Thursday, December 11, 2025

YANG DILAKUKAN DAN JANGAN DILAKUKAN DARI FARISI, SADUKI, AHLI TORAH

Sumber foto: Rogerfarnworth.com

Kembali saya ingin menceritakan moment saat saya memimpin Pemahaman Kitab Suci dengan selalu mengajak jemaat melakukan eksplorasi teks dan menyampaikan pemahamannya terhadap teks. Penelaahan Kitab Suci diambil dari Lukas 18:9-14. Setelah semua membaca teks saya mengajukan pertayaan sbb: “Mengapa Yesus menyalahkan sikap religius Farisi yang datang ke Bait Suci dan membenarkan sikap religius pemungut cukai? Bukankah apa yang dilakukan orang Farisi tersebut dalam doanya sudah benar yaitu, “Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa  dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku?” (Luk 18:11-12) Jawabannya hampir semua jemaat sudah sesuai dengan teks yaitu dikarenakan kesombongan rohani orang Farisi tersebut dengan membanggakan kemampuannya menjalankan syariat agama dan Yesus berkata, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk 18:14). Sementara pemungut cukai tersebut dikarenakan kerendahan hati dan kesadaran dirinya sebagai seorang yang tidak sempurna menjalankan syariat agama mengakui di hadapan Tuhan dan memohon rahmat-Nya. Dan Yesus bersabda, “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Tuhan dan orang lain itu tidak” (Luk 18:14).

Dari tiga pertanyaan yang saya kembangkan, untuk pertanyaan ketiga saya menanyakan demikian, “Jadi, apakah kita sama sekali tidak bisa meneladan dan meniru orang Farisi hanya dikarenakan kesombongan atau kemunafikannya, sementara mereka begitu tekun menjalankan perintah Tuhan? Apakah orang Farisi tidak patut diteladani padahal mereka, “bukan perampok, bukan orang lalim, berpuasa  dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilan?” Jawaban jemaat mengatakan bahwa yang tidak kita teladani adalah sikap tinggi hati dan bukan kesalahennya. Persis! Kita bukan membenci dan menstigma berbagai bentuk kesalehan Kristiani sebagai meniru orang Farisi dan Saduki.

Bukankah Yesus Junjungan Agung Yang Ilahi telah bersabda, “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat 23 : 1-2). Dari teks yang menuliskan sabda Yesus Sang Mesias dan Juruslamat kita, dapatlah disimpulkan bahwa ada yang patut ditiru, diteladan dari orang Farisi namun ada yang tidak patut ditiru dan diteladani.

Adalah keliru ketika ada seorang Kristiani yang saleh dan patuh mengikuti perintah Tuhan kemudian dihakimi dengan kalimat, “Ah, semuci suci kayak orang Farisi!" Jika orang Kristen tidak memiliki kesalehan jasmani yang dapat dilihat (perbuatan baik, mudah mengampuni, bersedekah, mengasihi sesama, beribadah dsj), lantas darimana orang lain dapat mengetahui kekristenannya? Bukankah perbuatan dan kesalehan adalah bukti dan perpanjangan dari iman?

Jika kita bisa meniru dan meneladani kesalehan orang Farisi lantas mengapa Yesus bersabda demikian, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi?” Sebanyak delapan kali Yesus mengatakan demikian (Mat 23:13-16, 23,25,27,29). Mari kita telaah dengan seksama. Yesus adalah seorang Rabi (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2). Ketika seseorang disebut Rabi atau Rabuni, dalam kultur Yahudi dan konteks agama Yudaisme, maka dia adalah pengajar Torah bukan pengajar secara umum. Yesus adalah seorang Rabi (Yohanes 13:13) dan pengajar Torah (Matius 5:17-20) serta pelaku Torah (Matius 5:48). 

