Monday, July 25, 2016

MENOLAK KECERDASAN MEMUJA KEBODOHAN


Jika mengingat peristiwa yang satu ini, bukan saja saya geli tapi prihatin. Saat saya masih bergiat mengikuti persekutuan kharismatik pada tahun 90-an saat masih studi strata satu teologi di Yogyakarta. Suatu ketika saat mengikuti persekutuan rutin yang dilaksanakan tiap-tiap hari jum’at di sebuah kawasan sentra ekonomi bakpia di wilayah Yogyakarta, saat yang lain sedang menaikkan pujian dalam bentuk nyanyian dan doa, saya pergi ke kamar kecil untuk buang air kecil. Menurut informasi teman saat usai persekutuan, saat saya keluar untuk pergi ke kamar kecil, ada seseorang yang mendoakan dan “menengking roh kepandaian” dalam diri saya karena saya seorang siswa teologi. Mungkin pikirnya kecerdasan, kepandaian, rasionalitas, ilmu adalah musuh Tuhan dan para orang kudusnya. 

Jika memang benar demikian, lalu mengapa Salomo menuliskan manfaat bagi siapapun membaca dan merenungkan amsal-amsal yang ditulis dirinya sbb, “…untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda” (Ams 1:2-4). Bahkan selanjutnya ditegaskan, “baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan” (Ams 1:5). 

Perhatikan kata-kata “hikmat” (חכמה - khokhma), “didikan” (מוסר - musar), “kata yang bermakna” ( בינה- binah), “pandai” (השׂכל - hashkil), “kebenaran” (צדק - tsedeq), “keadilan” (משׁפט - mishpat), “kejujuran” (מישׁרים - mesharim) semua disejajarkan dan disetarakan. Tidak ada stratifikasi hirarkis yang bersifat dikotomis dan saling menegasikan antara kecerdasan, kepandaian dan hikmat dengan kebenaran, keadilan serta kejujuran. Perhatikan pula kalimat “menambah ilmu” (יוסף לקח - yosef leqakh) yang mengindikasikan proses pendakian tahapan sebuah pengetahuan. 

Pemahaman dan praktik “memuja kebodohan” dan anti ilmu serta anti berfikir rasional di atas masih berlangsung sampai hari ini di kalangan dunia Kristen. Perhatikanlah kalimat-kalimat yang kerap muncul ke publik seperti, "Gunakan ayat-ayat Firman Tuhan dan jangan pergunakan logikamu sendiri!". Persoalannya adalah bisakah kita menelaah Kitab Suci dengan bahasa yang ditulis tidak dalam bahasa kita melainkan ditulis dalam bahasa dan kebudayaan yang berbeda yaitu bahasa Ibrani, Aramaik, Yunani tanpa menggunakan logika dan rasionalitas kita dalam ilmu bahasa dan tafsir Kitab Suci? Di sinilah letak kesalahan berfikir seseorang yang memisahkan antara Iman dan Akal. Kecerdasan dan berfikir rasional seolah-olah sebuah kegiatan yang terpisah dari keimanan dan berjalan sendiri-sendiri atau bahkan dianggap saling berkontradiksi.

Dampak serius ketika kita memisahkan akal dan rasionalitas serta kecerdasan dari iman adalah kerap terjadinya berbagai manipulasi pesan-pesan keagamaan yang membodohi umat. Mulai dari ajaran yang menyamakan perolehan materil sebagai ukuran seseorang diberkati Tuhan hingga mengelompok di suatu tempat bersama pemimpin religius yang dikultuskan untuk menantikan kiamat. Darimana datangnya perilaku menyimpang secara religius tersebut jika bukan dikarenakan terbonsainya akal sehat dan dipadamkannya nalar kritis yang berhubungan dengan akal dan rasionalitas?

Mempelajari Torah-Nya akan menuntun pada kecerdasan dan mengakhiri kebodohan (Mzm 119:97-100). Kitab Amsal sarat dengan ajakan memperoleh Hikmat dan Kecerdasan serta pengetahuan (Ams 1:1-7). Kecerdasan dalam memahami Torah YHWH menimbulkan pembebasan dari belenggu kebodohan dan pemahaman yang keliru (Mzm 119:130). 

Kesadaran religius (iman) sejatinya memberikan pencerahan pada akal budi untuk menyelidiki hukum-hukum Tuhan yang bekerja dibalik bekerjanya hukum alam semesta. Kesadaran religius seharusnya mendorong kita mempelajari realitis empiris yang ada di sekeliling dan mempengaruhi kehidupan kita baik realitas alam, realitas sosial, realitas ekonomi, realitas politik, realitas teknologi, realitas kebudayaan, dll. Dengan demikian terjadi sinergi antara iman dan akal budi.

No comments:

Post a Comment