Kotbah Pernikahan:
Kejadian 2:21-25 (Nats ay 24)
Auditorium
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 8 April 2016
Pernikahan, dalam perspektif iman
Kristiani bukan sekedar penetapan secara legitimatif hubungan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang telah mengakhiri masa lajangnya melalui sebuah
prosesi dan ritual suci secara gerejawi. Pernikahan bukan sekedar peristiwa
penetapan secara legitimatif oleh negara dimana seorang laki-laki dan seorang
perempuan diikat oleh kewajiban-kewajiban satu sama lain. Lebih dari itu,
pernikahan adalah hubungan yang dikuduskan dan diberkati agar laki-laki dan
perempuan saling melekatkan dan menyatukan diri satu sama lain sebagaimana
dikatakan, על־כן יעזב־אישׁ את־אביו ואת־אמו ודבק באשׁתו והיו לבשׂר אחד “al ken ya’azav ish et aviw we et
immo wedavaq beishto wehayu lebashar ekhad - Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging”
(Kej 2:24).
Ada tiga kata kunci penting dalam
ayat ini yaitu, “meninggalkan” (azav),
“melekat” (davaq), “menjadi satu
daging” (bashar ekhad). Ketika
seseorang memutuskan untuk hidup berumah tangga, maka mereka harus menyadari
seutuhnya bahwa mereka akan membangun sebuah kehidupan yang baru dimana mereka
berdualah yang mengelola kehidupan yang baru tersebut. Kehidupan yang baru
tersebut harus diawali dengan “meninggalkan ayah dan ibunya”. Dengan
meninggalkan kedua orang tuanya, kedua pasangan telah mengikrarkan kemandirian
dan kesiapan dirinya memasuki bahtera rumah tangga. Ketika kehidupan yang baru
diikrarkan dalam upacara pernikahan, maka sepasang laki-laki dan perempuan
telah mengikatkan dirinya untuk melekat satu sama lain dan menjadi satu daging.
Kata Ibrani ekhad mengindikasikan
sebuah kesatuan atau unitas. Sepasang
laki-laki dan perempuan yang telah menikah adalah pribadi yang saling
menyatukan pikirannya, kehendaknya, kekuatannya, tekadnya untuk membangun
tujuan yang sama yaitu masa depan yang bahagia.
Dalam tradisi Jawa yang sarat
simbol, khususnya dalam prosesi Panggih ada beberapa urutan penting yaitu: liron kembar mayang, gantal, ngidhak endhog,
membasuh kaki, minum air degan, dikepyok bunga warna-warni, sindhur dll.
Liron kembar mayang yaitu saling tukar kembar mayang sebagai pembuka dalam
prosesi panggih menyiratkan sebuah makna simbolik bahwa mempelai saling
menyatukan cipta, rasa, karsa untuk bersama-sama mewujudkan kebahagiaan dan
keselamatan. Tanpa kesatuan pikiran, kehendak, kekuatan, tekad dan tujuan, maka
bahtera rumah tangga tidak akan sampai pada tujuannya . Masih dalam tradisi
jawa, istilah garwo kerap dimaknai sigaraning nyowo alias belahan jiwa.
Jika sudah melekat dan menyatu menjadi sepasang suami dan istri, kehidupan dan
nyawa kita menjadi satu kesatuan. Tidak mengherankan jika salah satu dari pasangan
kita, entah suami atau istri tidak sedang berada di rumah, mau makan rasanya tidak
lengkap jika tidak ada pasangan di samping kita, sekalipun mungkin lauk pauk yang
dimakan itu sangat lezat. Mungkin pasangan suami istri itu kerap terlibat percekcokkan
tapi kalau kawan cekcoknya tidak ada salah satu ya rasanya komplang dan ampang…makan
pun kurang berselera. Nah, jika perasaan itu ada, maka nyatalah bahwa memang kita
telah menjadi satu daging yang saling memerlukan satu sama lain.
