Thursday, June 3, 2021

AMARAH DAN PENGENDALIAN DIRI

Angelo, empat tahun, bangun dan mendapati anak anjing pemburunya yang baru telah mengunyah gitar plastiknya. Bocah ini sangat sedih. Ibunya pun gusar sehingga menghardik suaminya, Tony, saat akan ke kantor.

Masih merasa gusar dengan perlakuan istrinya yang tidak menyenangkan tadi, Tony pun memberi perintah-perintah yang dingin dan tidak masuk akal kepada sekretarisnya.

Suasana hati sang sekretaris menjadi tidak enak, dan saat istirahat minum kopi ia mendamprat rekannya sesama sekretaris. Di akhir jam kantor, sekretaris yang kedua menghadap atasannya dan siap mengundurkan diri.

Satu setengah jam kemudian, setelah berjuang di tengah kepadatan lalu lintas, sang atasan masuk rumah. Lalu ia menumpahkan kemarahan kepada si kecil Nelson yang meninggalkan sepedanya di pelataran garasi. masuk ke kamarnya, membanting pintu, dan menendang anjing Scottish terrier-nya.

Di mana akhir semuanya ini? Tiap orang berpikir bahwa ia mempunyai alasan untuk marah. Padahal, dalam situasi khayalan ini yang dibutuhkan adalah seseorang yang menyerap perlakuan tidak adil itu dan tidak meneruskannya kepada orang lain.

Kemarahan memang sifat alami yang ada pada manusia. Sebagaimana takut, malu, kuatir adalah bagian dari emosi yang melekati kejiwaan manusia, demikianlah amarah sebagai sebuah reaksi psikis seseorang ketika bereaksi terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan ataupun aturan yang ditetapkan.

Sebagai seorang Kristiani, kitapun bisa dan berhak marah. Namun sebagai ciptaan baru di dalam Yesus Sang Mesias, kita harus lebih memperbesar pengendalian diri kita sehingga apabila kita menjadi marah janganlah berlebihan dan berbuat dosa serta bersegera menuntaskannya.

Tidak menjadikannya berlarut-larut menjadi sebuah kebiasaan ataupun memiliki serial bertahun-tahun yang disebut dendam. Rasul Paul menuliskan, Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu (Ef 4:26). Kisah di atas memberikan sebuah gambaran bagaimana efek estafet kemarahan yang ditumpahkan kemudian dilampiaskan pada sesama atau obyek hidup dan mati maka akan berdampak merusak.

Berbicara mengenai efek kemarahan yang tidak terkendali, kita diingatkan akan tradisi yang hidup di masyarakat Jawa berkaitan dengan tata cara penggunaan keris. Keris, bagi orang Jawa bukan sekedar senjata tajam melainkan pusaka dan simbol kehormatan.

Di dalam pernikahan Jawa, keris menjadi bagian dari pakaian pengantin pria. Biasanya keris pada pengantin pria berkalung bunga Melati dan Kantil, teruntai di gagang ujung pangkal keris.

Menurut tradisi, keris yang menggunakan bunga kolong atau bunga roncean, dikalungkan di ujung gagang keris merupakan pengingat terbunuhnya Adipati Jipang, Harya Penangsang saat perang tanding melawan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati (kelak menjadi Raja Mataram Islam pertama).

Setelah mendapatkan surat tantangan atas nama Hadiwijaya (Raja Pajang), Harya Penangsang (Bupati Jipang) tersulut emosinya. Meskipun telah ditenangkan Arya Mataram (adik Harya Penangsang), namun Harya Penangsang tetap berangkat ke medan laga dengan menaiki kudanya si Gagak Rimang.

Terjadilah perang tanding antara Harya Penangsang dengan Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati yang merupakan perwakilan dari Hadiwijaya. Saat perang tanding, tombak Kyai Plered milik Panembahan Senopati menghujam lambung Harya Penangsang dan mengakibatkan usus Harya Penangsang terburai keluar.

Anehnya, Harya Penangsang tak lantas tersungkur mati. Dia terus melawan Panembahan Senopati. Ususnya yang terburai keluar dibelitkan di gagang keris miliknya. Pantang menyerah, Adipati Jipang itu pun terus menggempur pertahanan Panembahan Senopati.

Alhasil, Panembahan Senopati lama-kelamaan kewalahan menghadapi serangan Harya Penangsang. Di saat lawannya sudah tak berdaya, Harya Penangsang lupa kemudian mencabut keris Kyai Setan Kober miliknya, hendak menghabisi Senapati. Tak ayal, usus yang semula dikalungkan di kerisnya pun putus. Tewaslah seketika Harya Penangsang.

Usai perang, Panembahan Senopati ternyata masih terkesan oleh kegagahan ksatria Harya Penangsang yang bertempur dengan usus terburai. Untuk menghormati gugurnya musuh bebuyutannya tersebut, Panembahan Senopati kemudian bertitah setiap ada upacara perkawinan, pengantin pria wajib mengenakan keris yang gagangnya diberi hiasan bunga Kantil dan Melati, supaya gagah bak Pangeran Harya Penangsang.

Selain mengenang sifat gagah berani Harya Penangsang, juga sebagai lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri seperti watak Harya Penangsang.

Dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana amarah yang tidak terkendali menyebabkan dampak yang merusak dan mematikan  bukan? Lebih baik menjadi orang yang mengendalikan diri dan membatasi untuk marah jika amarah mendatangkan kerusakan, sebagaimana dikatakan, Ir perusah, ein khomah, ish asyer ein ma'tsar lerukhoOrang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya (Ams 25:28). 

Karena amarah dekat dengan kata-kata jahat dan kotor, marilah kita lebih mengendalikan  emosi dan ucapan yang keluar dari buibur kita sebagaimana dikatakan, Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia (Ef 4:29)


No comments:

Post a Comment