Tuesday, May 7, 2013

MISKIN NAMUN MEMPERKAYA ORANG LAIN, KAYA FINANSIAL DAN KAYA AKAN KEBAJIKAN



Bahan Renungan:

2 Korintus 6:10, 1 Timotius 6:18


Ketika saya masih sekolah menengah atas di Bandung, saya pernah ingin menyalurkan bakat menulis saya dengan menyerahkan naskah cerpen ke pihak organisasi intra sekolah agar dapat dimuat di mading (majalah dinding). Namun cerpen tersebut dikembalikan pihak pengelola mading dengan alasan isinya terlalu idealis dan mustahil terjadi. Alasan pengembalian tersebut hanya dikarenakan saya membuat cerita tentang seorang pengemis baik hati yang mengembalikan dompet seseorang yang terjatuh dan tergeletak di jalanan, dimana ada sejumlah uang dan kartu identitas pemilik dompet. Saya kecewa dan tidak habis pikir dengan alasan penolakkan tersebut. Ketika saya membuat cerpen tersebut bukan dikarenakan saya telah melihat fakta atau mendengar sebuah kisah nyata yang saya tuangkan dalam bentuk cerpen. Sebaliknya, saya memang ingin menyalurkan sebuah idelaisme mengenai kejujuran dan kebaikan serta martabat, bahwa seorang miskin yang menjadi pengemis belum tentu akan memanfaatkan setiap kesempatan yang akan membuatnya melakukan tindakan melanggar hukum seperti mencuri.

Namun ketika saya membaca dua kisah nyata yang menggetarkan hati berikut ini, saya semakin percaya bahwa idealisme saya beberapa puluh tahun silam ternyata bukan sebuah khayalan yang tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, idealisme tersebut telah menemukan pembuktiannya melalui kisah yang akan saya bagikan pada pembaca sekalian.

Ada dua kisah nyata dan inspiratif yang akan saya bagikan dan yang mungkin sudah pernah ada yang mendengar atau membaca kisah luar biasa ini.

Kisah Pertama

Hiduplah sepasang suami istri miskin yang hidup kolong jembatan di Sao Paulo, Brasil. Namun, hati Maranhao Rejaniel de Jesus Silva Santos (36) dan pasangannya, Sandra Regina Domingues luar biasa kaya.

Pada Minggu 8 Juli 2012, sekitar pukul 03.00 dini hari, mereka yang sedang terlelap di kolong Jembatan Azevedo terbangun saat mendengar raungan alarm memekakan telinga. Penasaran, Santos dan Domingues memutuskan untuk mendekati asal alarm, yang ternyata berasal dari sebuah restoran Jepang yang jadi korban perampokan.

Seperti dimuat laman Folha do Sao Paulo, beberapa waktu kemudian, di tengah jalan, Santos menemukan dua koper berisi uang diletakkan di bawah pohon sebelah halte bus. Satu koper berisi uang kertas, lainnya penuh berisi koin. Di dekatnya tergeletak bon dan bukti transaksi kartu kredit.

Dari bukti transaksi, diketahui bahwa uang tersebut dicuri dari restoran Hokkai Sushi yang baru dirampok. Diduga, uang itu sengaja ditinggal oleh para perampoknya karena banyak petugas yang sedang berjaga, dan akan diambil begitu keadaan sudah aman. Uang yang mereka temukan tak tanggung tanggung. Senilai 20.000 real Brazil atau Rp92 juta.

Namun, alih-alih mengambilnya dan menganggap sebagai "rezeki jatuh dari langit", Santos memutuskan untuk mengembalikannya. "Saya langsung terpikir untuk lapor polisi," kata pria yang sehari-hari mengais rezeki dengan memulung sampah plastik.

Kejujurannya juga memukau polisi yang menerima pengembalian itu. "Saat polisi datang dan menjumpai uang sebanyak itu, mereka nyaris tak percaya aku mengembalikannya."

Salah satu pemilik restoran yang dirampok, Daniel Uemura juga heran bukan kepalang saat mengetahui yang menemukan uang miliknya adalah seorang tunawisma.

"Ini merupakan contoh kejujuran dan kerendahan hati. Kami sangat bersyukur masih ada orang seperti dia," ujar Uemura, ketika datang ke kantor polisi untuk mengambil uangnya.


