Jika kita memasuki rumah
seseorang, mungkin kita akan menemui sejumlah simbol-simbol keagamaan yang
bersifat visible (terlihat) dan
terpampang di dinding atau diletakkan di atas meja. Jika kita melihat lambang
“bulan sabit dan bintang” atau kaligrafi berbahasa Arab yang berisikan
“sahadat”, maka tahulah kita bahwa pemilik rumah adalah seorang Muslim.
Demikian pula jika kita memasuki rumah seseorang lalu ada patung “Siwa” atau
“Ganesha” atau lambang huruf “AUM”, maka
pemiliknya adalah seorang beragama Hindu. Jika ada simbol “swastika” dan patung
“Sidharta Gautama”, maka pemiliknya mestilah seorang beragama Budha. Demikianlah
jika kita memasuki rumah, lantas melihat lambang “salib” atau lukisan “Yeshua
membopong domba” serta “Perjamuan Malam” karya Leonardo Da Vinci, maka kita
dapat meyakini bahwa pemilik rumah adalah seorang Kristiani.
Demikianlah
simbol-simbol keagamaan yang disematkan di dalam rumah hendak mengomunikasikan
sebuah pesan perihal identitas seseorang. Bukan identitas kesukuan melainkan
identitas keagamaan. Identitas keagamaan diwakili melalui sebuah simbol-simbol
yang bersifat visible (terlihat). Sikap terbaik terhadap simbol-simbol keagamaan yang dihormati oleh para pemeluknya adalah menghormati dan memahami tinimbang menghakimi.
Terlepas ada beberapa
orang Kristen yang menolak menggunanakan lambang salib dan menuduhnya sebagai
lambang kutuk dan kehinaan bahkan pagan (sebuah tuduhan a-historis), suka atau
tidak suka istilah “salib” tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru dan selalu
mengandung aspek makna baik historis, teologis serta simbolis.
Secara historis, istilah salib
menunjuk pada sebuah peristiwa historis dan benda yang dipakai untuk menyulakan
seorang bernama Yesus dari Natzaret di bukit bernama Golgota dengan tuduhan
menyamakan dirinya dengan Tuhan karena menyebut diri-Nya Anak Tuhan dan Mesias.
Itulah sebabnya dikatakan, “Tuhan nenek moyang kita telah membangkitkan
Yesus yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh” (Kis
5:30). Pengakuan Iman Rasuli membuat pernyataan, “...yang disalibkan di
bawah pemerintahan Pontius Pilatus...”. Arti pernyataan ini bahwa penyaliban
dan kematian Yeshua di kayu salib bukan terjadi pada ruang hampa melainkan
ruang sejarah.
Secara teologis, istilah salib mengandung makna sebuah peristiwa kritologis
dimana Yesus telah menjadikan diri-Nya sebagai korban pengganti dan penghapus
dosa dan mereka yang menerima diri-Nya sebagai Mesias dan Anak Tuhan yang
mengorbankan diri-Nya mengalami penebusan dari kuasa dosa yaitu maut dan turut
menyalibkan kehidupan lamanya bagi Yesus. Itulah sebabnya dikatakan, “dengan
menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan
mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kol
2:14). Demikian pula dikatakan, “Karena kita tahu, bahwa manusia lama
kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar
jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rm 6:6).
Secara simbolis, istilah salib
merupakan wujud sebuah benda baik untuk keperluan ritual keagamaan, hiasan
dinding, hiasan kalung dimana semua wujud itu merefleksikan pesan historis dan
teologis bahwa orang yang memakainya mengidentifikasikan dirinya dengan apa
yang telah dialami dan dilakukan oleh orang yang disalibkan tersebut. Secara
tidak langsung kita telah mengomunikasikan pada dunia bahwa, “…kami
memberitakan Mesias yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu
sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1 Kor
1:23).
