Friday, December 30, 2022

KEHIDUPAN ADALAH KESIA-SIAAN TANPA TUHAN


 Foto: https://www.dominicanajournal.org

Kita tentu pernah mendengar dua istilah yaitu “paradoks” dan “kontradiksi”. Kelihatannya dua kata ini mengandung kesamaan arti namun sejatinya berbeda. Istilah “kontradiksi” bermakna “dua hal yang berlawanan”. Contoh: (1) Amir dan Hasan dua bersaudara namun Amir baik hatinya sementara Hasan jahat perilakunya. (2) Seorang saksi mata mengatakan bahwa peristiwa kecelakaan tersebut terjadi pada pukul 9.30 sementara saksi mata yang lain mengatakan pukul 10.30

Sementara istilah “paradox” adalah “pernyataan yang seolah berlawanan namun mengandung kebenaran”. Contoh: (1) Gemerlap dunia hiburan yang ia tekuni tak membuat ia lepas dari rasa kesepian (2) Hatinya sunyi tinggal di kota Jakarta yang sibuk

Berbicara mengenai istilah “paradoks”, Kitab yang menjadi dasar permenungan kita di penghujung tahun 2022 juga disarati dengan sejumlah kenyataan dan istilah-istilah yang bersifat “paradok”. Kitab Pengkotbah atau “Sefer Qohelet” dalam TaNaKh bahasa Ibrani atau “Eklesiastes” dalam Septuaginta bahasa Yunani

Jika kita membaca Kitab Pengkotbah, seolah-olah kehidupan yang kita jalani tiada berguna sama sekali. Bayangkan saja Kitab Pengkotbah 1:2 dimulai dengan ungkapan:  הבל הבלים אמר קהלת הבל הבלים הכל הבל - Havel  havalim amar Qohelet, havel havalim hakol havel - Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Bahkan dikatakan dalam Pengkotbah 1:9, ואין כל־חדשׁ תחת השׁמשׁ׃ -weein kol khadash takhat hashamesh - tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

Demikian pula saat kita membaca Pengkotbah Pasal 7-8 kita akan melihat sejumlah paradoks dalam kehidupan. Perhatikan Pengkotbah Pasal 7:15 yang berkata, "Dalam hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya (ישׁ צדיק אבד בצדקו וישׁ רשׁע מאריך ברעתוyesh betsadiq oved betsidqo, yesh rasha maarik bera’ato)

Situasi yang dinyatakan dalam ayat 15 adalah sebuah paradoks, sebuah ketidakteraturan dari apa yang diharapkan: Paradoks adalah ketidakkonsistenan dalam keadaan, pernyataan, aktivitas, atau perilaku yang bertentangan dengan apa yang dianggap normal oleh seseorang. Di sini, paradoks ditemukan dalam hubungan dengan Tuhan. Orang berdosa makmur, tetapi orang benar menderita segala macam kesulitan dalam hidup. Bukankah lebih rasional untuk berpikir bahwa orang berdosa akan mengalami kesulitan dan orang benar, hidup makmur dan lancar?

Paradoks, pada gilirannya, menciptakan teka-teki. Seseorang yang saleh mungkin bertanya, “Mengapa situasi seperti itu harus ada?” “Di manakah berkat yang dijanjikan Tuhan?” “Di mana Tuhan dalam semua ini?” “Bukankah Tuhan menjanjikan kemakmuran dan umur panjang jika kita menaati-Nya?”

Pengkotbah 8:14 menegaskan kembali, “Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada orang-orang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. Aku berkata: "Inipun sia-sia”

Paradoks dalam Kitab Pengkotbah khususnya Pasal 7-8 dapat menimbulkan situasi yang membuat orang duniawi berasumsi bahwa melakukan kejahatan, karena dapat menguntungkan, adalah cara yang lebih baik. Hal ini khususnya terlihat ketika orang jahat hidup sampai usia tua dengan relatif damai, dihormati di dunia, dan memiliki kekayaan yang lebih dari cukup. Sebaliknya, tidak jarang orang yang saleh meninggal lebih awal, mungkin setelah masa penganiayaan yang sulit.

