Thursday, August 12, 2021

APAKAH TAKDIR BISA DIUBAH?

https://brave.is

Apa yang kita rasakan dan fikirkan jika kita mendapatkan sebuah kabar bahwa pada tanggal X dan tahun Y kita akan diberhentikan dari aktifitas pekerjaan di sebuah perusahaan di mana kita telah mengabdi berpuluh tahun lamanya, dikarenakan terjadinya krisis ekonomi? Tentu tidak karuan perasaan dan pikiran kita karena kita akan kehilangan kepastian pendapatan untuk membiayai kehidupan keluarga kita bukan?

Demikian pula dengan apa yang dirasakan dan difikirkan seorang raja di Israel bernama Hizkia manakala dirinya divonis akan mengalami kematian pada hari X tahun Y akibat penyakit yang dideritanya? Sebagaimana dikatakan dalam 2 Raja-raja 20:1 sbb:

“Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit dan hampir mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos, dan berkata kepadanya: "Beginilah firman YHWH: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi”

Kalimat, מת אתה ולא תחיה - met attah we lo tihyeh (kamu akan mati dan tidak hidup lagi) seolah petir di siang bolong di telinga Hizkia. Betapa kepastian kematiannya sudah menunggu di depan mata. Namun Hizkia tidak menyerah dan menerima begitu saja garis kehidupan yang bakal dilakoni dan akhir kehidupan yang sudah menantinya.

Segera saja Hizkia, “memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada YHWH: "Ah YHWH, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu." Kemudian menangislah Hizkia dengan sangat” (2 Raj 20:2-3). Apa yang terjadi kemudian? Ajaib! Kepastian kematian yang sudah menanti di depan mata berganti menjadi perpanjangan waktu kehidupan karena Tuhan YHWH mendengar seruan doa Hizkia dan bersabda demikian:

Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur; Aku akan memagari kota ini oleh karena Aku dan oleh karena Daud, hamba-Ku” (2 Raj 20:6)

Jika semua, sabda yang berbunyi מת אתה ולא תחיה - met attah we lo tihyeh (kamu akan mati dan tidak hidup lagi) melemahkan semangat maka sabda yang berbunyi, והספתי על־ימיך חמשׁ עשׂרה שׁנה - wehosapti ‘al yameka khamesh eshreh shanah (Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi) seolah air terjun yang jatuh menyegarkan badan Hizkia. Gairah dan semangat hidupnya kembali

Dari pembacaan kisah Hizkia di atas tentu kita bertanya, apakah takdir itu ada? Apakah kekristenan mengenal konsep takdir? Apakah takdir itu bisa diubah? Istilah takdir adalah bahasa Arab dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, perhitungan, ketetapan dan keputusan. Dikatakan dalam Qs 36:38 sbb:

"dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (taqdirul azizil alim)"

Pengutipan ayat kitab suci agama lain alias Qur’an di atas sekedar untuk menegaskan asal-usul kata takdir dan bagaimana kata tersebut dimaknai. Jadi, kata takdir bermakna keputusan dan ketetapan yang tidak bisa dirubah, sebagaimana planet berjalan di jalurnya masing-masing atau kematian tidak dapat dihindari semua yang bernafas.

Ada istilah lain yang juga berasal dari bahasa Arab yaitu “nasib” yaitu nashib yang artinya “bagian dari sesuatu/bagian sesuatu yang telah ditentukan baginya”. Dikatakan dalam Qs 4:7 sbb, “Bagi laki-laki ada nashib (hak bagian) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada nashîb (hak bagian) pula dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut nashib (bagian) yang telah ditetapkan”

Jika takdir adalah sebuah keputusan dan ketetapan yang tidak berubah maka nasib bisa diubah. Orang yang miskin dapat mengubah nasibnya dengan bekerja cerdas dan bekerja keras. Sementara kelahiran dan kematian tiada seorangpun yang dapat menghindarinya.

Bagaimana dengan konsep iman Kristiani mengenai “takdir?” Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim) atau Perjanjian Lama tidak menggunakan istilah takdir namun menggunakan beberapa istilah Ibrani yaitu makhasava, zamam, asha, mezima, yatsar, nekhtak, khuqot. Sementara Kitab Perjanjian Baru menggunakan istilah Yunani keimai, diatithemi, apodeiknumi, proopizo, istemi, orizo yang dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) biasa diterjemahkan dengan “ditentukan”, “ditetapkan”, “rencana”, “rancangan”. Dikatakan dalam Yesaya 37:26 sbb,

“Bukankah telah kaudengar, bahwa Aku telah menentukannya dari jauh hari dan telah merancangnya dari zaman purbakala (עשׂיתי מימי קדם ויצרתיה ‘ashiti mimey qedem wetsartiha) ? Sekarang Aku mewujudkannya, bahwa engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang berkubu menjadi timbunan batu”.