Beberapa hari ini, viral
di media sosial terkait penggalan ucapan dan kotbah seorang penceramah non
Kristen terkenal yang dinilai melecehkan keyakinan Kristen terkait simbol salib
dalam Kristiani. Ceramahnya beredar di media sosial You Tube dan menuai kontroversi baik di kalangan Kristen maupun non
Kristen. Ada banyak kecaman dan rencana membawa ke ranah hukum terhadap apa
yang telah ducapkannya. Ada pula sebuah analisis yang menghubungkan viralisasi
pernyataan sang penceramah dengan sebuah agenda politik besar untuk menciptakan
sebuah konflik baru pasca keterpilihan presiden incumbent untuk kedua kalinya.
Terlepas dari semua
kecaman, amarah, rasa malu pihak tertentu sampai sebuah desain politik
tertentu. Umat Kristiani harus memiliki sebuah kesadaran historis dan teologis
bahwa apa yang menjadi keyakinannya yang berpusat pada sabda dan peristiwa yang
dialami Yesus, memang telah bersifat kontroversi dan tidak dimengerti oleh
dunia.
Apa maksudnya? Dikatakan dalam 1 Korintus 1:18, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka
yang akan binasa, tetapi bagi kita yang
diselamatkan pemberitaan itu adalah
kekuatan Tuhan”. Bagai mata uang, pewartaan salib (ο λογος γαρ ο του σταυρου - ho logos gar ho tou staurou) memiliki dua sisi yaitu “kebodohan” (μωρια - mooria) sekaligus “kekuatan
Tuhan” (δυναμις θεου - dunamis Theou).
Yang dimaksudkan
“kebodohan” bahwa pewartaan salib tidak masuk akal dan menentang rasionalitas
umum. Bagaimana mungkin seseorang harus mati di kayu salib untuk menghapus dosa
manusia? Apakah Tuhan tidak mampu menghapus dosa seseorang sehingga harus
mengorbankan nyawa seseorang di kayu salib? Peristiwa salib bukan hanya
dianggap “kebodohan” - karena ketidakmasukakalannya – melainkan “batu sandungan”
(σκανδαλον - skandalon – 1 Kor 1:23).
Sementara sisi yang
lain, pewartaan salib adalah “kekuatan Tuhan”. Karena melalui jalan salib yang
dialami Yesus, kutuk dosa yaitu maut telah dibinasakan (Kol 3:15, 1 Kor
15:55-57). Kekuatan Tuhan itu dialami bagi mereka yang percaya dan “diselamatkan”
(σωζομενοις - soozomenois) sementara kebodohan
pemberitaan salib bagi mereka yang “mengalami kebinasaan” (απολλυμενοις - apollumenois).
Dari perspektif historis
dan teologis ini kita dapat memahami berbagai sikap yang berbeda terhadap
pewartaan salib sekaligus memilih pada posisi mana kita berada. Pilihan ada
pada kita dengan segala konsekwensinya baik konsekwensi eksistensial maupun
etis. Konsekwensi eksistensial berkaitan dengan kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang setelah kehidupan masa kini. Jika Anda memilih percaya, maka pemberitaan salib adalah
kekuatan Tuhan. Kekuatan Tuhan yang menyelamatkan seseorang dari kutuk dosa
yaitu maut. Kekuatan Tuhan yang melindungi seseorang dari tenung, sihir,
mantra. Kekuatan Tuhan yang memampukan orang beriman menjalani kehidupan.
Sementera konsekwensi
etis berkaitan dengan pengejawantahan ajaran Yesus dan keyakinan terhadap
kewafatan-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya dari kematian. Mereka yang
mengaku seorang Kristiani namun menjalani kehidupan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kematian dan kebangkitab Yesus berarti mereka telah hidup sebagai
“seteru salib Mesias” (τους εχθρους του σταυρου
του χριστου – tous echthrous tou staurou tou chrstou) sebagaimana dikatakan, “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang
kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai
seteru salib Mesias” (Fil 3:18)
No comments:
Post a Comment