedaqah, menolong orang lain, dll) melainkan mendidik umatnya untuk mengerti bahwa suap dan gratifikasi adalah kejahatan di mata Tuhan dan negara. Pendeta dan para rohaniawan Kristen harus menanamkan bahwa kelayakan seseorang di hadapan Tuhan bukan semata-mata dia melakukan kesalehan individual melainkan kesalehan sosial sebagaimana dikatakan dalam Mazmur 15:1, “siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? (Mzm 15:1). Dari sekian kategori yang dijabarkan, salah satunya berbunyi, “dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah (Mzm 15:5)

Kedua, Institusi pendidikan dalam hal ini sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai menengah atas harus memasukkan kurikulum baru baik dalam bentuk mata pelajaran budi pekerti atau mata pelajaran khusus yang membahas persoalan-persoalan yang merendahkan martabat diri dan bangsa yaitu salah satunya praktek suap dan gratifikasi.

Ketiga, lembaga terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga harus menanamkan nilai-nilai moralitas dan memberikan wawasan bahwa suap dan gratifikasi merupakan perbuatan yang tercela dan bertentangan dengan moralitas serta merendahkan martabat diri.

Sinergi antara Gereja (dan juga semua lembaga keagamaan non Kristen) dan institusi pendidikan serta keluarga dalam menanamkan pada anak didik sedini mungkin bahwa suap dan gratifikasi adalah perbuatan tercela, akan mencegah secara dini tindakan-tindakan kejahatan tersebut kelak saat mereka menjadi pejabat publik karena telah tertanam dalam alam bawah sadar serta menjadi gaya hidup.

Umat Kristen harus meneladan Mesias dalam pikiran, perkataan, perilaku. Menolak suap adalah salah satu dari Akhlaq Al Masih atau Halaqah ha Mashiakh. Sungguh menyedihkan jika ada orang-orang Kristen memberikan suap kepada aparat kepolisian atau pengadilan demi membebaskan dirinya atau salah satu anggota keluarganya dari jerat hukum. Sungguh memperihatinkan jika ada orang-orang Kristen demi memenangkan suatu perkara yang lemah baik mengenai usaha, tanah, kepemilikan dengan menyuap aparat hukum dan peradilan. Sesungguhnya mereka telah memenuhi apa yang dikatakan Firman Tuhan, “sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar

Marilah kita menjadi orang-orang Kristen dan pengikut Yesus Sang Mesias yang bertanggung jawab dan membersihkan diri dari perilaku tidak terpuji yaitu suap dan sogok demi mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain namun disatu sisi merugikan institusi bahkan negara.

No comments:

Post a Comment