Saturday, August 24, 2019

PARADOX SALIB: KEBODOHAN SEKALIGUS KEKUATAN


Jika kita memasuki rumah seseorang, mungkin kita akan menemui sejumlah simbol-simbol keagamaan yang bersifat visible (terlihat) dan terpampang di dinding atau diletakkan di atas meja. Jika kita melihat lambang “bulan sabit dan bintang” atau kaligrafi berbahasa Arab yang berisikan “sahadat”, maka tahulah kita bahwa pemilik rumah adalah seorang Muslim. Demikian pula jika kita memasuki rumah seseorang lalu ada patung “Siwa” atau “Ganesha” atau lambang huruf  “AUM”, maka pemiliknya adalah seorang beragama Hindu. Jika ada simbol “swastika” dan patung “Sidharta Gautama”, maka pemiliknya mestilah seorang beragama Budha. Demikianlah jika kita memasuki rumah, lantas melihat lambang “salib” atau lukisan “Yeshua membopong domba” serta “Perjamuan Malam” karya Leonardo Da Vinci, maka kita dapat meyakini bahwa pemilik rumah adalah seorang Kristiani.

Demikianlah simbol-simbol keagamaan yang disematkan di dalam rumah hendak mengomunikasikan sebuah pesan perihal identitas seseorang. Bukan identitas kesukuan melainkan identitas keagamaan. Identitas keagamaan diwakili melalui sebuah simbol-simbol yang bersifat visible (terlihat). Sikap terbaik terhadap simbol-simbol keagamaan yang dihormati oleh para pemeluknya adalah menghormati dan memahami tinimbang menghakimi.

Terlepas ada beberapa orang Kristen yang menolak menggunanakan lambang salib dan menuduhnya sebagai lambang kutuk dan kehinaan bahkan pagan (sebuah tuduhan a-historis), suka atau tidak suka istilah “salib” tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru dan selalu mengandung aspek makna baik historis, teologis serta simbolis.

Secara historis, istilah salib menunjuk pada sebuah peristiwa historis dan benda yang dipakai untuk menyulakan seorang bernama Yesus dari Natzaret di bukit bernama Golgota dengan tuduhan menyamakan dirinya dengan Tuhan karena menyebut diri-Nya Anak Tuhan dan Mesias. Itulah sebabnya dikatakan, “Tuhan nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh” (Kis 5:30). Pengakuan Iman Rasuli membuat pernyataan, “...yang disalibkan di bawah pemerintahan Pontius Pilatus...”. Arti pernyataan ini bahwa penyaliban dan kematian Yeshua di kayu salib bukan terjadi pada ruang hampa melainkan ruang sejarah.

Secara teologis, istilah salib mengandung makna sebuah peristiwa kritologis dimana Yesus telah menjadikan diri-Nya sebagai korban pengganti dan penghapus dosa dan mereka yang menerima diri-Nya sebagai Mesias dan Anak Tuhan yang mengorbankan diri-Nya mengalami penebusan dari kuasa dosa yaitu maut dan turut menyalibkan kehidupan lamanya bagi Yesus. Itulah sebabnya dikatakan, “dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib” (Kol 2:14). Demikian pula dikatakan, “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rm 6:6). 

Secara simbolis, istilah salib merupakan wujud sebuah benda baik untuk keperluan ritual keagamaan, hiasan dinding, hiasan kalung dimana semua wujud itu merefleksikan pesan historis dan teologis bahwa orang yang memakainya mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang telah dialami dan dilakukan oleh orang yang disalibkan tersebut. Secara tidak langsung kita telah mengomunikasikan pada dunia bahwa, “…kami memberitakan Mesias yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1 Kor 1:23). 

Beberapa hari ini, viral di media sosial terkait penggalan ucapan dan kotbah seorang penceramah non Kristen terkenal yang dinilai melecehkan keyakinan Kristen terkait simbol salib dalam Kristiani. Ceramahnya beredar di media sosial You Tube dan menuai kontroversi baik di kalangan Kristen maupun non Kristen. Ada banyak kecaman dan rencana membawa ke ranah hukum terhadap apa yang telah ducapkannya. Ada pula sebuah analisis yang menghubungkan viralisasi pernyataan sang penceramah dengan sebuah agenda politik besar untuk menciptakan sebuah konflik baru pasca keterpilihan presiden incumbent untuk kedua kalinya.

Terlepas dari semua kecaman, amarah, rasa malu pihak tertentu sampai sebuah desain politik tertentu. Umat Kristiani harus memiliki sebuah kesadaran historis dan teologis bahwa apa yang menjadi keyakinannya yang berpusat pada sabda dan peristiwa yang dialami Yesus, memang telah bersifat kontroversi dan tidak dimengerti oleh dunia. 

Apa maksudnya? Dikatakan dalam 1 Korintus 1:18, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,  tetapi bagi kita yang diselamatkan  pemberitaan itu adalah kekuatan Tuhan”. Bagai mata uang, pewartaan salib (ο λογος γαρ ο του σταυρου - ho logos gar ho tou staurou) memiliki dua sisi yaitu “kebodohan” (μωρια - mooria) sekaligus “kekuatan Tuhan” (δυναμις θεου - dunamis Theou).

Yang dimaksudkan “kebodohan” bahwa pewartaan salib tidak masuk akal dan menentang rasionalitas umum. Bagaimana mungkin seseorang harus mati di kayu salib untuk menghapus dosa manusia? Apakah Tuhan tidak mampu menghapus dosa seseorang sehingga harus mengorbankan nyawa seseorang di kayu salib? Peristiwa salib bukan hanya dianggap “kebodohan” - karena ketidakmasukakalannya – melainkan “batu sandungan” (σκανδαλον - skandalon – 1 Kor 1:23).

Sementara sisi yang lain, pewartaan salib adalah “kekuatan Tuhan”. Karena melalui jalan salib yang dialami Yesus, kutuk dosa yaitu maut telah dibinasakan (Kol 3:15, 1 Kor 15:55-57). Kekuatan Tuhan itu dialami bagi mereka yang percaya dan “diselamatkan” (σωζομενοις - soozomenois) sementara kebodohan pemberitaan salib bagi mereka yang “mengalami kebinasaan” (απολλυμενοις - apollumenois).

Dari perspektif historis dan teologis ini kita dapat memahami berbagai sikap yang berbeda terhadap pewartaan salib sekaligus memilih pada posisi mana kita berada. Pilihan ada pada kita dengan segala konsekwensinya baik konsekwensi eksistensial maupun etis. Konsekwensi eksistensial berkaitan dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang setelah kehidupan masa kini. Jika Anda memilih percaya, maka pemberitaan salib adalah kekuatan Tuhan. Kekuatan Tuhan yang menyelamatkan seseorang dari kutuk dosa yaitu maut. Kekuatan Tuhan yang melindungi seseorang dari tenung, sihir, mantra. Kekuatan Tuhan yang memampukan orang beriman menjalani kehidupan.

Sementera konsekwensi etis berkaitan dengan pengejawantahan ajaran Yesus dan keyakinan terhadap kewafatan-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya dari kematian. Mereka yang mengaku seorang Kristiani namun menjalani kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai kematian dan kebangkitab Yesus berarti mereka telah hidup sebagai “seteru salib Mesias” (τους εχθρους του σταυρου του χριστου – tous echthrous tou staurou tou chrstou) sebagaimana dikatakan, “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Mesias” (Fil 3:18)

No comments:

Post a Comment