Friday, October 14, 2011

MENYEMBAH TUHAN DALAM ROH DAN KEBENARAN

(Pengkajian Terhadap Yohanes 4:1-54)

DR. Suhento Liauw, rektor Graphe International Theological Seminary menuliskan pernataan sbb: “Orang Kristen harus tahu bahwa kita sekarang sudah berada di Zaman Ibadah Hakekat (ZIH) bukan berada di Zaman Ibadah Simbolik (ZIS) lagi. Bahwa kita berada di zaman menyembah dengan hati, bukan di zaman menyembah dengan tubuh. Bahwa kita sudah berada di dalam zaman beribadah secara rohaniah dan bersifat disimbolkebenaran, bukan beribadah secara ritual” dengan berbagai upacara lahiriah [1]. Benarkah pernyataan di atas? Apakah benar makna ucapan Yesus Sang Mesias bahwa penyembahan dalam roh dan kebenaran telah meniadakan bentuk-bentuk ibadah dalam Perjanjian Lama?

Membenturkan istilah “ibadah simbolik” dan “ibadah hakikat” adalah tidak dapat dibenarkan sama sekali. Karena Yesus Sang Mesias dan para rasul tidak pernah mengajarkan meniadakan pola ibadah sebelumnya. Baik Yesus dan para rasul tetap beribadah dengan pola yang sudah ada sebelumnya.

Ibadah Kristiani pada awalnya berakar pada Yudaisme. Yesus Sang Mesias adalah seorang Yahudi (Ibr 7:14) dan beribadah secara Yahudi. Demikian pula murid-murid Yesus dan para rasulnya meneruskan tata cara ibadah Yudaisme tersebut. Pilar ibadah Kristiani yang berakar pada Yudaisme meliputi sbb:

1.       Ibadah Harian tiga kali sehari (Tefilah Sakharit, Minkhah, Maariv – Kis 3:1; 10:3) 

2.       Ibadah Pekanan (Sabat – Kis 13:14,27,42,44) 

3.       Ibadah Bulanan (Rosh kodesh – Kol 2:16-17) 

4.       Ibadah Tahunan atau Tujuh Hari Raya (Sheva Moedim – Kis 20:16, 1 Kor 16:8[2]).

Ibadah, selalu berkaitan dengan penyembahan. Demikian pula sebaliknya, penyembahan selalu berkaitan dengan ibadah. Tidak ada ibadah tanpa penyembahan dan tidak ada penyembahan tanpa ibadah. Ibadah yang benar dan berkenan menurut kehendak-Nya, bukan terletak pada kerumitan, keindahan maupun pranatan fisik semata, seperti, sujud, menadahkan tangan ke langit, berlutut dan perilaku sejenisnya, meskipun pola demikian tidak di persalahkan. Inti ibadah ada dalam penyembahan. Saat seseorang menyembah, dia terhubung dengan pribadi Absolut yang mengatasi keterbatasannya. Ada hubungan antara Tuhan dan ciptaan Tuhan. Penyembahan yang benar, merupakan ibadah yang benar. Penyembahan yang keliru merupakan ibadah yang sia-sia.

Makna Penyembahan

Penyembahan, dalam teks bahasa Ibrani, “Tistakhawe”, sedangkan dalam bahasa Yunani, “Proskuneo”. Dalam bahasa Ingris di sebut “Worship”. Keseluruhan istilah tersebut mengandung makna, baik secara simbolik maupun lahiriah. Secara simbolik, penyembahan adalah refleksi ketaatan, ketundukan pada otoritas yang lebih tinggi (Hak 6:10, Mzm 8:10, Why 14:7). Secara lahiriah, penyembahan bermakna tindakan untuk berlutut dengan sikap merendahkan wajah dan badan (Kel 34:8, Yes 36:7, Yoh 9:38).

Bentuk dan Fase Penyembahan

Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim]), memberikan kesaksian historis fase-fase penyembahan, sbb :


Pra Bait Suci di Yerusalem. Di tandai dengan ungkapan fisik seperti berlutut, bersujud, menadahkan tangan dan di sertai korban hewan (Kej 8:20, Kel 18:12, Im 6:9, Bil 28:3, 1 Raj 18:28).

Berdirinya Bait Suci di Yerusalem. Ada waktu-waktu tertentu dalam ibadah. Daud, tujuh kali sehari memuji Tuhannya (Mzm 119:64), terkadang tiga kali sehari (Mzm 55:17). Bahkan di malam hari, Daud memiliki waktu untuk ibadah (Mzm 119:62). Demikian pula Daniel melakukan ibadah tiga kali sehari (Dan 2:19, 6:10). Begitu pula Ezra saat membangun puing-puing Yerusalem yang runtuh, berdoa dalam waktu-waktu tertentu (Ezra 9:5).

