Saturday, April 9, 2016

KEDUANYA MENJADI SATU DAGING





Kotbah Pernikahan: Kejadian 2:21-25 (Nats ay 24)

Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 8 April 2016


Pernikahan, dalam perspektif iman Kristiani bukan sekedar penetapan secara legitimatif hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengakhiri masa lajangnya melalui sebuah prosesi dan ritual suci secara gerejawi. Pernikahan bukan sekedar peristiwa penetapan secara legitimatif oleh negara dimana seorang laki-laki dan seorang perempuan diikat oleh kewajiban-kewajiban satu sama lain. Lebih dari itu, pernikahan adalah hubungan yang dikuduskan dan diberkati agar laki-laki dan perempuan saling melekatkan dan menyatukan diri satu sama lain sebagaimana dikatakan, על־כן יעזב־אישׁ את־אביו ואת־אמו ודבק באשׁתו והיו לבשׂר אחד “al ken ya’azav ish et aviw we et immo wedavaq beishto wehayu lebashar ekhad - Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24).

Ada tiga kata kunci penting dalam ayat ini yaitu, “meninggalkan” (azav), “melekat” (davaq), “menjadi satu daging” (bashar ekhad). Ketika seseorang memutuskan untuk hidup berumah tangga, maka mereka harus menyadari seutuhnya bahwa mereka akan membangun sebuah kehidupan yang baru dimana mereka berdualah yang mengelola kehidupan yang baru tersebut. Kehidupan yang baru tersebut harus diawali dengan “meninggalkan ayah dan ibunya”. Dengan meninggalkan kedua orang tuanya, kedua pasangan telah mengikrarkan kemandirian dan kesiapan dirinya memasuki bahtera rumah tangga. Ketika kehidupan yang baru diikrarkan dalam upacara pernikahan, maka sepasang laki-laki dan perempuan telah mengikatkan dirinya untuk melekat satu sama lain dan menjadi satu daging. Kata Ibrani ekhad mengindikasikan sebuah kesatuan atau unitas. Sepasang laki-laki dan perempuan yang telah menikah adalah pribadi yang saling menyatukan pikirannya, kehendaknya, kekuatannya, tekadnya untuk membangun tujuan yang sama yaitu masa depan yang bahagia. 


Dalam tradisi Jawa yang sarat simbol, khususnya dalam prosesi Panggih ada beberapa urutan penting yaitu: liron kembar mayang, gantal, ngidhak endhog, membasuh kaki, minum air degan, dikepyok bunga warna-warni, sindhur dll. Liron kembar mayang yaitu saling tukar kembar mayang sebagai pembuka dalam prosesi panggih menyiratkan sebuah makna simbolik bahwa mempelai saling menyatukan cipta, rasa, karsa untuk bersama-sama mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan. Tanpa kesatuan pikiran, kehendak, kekuatan, tekad dan tujuan, maka bahtera rumah tangga tidak akan sampai pada tujuannya . Masih dalam tradisi jawa, istilah garwo kerap dimaknai sigaraning nyowo alias belahan jiwa. Jika sudah melekat dan menyatu menjadi sepasang suami dan istri, kehidupan dan nyawa kita menjadi satu kesatuan. Tidak mengherankan jika salah satu dari pasangan kita, entah suami atau istri tidak sedang berada di rumah, mau makan rasanya tidak lengkap jika tidak ada pasangan di samping kita, sekalipun mungkin lauk pauk yang dimakan itu sangat lezat. Mungkin pasangan suami istri itu kerap terlibat percekcokkan tapi kalau kawan cekcoknya tidak ada salah satu ya rasanya komplang dan ampang…makan pun kurang berselera. Nah, jika perasaan itu ada, maka nyatalah bahwa memang kita telah menjadi satu daging yang saling memerlukan satu sama lain.

Apakah penyatuan pikiran, kehendak, kekuatan, tekad dan tujuan lantas meniadakan individualitas dan karateristik masing-masing pasangan? Mustahil. Yang terjadi bukanlah peniadaan individualitas dan karakteristik masing-masing melainkan penyesuaian diri satu sama lain demi tercapainya tujuan bersama. Sastrawan dan penyair terkemuka Kahlil Gibran, seorang Kristen Moronit dari Lebanon yang buku-bukunya bertebaran dalam berbagai bahasa dan dijual di gerai-gerai toko buku, menuliskan syairnya yang dituangkan dalam judul buku The Prophet (Sang Nabi) menggambarkan dengan indah bagaimana penyatuan suami dan istri tanpa meniadakan karakteristik masing-masing sbb: “Saling mencintailah, namun jangan membuat belenggu cinta: Lebih baik biarkan cinta menjadi sebentang laut yang bergerak diantara pantai-pantai jiwamu…Bernyanyi dan menarilah bersama-sama dan bergembiralah, tapi biarlah masing-masing engkau menghayati kesendiriannya, sebagaimana dawai-dawai kecapi tetap sendiri walau mereka bergetar dengan musik yang sama”.