Sebagai ungkapan terima kasih, para pemilik Hokkai Sushi menawarkan dua opsi hadiah pada Santos dan Domingues. Pertama, kedua tunawisma ini bisa bekerja di distributor ikan atau toko ikan milik mereka. Kedua, tiket kembali ke Maranhao, tempat tinggal keluarga Santos yang sudah tidak ditemuinya selama 16 tahun.
Sejak hidup di jalanan, Santos terpisah selama 16 tahun dari keluarga dan terutama Sang Ibu. Namun ajaran perempuan yang melahirkannya itu tetap terngiang di benaknya: jangan mengambil apapun yang bukan hakmu.

Itu juga menjadi alasan Santos untuk mengembalikan uang yang ia temukan itu. "Ibu mengajari saya untuk tidak mencuri dan segera lapor polisi jika melihat ada yang berbuat ilegal."

Ia berharap, ibunya yang tinggal di Maranhao melihat putranya muncul di televisi, saat diwawancara sebagai orang jujur yang jumlahnya makin sedikit di dunia. "Aku ingin Ibu tahu, putranya masih ingat apa yang pernah ia ajarkan."

Latar belakang Santos sebenarnya bukan tunawisma. Dia sempat bekerja di bidang konstruksi di Sao Paulo, menikah, dan punya seorang anak. Setelah bercerai, dia kehilangan semua harta serta kontak dengan anaknya. Dia pun menggelandang hingga akhirnya bertemu Domingues. Tidak dijelaskan opsi hadiah mana yang akhirnya dipilih Santos dan Domingues, yang baru empat bulan merajut kasih di jalanan.

Kisah Kedua

Sia Ka Tian sangat terkejut saat menemukan kantong hitam berisi uang di kursi belakang taksinya, Senin (19/11/2012), setelah dia mengantar penumpangnya ke sebuah pusat perbelanjaan di Singapura.Kantong tersebut ternyata berisikan uang sebesar 900.000 dolar AS atau setara dengan 8,6 Miliar.

"Saat saya melihat uang itu, saya berpikir, saya akan kena masalah. Saya yakin sedikitnya ada 200.000 dollar AS di dalam kantong itu," kata lelaki yang sudah 31 tahun mengemudikan taksi itu seperti dikutip harian The Straits Times.

Namun, saat dia membawa kantong berisi uang itu ke bagian barang hilang perusahaan taksinya, Comfort DelGro, betapa terkejutnya Tian dan kawannya setelah mengetahui jumlah uang itu.

"Uang itu tidak penting bagi saya. Itu bukan milik saya, jadi bagaimana bisa saya menggunakannya?" ujar Tian.

Pasangan wisatawan asal Thailand kemudian melaporkan kehilangan uang mereka ke perusahaan itu. Tian menunggu mereka saat wisatawan itu datang untuk mengambil uangnya yang sempat hilang itu.

Sebagai tanda terima kasih, Sia Ka Tian menerima sejumlah uang dari kedua turis itu yang tak ingin disebutkan namanya. Perusahaan juga berencana memberi penghargaan untuk Sia Ka Tian atas pelayanannya yang sangat baik itu.

"Menemukan hampir satu juta dollar AS tunai tak mungkin terjadi setiap hari dan kami bertanya-tanya berapa banyak orang yang tergoda untuk memilikinyaKami sangat bangga kepadanya dan senang penumpang kami akhirnya menemukan uang mereka”, kata juru bicara perusahaan taksi Comfort DelGro, Tammy Tan, kepada AFP.

Demikianlah kedua kisah di atas teramat mengejutkan, menggelitik, serta memberikan memberikan inspirasi. Nilai apa yang dapat kita petik dari kedua kisah nyata di atas?

Pertama, kemiskinan dan status ekonomi di bawah rata-rata tidak menjadi pembuktian stereotype dan generalisasi penilaian bahwa mereka akan membenarkan kemiskinan dan tingkat status sosialnya yang rendah untuk mengorbankan nilai dan norma sosial dan agama dengan melakukan tindakan yang akan merusak martabatnya yaitu mencuri atau memanfaatkan sebuah situasi untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Kedua, hidup dengan nilai dan norma sosial dan keagamaan sebagai bentuk ideal – sekalipun kehidupan finansial dan status sosial mereka kurang beruntung atau bahkan miskin – terbukti akan menuntun mereka menjadi seseorang yang dihormati dan bahkan mengubah status kehidupan ekonomi mereka.

