Kembali saya ingin menceritakan
moment saat saya memimpin Pemahaman Kitab Suci dengan selalu mengajak jemaat
melakukan eksplorasi teks dan menyampaikan pemahamannya terhadap teks. Penelaahan
Kitab Suci diambil dari Lukas 18:9-14. Setelah semua membaca teks saya
mengajukan pertayaan sbb: “Mengapa Yesus menyalahkan sikap religius Farisi yang
datang ke Bait Suci dan membenarkan sikap religius pemungut cukai? Bukankah apa
yang dilakukan orang Farisi tersebut dalam doanya sudah benar yaitu, “Aku
mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain,
bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti
pemungut cukai ini; aku berpuasa dua
kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku?” (Luk 18:11-12)
Jawabannya hampir semua jemaat sudah sesuai dengan teks yaitu dikarenakan
kesombongan rohani orang Farisi tersebut dengan membanggakan kemampuannya
menjalankan syariat agama dan Yesus berkata, “Sebab barangsiapa meninggikan
diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan”
(Luk 18:14). Sementara pemungut cukai tersebut dikarenakan kerendahan hati dan
kesadaran dirinya sebagai seorang yang tidak sempurna menjalankan syariat agama
mengakui di hadapan Tuhan dan memohon rahmat-Nya. Dan Yesus bersabda, “Orang
ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Tuhan dan orang lain itu
tidak” (Luk 18:14).
Dari tiga pertanyaan yang saya
kembangkan, untuk pertanyaan ketiga saya menanyakan demikian, “Jadi, apakah
kita sama sekali tidak bisa meneladan dan meniru orang Farisi hanya dikarenakan
kesombongan atau kemunafikannya, sementara mereka begitu tekun menjalankan
perintah Tuhan? Apakah orang Farisi tidak patut diteladani padahal mereka, “bukan
perampok, bukan orang lalim, berpuasa
dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilan?”
Jawaban jemaat mengatakan bahwa yang tidak kita teladani adalah sikap tinggi
hati dan bukan kesalahennya. Persis! Kita bukan membenci dan menstigma berbagai
bentuk kesalehan Kristiani sebagai meniru orang Farisi dan Saduki.
Bukankah Yesus Junjungan Agung Yang
Ilahi telah bersabda, “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki
kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka
ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka,
karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat 23 : 1-2). Dari
teks yang menuliskan sabda Yesus Sang Mesias dan Juruslamat kita, dapatlah
disimpulkan bahwa ada yang patut ditiru, diteladan dari orang Farisi namun ada
yang tidak patut ditiru dan diteladani.
Adalah keliru ketika ada seorang Kristiani
yang saleh dan patuh mengikuti perintah Tuhan kemudian dihakimi dengan kalimat,
“Ah, semuci suci kayak orang Farisi!" Jika orang Kristen tidak memiliki
kesalehan jasmani yang dapat dilihat (perbuatan baik, mudah mengampuni, bersedekah,
mengasihi sesama, beribadah dsj), lantas darimana orang lain dapat mengetahui
kekristenannya? Bukankah perbuatan dan kesalehan adalah bukti dan perpanjangan dari
iman?
Jika kita bisa meniru dan meneladani kesalehan orang Farisi lantas mengapa Yesus bersabda demikian, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi?” Sebanyak delapan kali Yesus mengatakan demikian (Mat 23:13-16, 23,25,27,29). Mari kita telaah dengan seksama. Yesus adalah seorang Rabi (Mat 23:7,8, Mrk 9:5, Yoh 3:2). Ketika seseorang disebut Rabi atau Rabuni, dalam kultur Yahudi dan konteks agama Yudaisme, maka dia adalah pengajar Torah bukan pengajar secara umum. Yesus adalah seorang Rabi (Yohanes 13:13) dan pengajar Torah (Matius 5:17-20) serta pelaku Torah (Matius 5:48).