Masa karya Mesias dan para Rasul. Yesus beribadah di Sinagog dalam waktu-waktu tertentu (Luk 4:11). Rasul-rasul mengikuti pola ibadah tiga kali sehari pada jam-jam tertentu (Kis 2:24, Kis 3:1, Kis 4:42, Kis 10:9,30, Kis 16:25).

Fokus Penyembahan

Frasa, “Tuhan itu Roh”, menunjuk pada pemahaman bahwa orang beriman memiliki fokus penyembahan, yaitu Tuhan yang keberadaan-Nya Roh. Ada banyk elohim di dunia ini. Siapakah Tuhan yang sejati ?, Yahweh Dialah Tuhan yang benar (Ul 10:17, Yer 10:10, 1 Taw 16:26, 1 Kor 8:5-6, Yoh 17:3). Tuhan yang benar itu telah menyatakan Firman-Nya dalam rupa manusia (1 Tim 3:16, Ibr 11:1, Yoh 1:14).

Tuhan bukanlah mahluk ciptaan ketakutan manusia terhadap gejala alam yang di manifestasikan dengan gambar-gambar tertentu, patung-patung pahatan tertentu (dewa api, dewa angin, dewa halilintar, dewa hujan, dll). Tuhan itu Roh. Wujud keberadaan yang non material namun spiritual.


Penyembah yang benar dan Penyembahan yang benar

Penyembah benar akan menyembah dengan benar (Yoh 4:23) Menyembah dengan cara yang tidak benar, menunjukkan bahwa seseorang belum mengenal siapa yang di sembah (Yoh 4:22). Menyembah yang benar adalah dengan Roh dan Kebenaran, karena Tuhan Roh adanya. Apa artinya ? Dalam percakapan singkat antara Yahshua dan perempuan Samaria, terlihat konsep umum yang berkembang pada waktu itu, bahwa seolah-olah Tuhan berada dan berdiam di wilayah tertentu saja. Bagi orang samaria, Dia ada di gunung Gerizim. Bagi orang Yahudi, Dia ada di Yerusalem. Yesus menyalahkan semua angapan tersebut.

Yesus, bukan mengkritik bentuk dan cara penyembahan (sujud, berlutut, menadahkan tangan, berdiri, dll) bukan pula menyalahkan aturan ibadah (liturgi, doa harian, hafalan doa, dl). Yesus hanya menyalahkan KONSEP wanita Samaria yang keliru. Wanita Samaria ini keliru memahami wujud  dan tempat Tuhan berada. Konsep yang keliru ini mengakibatkan penyembahan yang keliru.

Menyembah dalam Roh dan Kebenaran, bermakna menyembah dengan kemurnian hati yang keluar dari kesadaran diri manusia. Dengan kata lain, penyembahan dengan ekspresi hati yang tidak dapat di batasi oleh bentuk-bentuk yang temporal, Dalam diri manusia ada “roh”. Ini adalah pusat kesadaran manusia akan Tuhan (Ams 20:27). 

Kata  “roh”  terkadang di hubungkan dengan hati nurani manusia (Mzm 51:12, Yoh 36:26, Mzm 16:7). Menyembah dalam Roh dan Kebenaran, tidak meniadakan, menghapuskan, menghilangkan bahkan mentabukan ungkapan atau ekspresi fisik dalam penyembahan. Jika ini di berlakukan, tentu para rasul tidak akan melakukan pola sembahyang harian tiga kali sehari (Kis 2:24, Kis 3:1, Kis 4:42, Kis 10:9,30).

Kitab Didake menjadi bukti rekam jejak berbagai syariat Kristen awal yang masih dilakukan oleh jemaat awal dan tetap meneruskan pola ibadah Yudaisme khususnya doa harian tiga kali sehari (tefilah sakharit, minkah, maariv).

Kitab Didake diperkirakan ditulis sekitar tahun 120-150 Ms namun ada yang mengatakan pada tahun 60-70 Ms[3] dan ditulis di Syria atau Mesir yang berisikan berbagai petunjuk kehidupan jemaat perdana dalam menghayati sabda Yesus. Para “Bapa Gereja” tidak sepakat memasukkan kitab ini ke dalam daftar kanon atau non kanon. Gereja Orthodox Etiopia yang memiliki 81 kitab kanonik, memasukkan Kitab Didake sebagai bagian dari kanon[4].