Maka tidak mungkin pernyataan Yesus terhadap orang Farisi dan Ahli Torah dimaksudkan sebagai sebuah perlawanan terhadap Torah sementara beliau sendiri mengajarkan Torah. Yang terjadi adalah Yesus mengecam kemunafikan dan pengabaian nilai yang utama dari Torah sebagaimana dikatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23).

Jadi problem orang Farisi, Saduki, Ahli Torah pada masa itu (tidak semua) adalah kesombongan rohani dan kemunafikkan. Sebagaimana dikatakan Yesus, “Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:5). Inilah yang dikecam oleh Yesus Sang Mesias, Juruslamat dan Junjungan Yang Ilahi

Yang perlu kita ketahui, Farisi, Saduki, Soferim hanyalah nama mazhab dalam Yudaisme. Ada banyak mazhab dalam agama Yudaisme dan Farisi, Saduki hanyalah salah satu mazhab. Sekalipun terlihat ketat dan kaku dalam menjalankan aturan agama dan peribadatannya, ternyata dalam literatur kelompok Esseni yang hidup di era sebelum Masehi dan naskah-naskahnya ditemukan dalam bentuk gulungan papirus dan perkamen di gua Qumran di Laut Mati (dikenal dengan istilah Dead Sea Scroll of Qumran), justru orang-orang Farisi dituding sebagai, doreshe halakhot alias orang yang menjalani kehidupan agama yang lebih mudah dan kurang ketat dibandingkan komunitas di Qumran, sebagaimana disitir oleh Geza Vermes dalam The Complete of Dead Sea Scroll in English (2004) saat mengulas naskah 4Q169.

Bahkan Rabi Eleazar seorang Farisi pun menentang bentuk-bentuk kemunafikkan sebagaimana dikatakan, “dimanapun kemunafikan dapat ditemukan, akan menurunkan amarah Tuhan pada dunia” (b.Sotah 41b). Yesus tetap merintahkan untuk mengikuti ajaran orang Farisi namun jangan mengikuti perbuatan mereka yang munafik (Mat 23:2). Rasul Paul yang menjadi rasul bagi orang non Yahudi pun seorang Farisi yang ketat (Fil 3:5). Tentu kita tidak lupa pada Nikodemus yang berdiskusi dengan Yesus perihal genethe anothen (secara literal artinya “dilahirkan dari atas”, yang diterjemahkan Lembaga Alkitab Indonesia, “kelahiran kembali”) adalah seorang Farisi (Yoh 3:1), Nikodemus orang Farisi ini menjadi murid Yesus dan memberikan minyak pengawet bagi mayat Yesus (Yoh 19:39).

Melaksanakan syariat yang diperintahkan Tuhan dalam Torah harus berbanding lurus dengan perintah yang lain yaitu menegakkan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Itulah sebabnya dikatakan, “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan’. Sabda ini menggemakan kembali kecaman Amos terhadap ibadah Israel yang tidak berbanding lurus dengan kehidupan keseharian. Kesalehan individual seharusnya berdampak pada kesalehan sosial yang salah satunya adalah keadilan, kesetiaan, belas kasihan (Am 5:21-24).

Fokus kecaman Yesus adalah kemunafikkan. Kemunafikkan ada di setiap penganut agama bahkan mazhab-mazhab dalam sebuah agama sebagaimana dikatakan Brad. H. Young, “Hypocrisy is a problem for all religious faith communities” (Meet the Rabbis: Rabbinic Thought and the Teaching of Jesus, 2007:8). Beberapa orang Farisi dan Saduki memperlihatkan kemunafikan dibalik kesalehannya agar kita mewaspadai dan membuang kemunafikan.

Marilah kita menghidupi iman kita kepada Sang Bapa  Pencipta dan Sang Putra Juruslamat dengan perbuatan baik dan kesalehan baik kesalehan personal maupun kesalehan sosial. Yesus Junjungan kita Yang Ilahi bersabda, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga" (Mat 5:20)

No comments:

Post a Comment