Ketika
kita masih sekolah dahulu, pastilah akan melewati yang disebut ujian tengah
semester dan ujian kenaikkan kelas bukan? Apakah saat kita mengerjakan
soal-soal ujian selalu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik? Tentu
beragam jawabannya. Mulai dari murid terpintar di kelas menjawab bisa menjawab
semuanya meski ada satu atau dua soal yang membuatnya ragu dengan jawaban yang
diberikan sampai yang merasa banyak soal-soal yang tidak bisa dijawab karena
faktor tidak belajar.
Demikian
pula seorang dokter akan menghadapi kasus operasi pasien yang berat sehingga
merasa tidak sanggup melakukannya dan akan merujuk pada dokter lainnya yang
lebih mampu. Kesukaran dan ketidaksanggupan selalu melekati ketidaksempurnaan
kemampuan manusia.
Kita
kerap membuat sejumlah rencana dalam kehidupan kita bukan? Rencana kerja,
rencana pendidikan, rencana pernikahan, rencana liburan, rencana pertemuan,
rencana pembangunan dan banyak rencana lainnya. Namun adakah dari semua yang
kita rencanakan selalu dipastikan berhasil dan tidak meleset dari tujuan semula
yang telah kita tetapkan?
Dalam
banyak kasus kita kerap mengubah dan memperbarui rencana-rencana kita
dikarenakan berbagai faktor baik itu biaya, waktu, kesempatan, sumber daya,
keterbatasan kemampuan dan masih banyak hal lagi yang dapat kita deretkan. Ya,
rencana-rencana yang kita buat bisa gagal bukan hanya dikarenakan faktor-faktor
yang telah disebutkan di atas saja namun karena natur manusia yang tidak
sempurna. Inilah yang membedakan antara Tuhan dan manusia.
Dalam
kehidupan nyata kita kerap berhadapan dengan berbagai teka-teki persoalan yang
harus kita pecahkan dan selesaikan dengan baik. Ada yang mudah kita selesaikan
dan ada yang sulit untuk kita selesaikan. Ada yang ringan dan ada yang berat
untuk kita kerjakan. Inilah realita ketidaksempurnaan manusia. Manusia tidak
serba tahu dan serba mampu.
Di
sinilah batas-batas kemanusiaan diakui. Jika kita telah mengakui bahwa kita
tidak sanggup menyelesaikan sebuah persoalan dan tidak mampu mengatasi semua hal
yang membebani dan menghadang perjalanan hidup kita, maka kita masih memiliki
sebuah pengharapan karena akan ada pribadi yang tidak akan pernah gagal dan
selalu sanggup melakukan semua hal. Bukankah Yesus Sang Mesias telah bersabda, ”Apa
yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Tuhan” (Luk 18:27)
Banyak
contoh berbagai situasi yang sulit dan tidak mungkin bagi manusia telah
diperlihatkan oleh kekuasaan Tuhan bahwa Dia sanggup melakukan-Nya. Masih ingat
Sarai istri Abraham bukan? Saat mengandung Ishak usianya sudah sembilan puluh
tahun dan Abraham berusia seratus tahun namun Tuhan membuktikan janji-Nya
“Maka
mengandunglah Sara, lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham
dalam masa tuanya, pada waktu yang telah ditetapkan, sesuai dengan firman Tuhan
kepadanya” (Kej 21:7)
Kisah
anak janda Sarfat yang dibangkitkan dari kematian (1 Raja-Raja 17:17-22) oleh
kuasa Tuhan melalui nabi Elia, kisah anak perempuan Sunem yang dibangkitkan
dari kematian (2 Raja-Raja 4:18-37) oleh kuasa Tuhan melalui nabi Elisha serta Lazarus
yang dibangkitkan Yesus dari kematiannya (Yohanes 11:1-47) menjadi deretan
bukti bahwa ketidakmungkinan dan kesulitan yang membatasi kemampuan manusia
tidak membatasi kuasa Tuhan karena Dia sanggup melakukan apapun yang Dia
kehendaki.
Itulah
sebabnya Ayub, setelah melewati masa-masa krisis dan kritis yang menyergap
kehidupan ekonomi dan keutuhan rumah tangganya dan melihat karya Tuhan
dinyatakan dalam penderitaan, Ayub berkata dalam Ayub 42:1 ”Aku tahu, bahwa
Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal”.
Kata
Ibrani yada’ti (aku telah mengetahui)
merangkum semua peristiwa luar biasa yang telah dijalani Ayub yaitu penderitaan
yang harus dijalaninya (kehilangan keluarga dan kekayaan serta status sosial).
Kata Ibrani yada’ti adalah kata kerja
perfek (sudah selesai) dari kata yad’a (mengenal dengan intim). Kata yad’a dipergunakan untuk menggambarkan
hubungan seksual antara Adam dan Hawa (Kej 4:1). Itulah sebabnya kata yad’a mengindikasikan sebuah hubungan
yang bersifat intimasi, akrab karena melihat dan merasakan sendiri.
Penderitaan
yang dialami Ayub justru telah membentuk mentalitas dan spiritualitas Ayub
tentang Tuhannya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan berkuasa dan
sanggup melakukan apapun, mengubah nasib orang sekalipun (Yes 45:7). Bukan
hanya sanggup melakukan apapun namun Tuhan berkuasa untuk membuat rencana-Nya
terhadap umat-Nya terlaksana dan tidak mengalami kegagalan. Tuhan Yahweh telah
merancangkan dan merencanakan kebaikan untuk umat-Nya (Yer 29:11).
Teks
Ayub 42:1 memberikan harapan kepada semua orang beriman bahwa saat kita
mengakui ketidaksanggupan kita dalam menanggung beban persoalan dan
ketidakmampuan kita menyelesaikan persoalan pelik dalam hidup serta kegagalan
berbagai rencana yang sudah kita siapkan, masih ada Tuhan YHWH, Sang Bapa Surgawi
di dalam Yesus Sang Putra dan Juruslamat serta Junjungan Yang Ilahi yang akan
mengulurkan tangan-Nya mengubah ketidakmungkinan dan ketidaksanggupan menjadi mungkin.
Tentu
saja ayat ini bukan tongkat sihir yang dapat mengatur Tuhan melakukan kekuasaan
dan kedaulatan-Nya mengubah ketidakmungkinan dan ketidaksanggupan menjadi
kemungkinan dan kesanggupan. Kesanggupan dan kuasa serta kedaulatan Tuhan tentu
harus selaras dengan kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki, jadilah apa yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Jika Dia tidak berkehendak dan memiliki rencana yang
tidak kita pahami maka Dia tidak akan mengubah ketidakmungkinan menjadi
mungkin.
Dalam
hal inilah kita senantiasa diingatkan saat mendaraskan Doa Bapa Kami, “Jadilah
kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat 6:10)
No comments:
Post a Comment