Tidak ada kesepakatan diantara para Bapa Gereja (Church Fathers) apakah Kitab Didake selayaknya masuk dalam kanon Kitab Suci atau tidak. Clement dan Origenes memasukannya dalam daftar Kitab Suci. Sementara Eusebeius dan Metodius menolaknya. Athanasius membuat tiga kategori sbb: Pertama, kitab kanonik yaitu yang diakui sah oleh gereja. Kedua, kitab non kanonik yaitu kitab yang ditolak oleh gereja. Ketiga, kitab yang dikategorikan sebagai kelengkapan pembaptisan. Kitab Didake masuk kategori ketiga [5]

Kitab dengan dengan 16 pasal ini memiliki struktur sbb:

  1. Pasal 1-6: perilaku orang Kristen (dua jalan).
  2. Pasal 7-10: bagian liturgi, atau ritual, berisi ajaran tentang pembaptisan (pasal 7), puasa dan doa harian (pasal 8), perjamuan Ekaristi dan memotong-­motong roti (pasal9 dan 10).
  3. Pasal 10 dan 11: hirarki gereja.
  4. Pasal 16: menunggu kedatangan Tuhan[6].
Mengenai penggunaan Doa Bapa Kami dalam doa harian dikatakan dalam Pasal 8 sbb: “Janganlah berdoa seperti orang-orang munafik namun sebagaimana diperintahkan Sang Junjungan Agung Yesus dalam Injilnya, yaitu:Berdoalah setiap tiga kali sehari.

Demikianlah Kitab Didake meneguhkan pola ibadah Gereja dan Kekristenan awal yang tidak pernah memilah dan mengonfrontasikan antara ibadah simbolik dan ibadah hakikat. Kalau toch kita hendak menggunakan istilah “ibadah simbolik” dan “ibadah hakikat”, maka keduanya berjalan sinergis. Ibadah simbolik mencerminkan hakikat yang terkandung di dalamnya yaitu keintiman dan ketundukan umat pada Tuhan. Sujud, rukuk dan menyembah jika hendak diistilahkan dengan ibadah simbolik justru mengungkapkan hakikat ketundukkkan dan kesetiaan manusia pada Tuhannya.

Saya pernah di tanya oleh seorang teman di Yogyakarta, “menurut Bapak, apakah orang GKJ, GKI, Advent, Katholik, itu sudah melakukan penyembahan dalam Roh dan Kebenaran ?”. Lalu saya menjawab, “Asalkan dia tahu HAKIKAT menyembah dalam Roh dan kebenaran, apapun bentuk ibadahnya, sesungguhnya Dia telah mengalami apa yang di sebut menyembah dalam roh dan kebenaran. Sayang,nya banyak gereja-gereja yang tidak memahami hakikat penyembahan dalam roh dan kebenar dan terikat secara kaku terhadap liturgi yang di susun, sehingga membatasi karya Roh Kudus dalam penyembahan”.

Apapun ekspresi penyembahan kita, asalkan penyembahan itu di lakukan oleh roh kita yang terdalam, berarti kita tidak akan membatasi ekspresi roh atau hati kita, dengan kalimat atau rumusan tertentu yang mengikat dan membelenggu ekspresi dan komunikasi roh kita dengan roh Yahweh. Samiton Pangellah menegaskan,  Sebenarnya semua sikap tubuh dan ekpresi adalah dekorasi dari penyembahan, bukan hakikat dari penyembahan itu sendiri. Dalam penyembahan kita pada Tuhan, kita mewarnainya dan mengisinya dengan ungkapan cinta yang tidak terbatas…Tuhan mencari sikap hati dan bukan sikap tubuh[7]

Saat menyembah dan saat mengalami penyembahan dan kehadiran Tuhan, tidak ada kalimat yang merumuskan semua pengalaman spiritual tersebut secara sempurna. Hati kitalah yang merasakannya. Bob Sorge menegaskan: Saya pernah mendengar ayah saya, Morris Smith berkata; Penyembahan yang sejati menyimpang dari definisi. Ia hanya dapat dialami. Betapa benarnya hal ini, karena penyembahan tidak di maksudkan Tuhan menjadi diskusi buku-buku teks, melainkan sebagai sarana persatuan dengan Tuhan untuk dialami oleh orang-orang yang dikasihi-Nya[8]




[1] DR. Suhento Liauw, Kristen Tidak Perlu IMB Tempat Ibadah, Jurnal Pedang Roh No 69, Oktober-November-Desember 2011, hal 03

[2] Pilar Ibadah Kristiani, http://bet-midrash.blogspot.com/2011/10/pilar-ibadah-kristiani.html

[5] Op.Cit., The Didache: Its Origin And Significance,

[7] Prophetic Priestly Worship, Metanoia 1999, hal 10

[8] Mengungkap Segi-segi Pujian dan Penyembahan, ANDI Offset 1991, hal 52


No comments:

Post a Comment