Maka tidak mungkin pernyataan
Yesus terhadap orang Farisi dan Ahli Torah dimaksudkan sebagai sebuah perlawanan
terhadap Torah sementara beliau sendiri mengajarkan Torah. Yang terjadi adalah
Yesus mengecam kemunafikan dan pengabaian nilai yang utama dari Torah
sebagaimana dikatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas
manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu
abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23).
Jadi problem orang Farisi, Saduki,
Ahli Torah pada masa itu (tidak semua) adalah kesombongan rohani dan
kemunafikkan. Sebagaimana dikatakan Yesus, “Dan apabila kamu berdoa, janganlah
berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam
rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat
orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya” (Mat 6:5).
Inilah yang dikecam oleh Yesus Sang Mesias, Juruslamat dan Junjungan Yang Ilahi
Yang perlu kita ketahui, Farisi,
Saduki, Soferim hanyalah nama mazhab dalam Yudaisme. Ada banyak mazhab dalam
agama Yudaisme dan Farisi, Saduki hanyalah salah satu mazhab. Sekalipun
terlihat ketat dan kaku dalam menjalankan aturan agama dan peribadatannya,
ternyata dalam literatur kelompok Esseni yang hidup di era sebelum Masehi dan
naskah-naskahnya ditemukan dalam bentuk gulungan papirus dan perkamen di gua
Qumran di Laut Mati (dikenal dengan istilah Dead
Sea Scroll of Qumran), justru orang-orang Farisi dituding sebagai, doreshe halakhot alias orang yang
menjalani kehidupan agama yang lebih mudah dan kurang ketat dibandingkan
komunitas di Qumran, sebagaimana disitir oleh Geza Vermes dalam The Complete of Dead Sea Scroll in English
(2004) saat mengulas naskah 4Q169.
Bahkan Rabi Eleazar seorang
Farisi pun menentang bentuk-bentuk kemunafikkan sebagaimana dikatakan,
“dimanapun kemunafikan dapat ditemukan, akan menurunkan amarah Tuhan pada
dunia” (b.Sotah 41b). Yesus tetap merintahkan untuk mengikuti ajaran orang
Farisi namun jangan mengikuti perbuatan mereka yang munafik (Mat 23:2). Rasul
Paul yang menjadi rasul bagi orang non Yahudi pun seorang Farisi yang ketat
(Fil 3:5). Tentu kita tidak lupa pada Nikodemus yang berdiskusi dengan Yesus
perihal genethe anothen (secara
literal artinya “dilahirkan dari atas”, yang diterjemahkan Lembaga Alkitab Indonesia,
“kelahiran kembali”) adalah seorang Farisi (Yoh 3:1), Nikodemus orang Farisi
ini menjadi murid Yesus dan memberikan minyak pengawet bagi mayat Yesus (Yoh 19:39).
Melaksanakan syariat yang
diperintahkan Tuhan dalam Torah harus berbanding lurus dengan perintah yang
lain yaitu menegakkan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Itulah sebabnya
dikatakan, “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan’. Sabda ini
menggemakan kembali kecaman Amos terhadap ibadah Israel yang tidak berbanding
lurus dengan kehidupan keseharian. Kesalehan individual seharusnya berdampak
pada kesalehan sosial yang salah satunya adalah keadilan, kesetiaan, belas
kasihan (Am 5:21-24).
Fokus kecaman Yesus adalah
kemunafikkan. Kemunafikkan ada di setiap penganut agama bahkan mazhab-mazhab
dalam sebuah agama sebagaimana dikatakan Brad. H. Young, “Hypocrisy is a
problem for all religious faith communities” (Meet the Rabbis: Rabbinic Thought and the Teaching of Jesus,
2007:8). Beberapa orang Farisi dan Saduki memperlihatkan kemunafikan dibalik
kesalehannya agar kita mewaspadai dan membuang kemunafikan.
Marilah kita menghidupi iman kita
kepada Sang Bapa Pencipta dan Sang Putra
Juruslamat dengan perbuatan baik dan kesalehan baik kesalehan personal maupun
kesalehan sosial. Yesus Junjungan kita Yang Ilahi bersabda, “Jika hidup
keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga" (Mat 5:20)

No comments:
Post a Comment