Sunday, April 13, 2014

PEMBASUHAN KAKI MENJELANG PASKAH SEBAGAI TELADAN MORAL DAN PEREKAT SOSIAL




Tindakan membasuh kaki seseorang atau menyentuh kaki merupakan bagian ritual universal dalam sistem kebudayaan manusia. Dalam masyarakat Jawa saat prosesi pernikahan adat ada prosesi pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria[1]. Dalam tradisi Bali saat ini dihidupkan kembali tindakan membasuh kaki orang tua yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit[2].

Dalam budaya Timur Tengah kuno khususnya Israel kuno, dapat dilacak tindakan pembasuhan kaki menjadi bagian dari tradisi sosial dan bagian dari ritual keagamaan. Kita akan mengutip beberapa kasus sbb:

“Kemudian YHWH menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah, serta berkata: "Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu (rakhatsu ragleyhem) dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini” (Kej 18:1-4)

“Berfirmanlah YHWH kepada Musa: "Haruslah engkau membuat bejana dan juga alasnya dari tembaga, untuk pembasuhan, dan kautempatkanlah itu antara Kemah Pertemuan dan mezbah, dan kautaruhlah air ke dalamnya. Maka Harun dan anak-anaknya haruslah membasuh tangan dan kaki mereka dengan air (rakhatsu et yadeyhem we et ragleyhem) dari dalamnya. Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan, haruslah mereka membasuh tangan dan kaki dengan air, supaya mereka jangan mati. Demikian juga apabila mereka datang ke mezbah itu untuk menyelenggarakan kebaktian dan untuk membakar korban api-apian bagi YHWH, haruslah mereka membasuh tangan dan kaki mereka, supaya mereka jangan mati. Itulah yang harus menjadi ketetapan bagi mereka untuk selama-lamanya, bagi dia dan bagi keturunannya turun-temurun” (Kel 30:17-21)

Dalam literatur Rabinik yaitu Talmud menghubungkan pembasuhan kaki sebagai bentuk ketaatan seorang istri pada suaminya (Ketuvot 61 a)[3], pembasuhan kaki sebagai prasyarat bagi seorang imam sebelum melakukan tugas keimamaman (Zevakhot 17b-18a, 19b)[4].

Dalam lingkungan sosial kebudayaan Yerusalem di zaman Yesus, pembasuhan kaki merupakan tindakan penghormatan dari mereka yang memiliki kedudukan sosial yang rendah kepada seseorang yang dhormati.

“Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itu mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu” (Luk 7:36-38)

“Enam hari sebelum Paskah Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia dan Marta melayani, sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu” (Yoh 12:1-3)

Namun ada peristiwa tidak biasa di malam menjelang Paskah. Yohanes mencatat tindakan tidak biasa tersebut sbb:

“Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya…Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yoh 13:1,4-5).

Bagaimana mungkin seorang Guru (Rabi) yang memiliki sosial sosial yang cukup tinggi melakukan tindakan yang hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki status sosial yang lebih rendah? Di zaman itu, seorang Yahudi yang kedatangan tamu jauh akan mempersilahkan tamunya masuk dan tugas membasuh kaki hanya dilakukan oleh seorang budak non Yahudi. Bahkan budak dari kalangan Yahudi pun tidak akan diperkenankan melakukan pembasuhan kaki sang tamu?[5] Mengapa Yesus melakukan tindakan yang diluar kebiasaan tersebut? Tidaklah heran jika Petrus bertanya pada Sang Rabi, “Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya: "Tuan (Kurios, Adon), Engkau hendak membasuh kakiku?" (Yoh 13:6)

Usai melakukan pembasuhan kaki para muridnya, Yesus tidak menjelaskan apa maksud tindakannya selain memerintahkan para murid-muridnya untuk meneladani tindakannya sebagaimana beliau sabdakan,

“Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuan[6], dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:12-15)

Dalam perkembangannya, ritual pembasuhan kaki, kemudian menjadi bagian dari kesalehan jemaat Kristiani sebagaimana dikatakan,

“Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan -- pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik” (1 Timotius 5:9-10)

Para Bapa Gereja dalam berbagai tulisannnya menjadikan ritual pembasuhan kaki sebagai bagian peribadatan. Tertullian (145-220) menyebutkan praktek tersebut dalam bukunya De Corona, tetapi tidak memberikan rincian siapa berlatih atau bagaimana hal itu dipraktekkan. Irenaeus, (180 Ms) menuliskan, "Bagi dia yang membasuh kaki para murid, telah menyucikan seluruh tubuh, dan menjadikan itu bersih”. Klement dari Alexandria (195 Ms) menuliskan, “Dia yang membasuh kaki orang kudus, maka dia dengan tanpa rasa malu telah melakukan pelayanan terendah bagi orang-orang kudus”

Tradisi tersebut masih dipertahankan dengan baik di lingkungan gereja Ortodox dan Katolik[7] dan beberapa lingkungan gereja non Katolik dan Ortodox sampai hari ini.