Kita akan membahas nilai yang pertama. Banyak orang yang kurang beruntung secara finansial dan memiliki status sosial rendah di masyarakat menyalahkan kondisi tersebut sehingga membenarkan mereka untuk melakukan sebuah tindakan atau pekerjaan yang melanggar hukum al., berjual beli narkoba yang menjanjikan keuntungan besar, melakukan aksi premanisme untuk mendapatkan keuangan dengan lebih mudah, melakukan jual beli manusia (human trafficking), menafkahi keluarga dengan mencuri, merampok, membunuh dan sejumlah tindakan kriminal lainnya.

Tidak heran jika realita di atas kemudian digeneralisir menjadi sebuah adagium bahwa kemiskinan menciptakan kejahatan. Namun tidak selamanya dan tidak sepenuhnya adagium tersebut membuktikan kebenarannya. Dua kisah nyata di atas merobohkan asumsi generalisasi tersebut. Bukan hanya kedua kisah nyata di atas yang merobohkan asumsi generalisasi tersebut namun pada kenyataannya, berbagai tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum justru melibatkan berbagai orang yang terpelajar dan mapan secara ekonomi. Berapa banyak pejabat publik di negeri ini yang terjerat dosa-dosa kolektif seperti korupsi dan suap?

Kriminalitas dan berbagai bentuk kejahatan serta pelanggaran hukum tidak berbanding lurus dengan status sosial seseorang. Kemiskinan tidak selalu menghasilkan kejahatan. Kekayaan tidak selalu menghasilkan orang yang baik.

Lalu apa yang menyebabkan orang miskin dan orang kaya dapat berbuat kejahatan serta berbagai pelanggaran hukum? Saya akan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan Sosiologi dan pendekatan Teologi.

Dari perspektif Sosiologi, saya akan menggunakan teori Emile Durkheim (1858-1917) dalam bukunya The Rules of Sociological Method, saat melakukan analisis sosial mengenai fenomena bunuh diri di beberapa negara maju. Beliau memetakan jenis-jenis tindakan bunuh diri al., Egoistic Suicide, Altruistic Suicide, Anomic Suicide, Fatalistic Suicide. Yang menarik adalah penyebab mengapa seseorang melakukan tindakan bunuh diri yaitu lemahnya ikatan-ikatan sosial (social bonds) seseorang terhadap kelompoknya.

Kekuatan sosial memiliki fungsi ganda yaitu penyatuan (attachment) dan pengaturan (regulasi). Penyatuan berbicara mengenai hubungan individu dengan sesamanya atau keluarganya. Pengaturan berbicara mengenai nilai dan norma baik nilai dan norma agama maupun nilai dan norma sosial. Beliau mengatakan, “if the social bonds are either too weak or too strong, their integrative and regulative functions are rendered ineffective” (apabila ikata-ikatan sosial terlalu lemah atau terlalu kuat, maka fungsi integratif dan regulatif menjadi lemah).

Dengan meminjam analogi teori Durkheim terhadap kasus kejahatan dan pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh orang miskin atau orang kaya dan terpelajar adalah disebabkan ikatan sosial individu atau kelompok orang tersebut. Ketika nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial tidak menjadi pengendali utama kehidupan individu atau kelompok masyarakat, maka mereka tidak punya kepekaan dan rasa takut untuk berbuat kejahatan dan pelanggaran hukum. Ketika komunikasi dan kedekatan dengan keluarga serta sesama menjadi lemah individu atau kelompok masyarakat tidak memiliki beban untuk melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum.

Dari perspektif Teologi dengan merujuk pada Galatia 5:19-21, tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum adalah ekspresi kehidupan daging alias hawa nafsu yang belum tersalibkan sebagaimana dikatakan: “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu -- seperti yang telah kubuat dahulu -- bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Tuhan”. Selama belum ada penyaliban hawa nafsu akan terjadi tindakan-tindakan kejahatan, apapun status sosialnya sebagaimana dikatakan: “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging -- karena keduanya bertentangan -- sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” (Gal 5:16-17).

Terkait dengan penyebab terjadinya kejahatan dan pelanggaran hukum baik oleh orang miskin dan kaya serta terpelajar sebagaimana di ulas di atas (baik dari perspektif Sosiologi maupun perspektif Teologi), maka ditemukan akar persoalannya yang paling mendasar adalah lemahnya prinsip-prinsip nilai dan norma baik nilai dan norma agama maupun nilai dan norma sosial. Ini akan mendorong kita melangkah lebih jauh untuk melihat kandungan nilai mulia dibalik dua kisah di atas yang telah disajikan sebelumnya.

Kedua, hidup dengan nilai dan norma sosial dan keagamaan sebagai bentuk ideal – sekalipun kehidupan finansial dan status sosial mereka kurang beruntung atau bahkan miskin – terbukti akan menuntun mereka menjadi seseorang yang dihormati dan bahkan mengubah status kehidupan ekonomi mereka.

Berikutnya, kita akan membahas nilai yang kedua yaitu hidup dengan nilai dan norma sosial dan keagamaan sebagai bentuk ideal – sekalipun kehidupan finansial dan status sosial mereka kurang beruntung atau bahkan miskin – terbukti akan menuntun mereka menjadi seseorang yang dihormati dan bahkan mengubah status kehidupan ekonomi mereka.

Orang kerap menertawakan sikap hidup seseorang yang  idealis, saleh, jujur serta menjunjung martabat sebagai sikap hidup terbelakang dan berujung pada penderitaan dan kemiskinan karena tidak lihay menyesuaikan diri dengan arus zaman.

Kedua kisah nyata di atas merobohkan ejekan tersebut. Kedua kisah di atas memberikan tamparan bagi mereka yang menihilkan nilai-nilai agama dan moralitas bahwa hidup dengan menegakkan prinsip moralitas dan agama terbukti akan berujung manis. Hidup dengan nilai-nilai kesalehan dan nilai-nilai kejujuran yang bersumber dari agama dan moralitas. Mazmur 18:25 berkata, “Karena itu YHWH (Yahweh) membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan mata-Nya”.

Dengan kutipan kedua kisah nyata di atas dan ulasan terkait di dalamnya, saya bukan hendak berkata, “jadilah miskin agar kita menjadi orang yang bermoral sehingga suatu ketika kita akan menuali hasil kebaikan moralitas kita”.

Saya hanya hendak menyampaikan pesan moral bahwa apapun status sosial seseorang – kaya atau miskin, terpelajar atau tidak terpelajar – namun jika mereka hidup berdasarkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moralitas yang dibangun di dalam keluarga, maka jika mereka menjadi kaya karena kerja keras dan kemurahan Tuhan, maka mereka tidak menjadi orang kaya yang kikir dan koruptif. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan dalam 1 Timotius 6:17-19 sbb: “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Tuhan yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya”. Demikian pula yang memiliki status sosial yang kurang beruntung dan berada dalam kategori miskin secara finansial, masih memiliki sesuatu yang dapat diberikan pada dunia di sekitarnya yaitu kebajikan dan sikap hidup yang jujur, berkepribadian, bekerja keras sebagaimana pengejawantahan prinsip dan nilai-nilai religius. Rasul Paul menuliskan, “sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.” (2 Kor 6:10). Orang miskin masih bisa memperkaya orang lain. Dengan apa? Dengan kejujuran, kebaikan, kesalehan, keikhlasan dll.

Akhir dari semua ini adalah, marilah mereka yang dipercayakan Tuhan kekayaan, janganlah miskin hatimu sehingga engkau dikuasai sifat kikir dan koruptif. Jadilah kaya dalam memberi dalam kebajikan, kebaikan, memberi serta berbagi. Mereka yang diijinkan mengalami kehidupan yang kurang beruntung dan miskin dikarenakan sistem ekonomi yang memiskinkan, janganlah hatimu turut dikuasai kemiskinan, sebaliknya milikilah kekayaan dalam kebajikan dan kebaikan dan perkayalah orang lain dengan kebajikan dan kebaikan. Bukan tidak mungkin, kekayaan finansial menantimu dan akan mengubah hidupmu.

No comments:

Post a Comment