Dikatakan pula dalam Yeremia 31:35 sbb,

“Beginilah firman YHWH, yang memberi matahari untuk menerangi siang, yang menetapkan bulan dan bintang-bintang untuk menerangi malam (חקת ירח וכוכבים לאור לילה khuqot yareakh wekokavim leor lailah), yang mengharu biru laut, sehingga gelombang-gelombangnya ribut, YHWH semesta alam nama-Nya”

Demikian pula dikatakan dalam Lukas 2:34 sbb,

“Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel (ιδου ουτος κειται εις πτωσιν και αναστασιν πολλων εν τω ισραηλ – idou houtos keitai eis ptoosin kai anastasin en too Israel) dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan”

Dari pembacaan teks-teks pembanding di atas maka konsep takdirpun ada dalam iman Kristiani yang melandaskan pada Kitab TaNaKh/Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ada ketetapan Tuhan yang tidak bisa dicegah oleh kekuatan manusia manapun baik kelahiran, kematian bahkan zaman yang akan berakhir.

Mazmur 139:16 menegaskan kedaulatan dan kemahakuasaan Tuhan sbb:

“mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis  hari-hari yang akan dibentuk (ועל־ספרך כלם יכתבו ימים we’al sifreka kulam yikatevu yamim ),  sebelum ada satupun dari padanya”

Jika demikian penjelasannya, lantas bagaimana dengan kisah Hizkia? Jika takdir ada mengapa Hizkia bisa mengubah takdir? Sebenarnya Hizkia tidak mengubah takdir. Dia hanya meminta umurnya ditambahkan dan kematian tidak segera menjemputnya dan Tuhan mendengar dan mengabulkan permohonannya dan memberikan perpanjangan  umur. Namun toch Hizkia tetap akan mengalami kematian setelah umurnya diperpanjang sebanyak 15 tahun. Maka Hizkia tidak bisa menghindar dari takdir kematiannya pada 15 tahun kemudian bukan?

Ingat, konsep takdir bukan perihal kesewenang-wenangan Tuhan terhadap manusia melainkan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya. Takdir bukan perihal pelimpahan kesalahan manusia kepada Tuhan sehingga mengabaikan aspek tanggung jawab apa yang diperbuatnya. Jadi jika seseorang berbuat kriminalitas dan tertangkap dan mengalami hukuman, tidak bisa berkilah, “ini sudah ditakdirkan Tuhan”.

Setelah kita mempelajari makna takdir dan nasib atau ketetapan Tuhan dan takaran Tuhan bagi manusia, lantas apa pelajaran yang dapat kita peroleh dari kisah Hizkia? Tuhan mendengar seruan doa yang dinaikkan dengan iman dan kesungguhan sehingga vonis kematian bisa ditunda menjadi vonis perpanjangan usia dan kehidupan. Oleh karenanya jika kita sedang mengalami sakit penyakit ataupun permasalahan yang menggunung dan melemahkan keyakinan kita, belajarlah dari Hizkia untuk meminta anugrah dan kemurahan Tuhan mengubah kematian menjadi kehidupan, mengubah kesulitan menjadi kemudahan, mengubah kemiskinan menjadi kekayaan, mengubah kesesakan menjadi kesempatan.

Lantas, apa yang selayaknya kita lakukan jika kita mengalami nasib beruntung sebagaimana Hizkia yang diperpanjang usianya? Tiada lain kita bersyukur dan menjadikan diri kita berguna bagi Kerajaan Tuhan dan bagi kehidupan dunia serta sesama. Bukankah dikatakan dalam Filipi 1:21-22 sbb:

“Karena bagiku hidup adalah Kristus (Mesias) dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu”

Dalam suratnya yang lain, Rasul Paulus menggemakan anjuran yang sama sbb:

“Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya” (2 Kor 5:8)

Berlandaskan ayat-ayat ini marilah kita yang masih diberi kesehatan dan mereka yang telah diperpanjang umurnya untuk menjalani kehidupan agar kita selama diberi kesempatan hidup selayaknya “bekerja memberikan buah” dan “hidup berkenan kepada-Nya’ alias membawa dampak positif bagi kehidupan dan sesama. Dan jika kita telah tiba waktunya berpulang kita pun tidak menjadi kuatir karena “mati adalah keuntungan” karena kita akan menerima kehidupan kekal sebagaiaman dijanjikan Sang Juruslamat (Yoh 5:24; 11:25)

No comments:

Post a Comment