Apakah penyatuan pikiran,
kehendak, kekuatan, tekad dan tujuan lantas meniadakan individualitas dan
karateristik masing-masing pasangan? Mustahil. Yang terjadi bukanlah peniadaan
individualitas dan karakteristik masing-masing melainkan penyesuaian diri satu
sama lain demi tercapainya tujuan bersama. Sastrawan dan penyair terkemuka
Kahlil Gibran, seorang Kristen Moronit dari Lebanon yang buku-bukunya
bertebaran dalam berbagai bahasa dan dijual di gerai-gerai toko buku,
menuliskan syairnya yang dituangkan dalam judul buku The Prophet (Sang Nabi) menggambarkan dengan indah bagaimana
penyatuan suami dan istri tanpa meniadakan karakteristik masing-masing sbb: “Saling mencintailah, namun jangan membuat
belenggu cinta: Lebih baik biarkan cinta menjadi sebentang laut yang bergerak
diantara pantai-pantai jiwamu…Bernyanyi dan menarilah bersama-sama dan
bergembiralah, tapi biarlah masing-masing engkau menghayati kesendiriannya,
sebagaimana dawai-dawai kecapi tetap sendiri walau mereka bergetar dengan musik
yang sama”.
Yang tidak kurang pentingnya
untuk direnungkan saat seseorang memasuki bahtera rumah tangga adalah bukan
hanya bagaimana pernikahan itu dimulai, namun bagaimana cinta dan pernikahan
itu dirawat dan dipelihara hingga akhirnya. Jika kita mengawali dengan cinta
dan membukannya lewat pintu pernikahan maka selayaknya kita mengakhirinya
dengan cinta dan menutupnya dengan pintu kematian. Ada sebuah kalimat
bijaksana, “Falling in love is easy but
staying in love is very special” (jatuh cinta itu mudah tapi bertahan dalam
cinta itu sesuatu yang istimewa). Waktu pacaran atau baru menikah, kita begitu memperlihatkan
nada kasih ketika salah satu pasangan kita kesandung atau menyandung sesuatu hingga
menimbulkan suara berisik atau pecahnya suatu barang dengan berkata, “Aduh..tidak
apa-apa thoh dik? Tapi setelah lama berumah tangga, barang jatuh tersenggol, bukan
nada kasih lagi yang keluar tapi nada kasar dengan berkata, “matamu di taruh di
mana?”. Waktu pasangan kita masih muda, tampan dan cantik, kita masih terpukau dan
memuja ketampanan dan kecantikannya. Namun saat keriput mulai menggerogoti kulit
wajah dan mengubah kontur wajah tampan dan cantik kita, mulailah kita merasa bosan
dan mencari yang lebih berkulit kencang. Kondisi-kondisi inilah yang menuntut kita
menguji komitmen dan kesetiaan kita dalam memupuk dan memelihara cinta kasih dalam
keluarga. Jatuh cinta, hanya satu hal namun hal lainnya adalah memelihara dan mempertahankan
cinta kasih dalam rumah tangga.
Prosesi pemberkatan nikah hanya
berjalan kurang lebih beberapa jam. Bulan madu hanya berjalan beberapa minggu.
Namun realitas kehidupan akan sepanjang hari kita temui dan hadapi. Realitas kehidupan tidak selalu berjalan
sebagaimana kita inginkan, - mengutip perkataan Jaya yang diperankan Tio
Pakusadewo dalam film Surat dari Praha.
Usai pernikahan dan bulan madu kita akan dihadapkan pada banyak kehidupan
dengan banyak persoalan, baik persoalan ekonomi, persoalan hubungan sosial,
persoalan pekerjaan dll. Masih mampukah kita mempertahankan cinta yang kita
rayakan saat pernikahan? Masih mampukah kita mempertahankan cinta saat suami
sedang mengalami krisis ekonomi? Masih mampukah kita mempertahankan cinta saat
salah satu pasangan kita mengalami sakit? Masih mampukah kita mempertahankan
cinta saat kesibukkan kerja terus menerus mengejar dan menekan waktu-waktu kita
untuk keluarga dst…dst..