Benarkah kehidupan ini sejatinya sia-sia dan hanya sekedar berulangnya sesuatu yang sia-sia sebagaimana dikatakan Pengkotbah? Mengapa dalam kehidupan ini kerap terjadi berbagai paradok?

Jika kita perhatikan dengan seksama, Kitab Pengkotbah sejatinya hendak menyampaikan apa yang telah dilihat dan ditelaah secara seksama dari berbagai fenomena kehidupan yang terjadi dan melintas dari hari ke hari dari bulan ke bulan dari tahun ke tahun. Di dalam setiap perputaran hidup itu selalu saja bayang-bayang “kesian-siaan” (havalim) menyelinap dalam kehidupan manusia. Namun kesia-siaan dan ketidakbermaknaan itu hanya dirasakan dan dialami bagi mereka yang tidak memiliki dan melekat serta dekat dengan Tuhan.

Itulah sebabnya di dalam kehidupan yang seolah penuh kesia-siaan dan paradoks, Pengkotbah tetap memiliki keyakinan dan harapan tentang keadilan Tuhan sehingga pada Pengkotbah 8:12-13 dikatakan, “Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Tuhan akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya. Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Tuhan”

Agar hidup tidak menjadi sia-sia dan dapat memahami kehendak Tuhan dibalik berbagai peristiwa kehidupan yang bersifat paradok, Pengkotbah mengajak pembacanya untuk senantiasa Yirat YHWH atau Yirat Elohim alias Takut akan YHWH sebagaimana dikatakan Pengkotbah 12:13, “Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Tuhan  dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya karena ini adalah kewajiban setiap orang” (את־האלהים ירא ואת־מצותיו שׁמור כי־זה כל־האדם - et ha Elohim yera wemitsotaiw shemor, ki zeh kol ha adam)

Sebentar lagi kita menutup tahun 2022. Mungkin sepanjang tahun ini kita melihat mendengar berbagai peristiwa yang bersifat paradox. Kita melihat orang jujur dalam pekerjaan justru mengalami hukuman yang tidak adil, kita melihat orang yang begitu saleh harus banyak mengalami penderitaan dan kesulitan, kita melihat orang Kristen telah menabur banyak kebaikan namun masih saja sulit mendapatkan keadilan dalam hal rumah ibadah.

Bahkan mungkin kita mengalami sendiri paradoks kehidupan itu. Kita telah berbuat kesalehan dan kebaikan namun mengapa saya harus mengalami menjadi orang yang di PHK? Kita telah menjaga kehidupan kita sedemikian rupa namun mengapa penyakit tiba-tiba menyerang diri kita? Dan masih banyak paradoks lain yang dapat kita deretkan.

Kiranya kita semua tidak menjadi berputus asa dan kehilangan iman serta pengharapan. Kita tetap meyakini ada keadilan dan penyertaan Tuhan di dalam semua paradok yang kita alami. Sebagaimana sebuah ungkapan Latin Coram Deo (“di hadirat Tuhan”, Mzm 56:13), maka kita boleh menjalani kehidupan yang disarati paradok ini dengan sebuah keyakinan bahwa semua yang kita alami tidak terlepas dari penyertaan Tuhan. Penyertaannya bukan hanya di saat suasana tenang namun saat badai dan kehidupan yang sulit melanda.

Tanpa penyertaan Tuhan, hidup menjadi sia-sia di bawah matahari. Dengan penyertaan Tuhan, hidup menjadi bermakna. Agar kita mendapatkan penyertaan Tuhan, kasihilah dan lakukanlah dengan sukacita perintah-perintah Tuhan YHWH Sang Bapa Surgawi di dalam Yesus Sang Putra dan Junjungan Agung Yang Ilahi sebagaimana disabdakan, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23)

No comments:

Post a Comment