Yang tidak kurang pentingnya untuk direnungkan saat seseorang memasuki bahtera rumah tangga adalah bukan hanya bagaimana pernikahan itu dimulai, namun bagaimana cinta dan pernikahan itu dirawat dan dipelihara hingga akhirnya. Jika kita mengawali dengan cinta dan membukannya lewat pintu pernikahan maka selayaknya kita mengakhirinya dengan cinta dan menutupnya dengan pintu kematian. Ada sebuah kalimat bijaksana, “Falling in love is easy but staying in love is very special” (jatuh cinta itu mudah tapi bertahan dalam cinta itu sesuatu yang istimewa). Waktu pacaran atau baru menikah, kita begitu memperlihatkan nada kasih ketika salah satu pasangan kita kesandung atau menyandung sesuatu hingga menimbulkan suara berisik atau pecahnya suatu barang dengan berkata, “Aduh..tidak apa-apa thoh dik? Tapi setelah lama berumah tangga, barang jatuh tersenggol, bukan nada kasih lagi yang keluar tapi nada kasar dengan berkata, “matamu di taruh di mana?”. Waktu pasangan kita masih muda, tampan dan cantik, kita masih terpukau dan memuja ketampanan dan kecantikannya. Namun saat keriput mulai menggerogoti kulit wajah dan mengubah kontur wajah tampan dan cantik kita, mulailah kita merasa bosan dan mencari yang lebih berkulit kencang. Kondisi-kondisi inilah yang menuntut kita menguji komitmen dan kesetiaan kita dalam memupuk dan memelihara cinta kasih dalam keluarga. Jatuh cinta, hanya satu hal namun hal lainnya adalah memelihara dan mempertahankan cinta kasih dalam rumah tangga.

Prosesi pemberkatan nikah hanya berjalan kurang lebih beberapa jam. Bulan madu hanya berjalan beberapa minggu. Namun realitas kehidupan akan sepanjang hari kita temui dan hadapi. Realitas kehidupan tidak selalu berjalan sebagaimana kita inginkan, - mengutip perkataan Jaya yang diperankan Tio Pakusadewo dalam film Surat dari Praha. Usai pernikahan dan bulan madu kita akan dihadapkan pada banyak kehidupan dengan banyak persoalan, baik persoalan ekonomi, persoalan hubungan sosial, persoalan pekerjaan dll. Masih mampukah kita mempertahankan cinta yang kita rayakan saat pernikahan? Masih mampukah kita mempertahankan cinta saat suami sedang mengalami krisis ekonomi? Masih mampukah kita mempertahankan cinta saat salah satu pasangan kita mengalami sakit? Masih mampukah kita mempertahankan cinta saat kesibukkan kerja terus menerus mengejar dan menekan waktu-waktu kita untuk keluarga dst…dst..

Ilustrasi di bawah ini dapat memberikan gambaran dimana bagaimana cinta bukan hanya harus menjadi dasar dan pintu awal pernikahan melainkan menjadi air yang menyegarkan dan pelumas yang memperlancar roda kehidupan rumah tangga. Ada seorang pria, tidak lolos ujian masuk universitas, orang tuanya pun menikahkan ia dengan seorang wanita. Setelah menikah, ia mengajar di sekolah dasar. Karena tidak punya pengalaman, maka belum satu minggu mengajar sudah dikeluarkan. Setelah pulang ke rumah, sang istri menghapuskan air mata nya, menghiburnya dengan berkata: "Banyak ilmu di dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada orang yang tidak bisa menuangkannya. Tidak perlu bersedih karena hal ini. mungkin ada pekerjaan yang lebih cocok untukmu sedang menantimu". Kemudian, ia pergi bekerja keluar, juga dipecat oleh bosnya, karena gerakannya yang lambat. Saat itu sang istri berkata padanya, kegesitan tangan-kaki setiap orang berbeda, orang lain sudah bekerja beberapa tahun lamanya, dan kamu hanya belajar di sekolah, bagaimana bisa cepat? Kemudian ia bekerja lagi di banyak pekerjaan lain, namun tidak ada satu pun, semuanya gagal di tengah jalan. Namun, setiap kali ia pulang dengan patah semangat, sang istri selalu menghiburnya, tidak pernah mengeluh. Ketika sudah berumur 30 tahun-an, ia mulai dapat berkat sedikit melalui bakat berbahasanya, menjadi pembimbing di sekolah luar biasa tuna rungu dan wicara. Kemudian, ia membuka sekolah siswa difabel, dan akhirnya ia bisa membuka banyak cabang toko yang menjual alat-alat bantu orang berkebutuhan khusus di berbagai kota. Ia sudah menjadi direktur yang memiliki harta kekayaan berlimpah. Suatu hari, ia yang sekarang sudah sukses besar, bertanya kepada sang istri, bahwa ketika dirinya sendiri saja sudah merasakan masa depan yang suram, mengapa engkau tetap begitu percaya kepada ku? Ternyata jawaban sang istri sangat polos dan sederhana. Sang istri menjawab: “Sebidang tanah, tidak cocok untuk menanam gandum, bisa dicoba menanam kacang, jika kacang pun tidak bisa tumbuh dengan baik, bisa ditanam buah-buahan; jika buah-buahan pun tidak bisa tumbuh, semaikan bibit gandum hitam pasti bisa berbunga. karena sebidang tanah, pasti ada bibit yang cocok untuknya, dan pasti bisa menghasilkan panen darinya”.

Marilah kita semua baik yang akan memulai bahtera rumah tangga maupun yang sudah berkeluarga dan membina rumah tangga lebih lama, kiranya kotbah dan nasihat ini menyegarkan ingatan dan komitmen kita terhadap pasangan masing-masing. Marilah kita menyatukan pikiran, kehendak, kekuatan, tekad untuk mencapai tujuan di masa depan. Marilah kita bukan hanya mengawali dengan jatuh cinta dan membukanya dengan pintu pernikahan namun bertahan dan merawat serta memelihara cinta untuk menghidupi dan menyegarkan serta memberi warna bagi rumah tangga kita.

Kavod Leka YHWH Eloheinu we Avinu. Kavod Leka Yahshua Adonenu we Moshienu (Segala kemuliaan bagi Yahweh Tuhan kita dan Bapa kita. Segala kemuliaan bagi Yahshua Junjungan Agung kita dan Mesias kita).

No comments:

Post a Comment