Ilustrasi di bawah ini dapat
memberikan gambaran dimana bagaimana cinta bukan hanya harus menjadi dasar dan
pintu awal pernikahan melainkan menjadi air yang menyegarkan dan pelumas yang
memperlancar roda kehidupan rumah tangga. Ada seorang pria, tidak lolos ujian
masuk universitas, orang tuanya pun menikahkan ia dengan seorang wanita.
Setelah menikah, ia mengajar di sekolah dasar.
Karena tidak punya pengalaman, maka belum satu minggu mengajar sudah
dikeluarkan. Setelah pulang ke rumah, sang istri menghapuskan air mata
nya, menghiburnya dengan berkata: "Banyak
ilmu di dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada orang yang tidak
bisa menuangkannya. Tidak perlu bersedih karena hal ini. mungkin ada pekerjaan
yang lebih cocok untukmu sedang menantimu". Kemudian, ia pergi bekerja
keluar, juga dipecat oleh bosnya, karena gerakannya yang lambat. Saat itu sang
istri berkata padanya, kegesitan tangan-kaki setiap orang berbeda, orang lain
sudah bekerja beberapa tahun lamanya, dan kamu hanya belajar di sekolah,
bagaimana bisa cepat? Kemudian ia bekerja lagi di banyak pekerjaan lain, namun
tidak ada satu pun, semuanya gagal di tengah jalan. Namun, setiap kali ia
pulang dengan patah semangat, sang istri selalu menghiburnya, tidak pernah
mengeluh. Ketika sudah berumur 30 tahun-an, ia mulai dapat berkat sedikit
melalui bakat berbahasanya, menjadi pembimbing di sekolah luar biasa tuna rungu
dan wicara. Kemudian, ia membuka sekolah siswa difabel, dan akhirnya ia bisa
membuka banyak cabang toko yang menjual alat-alat bantu orang berkebutuhan
khusus di berbagai kota. Ia sudah menjadi direktur yang memiliki harta kekayaan
berlimpah. Suatu hari, ia yang sekarang sudah sukses besar, bertanya kepada
sang istri, bahwa ketika dirinya sendiri saja sudah merasakan masa depan yang
suram, mengapa engkau tetap begitu percaya kepada ku? Ternyata jawaban sang
istri sangat polos dan sederhana. Sang istri menjawab: “Sebidang tanah, tidak cocok untuk menanam gandum, bisa dicoba menanam
kacang, jika kacang pun tidak bisa tumbuh dengan baik, bisa ditanam
buah-buahan; jika buah-buahan pun tidak bisa tumbuh, semaikan bibit gandum
hitam pasti bisa berbunga. karena sebidang tanah, pasti ada bibit yang cocok
untuknya, dan pasti bisa menghasilkan panen darinya”.
Marilah kita semua baik yang akan
memulai bahtera rumah tangga maupun yang sudah berkeluarga dan membina rumah
tangga lebih lama, kiranya kotbah dan nasihat ini menyegarkan ingatan dan
komitmen kita terhadap pasangan masing-masing. Marilah kita menyatukan pikiran,
kehendak, kekuatan, tekad untuk mencapai tujuan di masa depan. Marilah kita
bukan hanya mengawali dengan jatuh cinta dan membukanya dengan pintu pernikahan
namun bertahan dan merawat serta memelihara cinta untuk menghidupi dan
menyegarkan serta memberi warna bagi rumah tangga kita.
Kavod
Leka YHWH Eloheinu we Avinu. Kavod Leka Yahshua Adonenu we Moshienu (Segala kemuliaan bagi Yahweh
Tuhan kita dan Bapa kita. Segala kemuliaan bagi Yahshua Junjungan Agung kita
dan Mesias kita).
No comments:
Post a Comment