Berkaca dari peristiwa dan tindakan Yesus menjelang Paskah, selayaknya kita melakukan apa yang telah diperintahkan dan diteladankan Yesus menjelang pelaksanaan peringatan kewafatan Yesus yang pelihara dengan melakukan jamuan Pesakh (Seder Pesakh)[8]. Dengan kita memelihara dan melakukan pembasuhan kaki diantara sesama warga jemaat atau antar keluarga menjelang Paskah (terlepas ada perbedaan tradisi disekitar kapan dan bagaimana perayaan Paskah dilaksanakan diantara denominasi Kristen), maka kita bukan hanya meneruskan teladan moralitas yang ditinggalkan Yesus Juruslamat dan Junjungan Agung kita yaitu mengenai kerendahan hati (ha gashah), melainkan juga menjadi kekuatan perekat sosial diantara sesama manusia.

Sosiolog Emile Durkheim menggagas istilah “perekat sosial” (social glue) yang bersumber dari nilai-nilai agama dan tradisi masyarakat[9]. Dalam masyarakat modern dan perkotaan yang telah mengembangkan solidaritas organik (ikatan solidaritas yang didasarkan pembagian tugas dan pekerjaan) tinimbang solidaritas mekanik (ikatan solidaritas yang didasarkan nilai-nilai tradisi, agama), berbagai kemajuan teknologi yang merambat dalam segala bidang telah mengubah interaksi dan relasi sesama manusia menjadi lebih individualistik dan materialistik. Masyarakat yang individualistik dan materialistik menjadi manusia yang teralienasi (terasing) satu sama lain. Karena mereka teralienasi, maka ikatan sosial antara satu individu dengan individu lainnya menjadi renggang.

Nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai upacara keagamaan – dalam hal ini ritual pembasuhan kaki – akan mengikis proses individualisasi akibat modernisasi. Ketika seseorang terlibat dalam ritual pembasuhan kaki, maka seseorang menjadikan dirinya pelayan bagi yang lain demikian sebaliknya. Ketika seseorang terlibat dalam ritual pembasuhan kaki, maka seseorang berinteraksi dengan individu lainnya dalam kolektifitas (kebersamaan). Bukankah modernisasi dalam bebrerapa hal telah menggeser nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang salah satunya kerendahan hati dan kebersamaan menjadi iklim kompetisi dan individualistik? Ritual pembasuhan kaki bukan hanya memiliki nilai religius yaitu keteladan Yesus mengenai kerendahan hati namun memiliki nilai sosial yaitu menjadi perekat sosial yang mengikis individualisasi dan alienasi.

Marilah kita saling membasuh kaki saudara seiman dan meneladani tindakan Guru (Raban) dan Tuan (Maran) kita Yesus Sang Mesias agar hati kita dibebaskan dari peninggian diri dan semakin menghargai kemanusiaan dan perbedaan dala interaksi kemanusiaan.

END NOTES


[1] Adat Istiadat Suku Jawa: Kehamilan Hingga Kematian
http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm

[2] Hidupkan Tradisi Majapahit, Sang Putra Membasuh Cokor Ratu Aji
http://vedakarna.net/hidupkan-tradisi-majapahit-sang-putra-membasuh-cokor-ratu-aji/

[3] Babilonian Talmud: Tractat Kethuboth 61 a
http://www.come-and-hear.com/kethuboth/kethuboth_61.html

[4] Ritual Washing of Hands and Feet - Kiddush Yadayim veRaglayim
http://www.webshas.org/taharah/kiddush.htm

[5] Understanding the Washing of the Feet
http://www.patheos.com/blogs/godandthemachine/2012/04/washing-of-the-feet/

[6] Mengenai sebutan “Tuan” (Kurios, Adon) bagi Yesus, silahkan membaca tulisan saya sbb: 
Teguh Hindarto, “Haruskah Gelar Kurios (Adon) Bagi Yesus diterjemahkan Tuhan?”
http://teguhhindarto.blogspot.com/2014/04/haruskah-gelar-kurios-adon-bagi-yesus.html

[8] Teguh Hindarto, Perjamuan Malam Terakhir dan Seder Pesakh Ibrani
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/03/perjamuan-malam-terakhir-dan-seder.html

[9] Seta Basri, Proses Pembentukan Masyakarat dan Perubahan Masyarakat Menurut Lenski, Max Weber, dan Durkheim
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/proses-pembentukan-masyarakat-dan.html

1 comment: